Spread the love

Sudah dibaca 1190 kali

pesta bikini

Bikini. Kamus Besar Bahasa Indonesia daring mendefinisikannya sebagai, “pakaian (renang) wanita yang hanya terdiri atas celana dalam dan kutang (kain) penutup buah dada.” Event Organizer bernama Divine Production ingin membuat pesta bagi siswa SMA yang hanya memakai celana dalam dan kutang penutup buah dada di The Media Hotel & Towers, Jalan Gunung Sahari, Jakarta Pusat, pada 25 April 2015.

Acara ini batal digelar. Publikasi acara melalui Twitter dan Youtube membuat banyak orang geram. Terlebih pengelola sekolah yang tercantum di publikasi, yaitu SMA 8 Bekasi, SMA 12 Jakarta, SMA 14 Jakarta, SMA 38 Jakarta, SMA 50 Jakarta, SMA 24 Jakarta, SMK Musik BSD, SMA 109 Jakarta, SMA 53 Jakarta, SMA Muhammadiyah Rawamangun, SMA 44 Jakarta, SMA Al-Kamal, SMA 29 Jakarta, SMA 26 Jakarta, dan SMA 31 Jakarta, merasa dicemarkan. Tak ada keterlibatan atau dukungan sekolah terhadap acara yang mengumbar aurat itu. Divine dianggap mencatut nama sekolah. Mereka beramai-ramai mengadukan Divine ke polisi.

Semua mempersoalkan moral. Mayoritas masyarakat menganggap kegiatan bersama yang hanya memakai celana dalam dan kutang penutup buah dada dianggap tidak bermoral dan sesuai etika. Namun Divine tidak menganggapnya demikian. Jadi ada dua sudut pandang bertolak belakang dalam memandang kegiatan itu.

Mungkin Divine akan bertanya dengan lugu: apakah orang yang berkumpul hanya dengan memakai celana dalam dan kutang penutup buah dada melanggar moral? Moral apa yang dilanggar? Toh itu dilakukan di tempat tertutup dan diikuti oleh orang dewasa berusia 17 tahun ke atas? Apakah ada peraturan dan perundang-undangan yang melarang orang hanya memakai celana dalam dan kutang penutup buah dada?

Pertanyaan itu tak akan terjawab karena motif ekonomi lebih berkuasa. Mereka pun tak peduli dengan moral. Asal duit banyak terkumpul, acara sukses berjalan, persetan dengan moral! Jadi, tak perlu menggali lebih dalam segudang alasan yang pada hakikatnya ditunggangi oleh motif ekonomi.

Apa yang dilakukan oleh sekumpulan orang di satu tempat terlokalisir yang hanya memakai celana dalam dan kutang penutup buah dada? Apa mereka sekadar kumpul, teriak, dan goyang disko agar stres usai mengikuti Ujian Nasional hilang? Jika jawabannya “ya”, itu sebuah jawaban bodoh.

Tak ada yang menjamin acara itu berjalan hanya untuk menghilangkan stres—tujuan acara untuk menghilangkan stres cuma sebuah ilusi. Pastilah ada kegiatan lain yang bisa dilakukan oleh orang-orang yang hampir telanjang, baik dengan inisiatif sendiri maupun dikondisikan oleh EO. Siapakah yang menjamin acara itu tidak akan ada peserta yang mabuk-mabukan, berfoto selfie untuk disebarkan di dunia maya, atau, lebih buruk lagi, berzina dengan pengunjung laki-laki di sekitarnya—jika ada pengunjung laki-laki di sekitar lokasi acara.

Seperti halnya toko penjual makanan cepat saji, yang dijual bukanlah barang atau kemasannya, melainkan gaya hidup! Siswa secara tidak sadar diajak untuk memasuki dunia hura-hura dan permissif. Sebuah gaya hidup yang menuntun mereka pada kehidupan yang mengutamakan materi dan melupakan aturan moral; pesta hura-hura, mabuk, zina.

Pesta bikini hanya pintu gerbang bagi sebuah dunia gelap dan gemerlap yang dieksploitasi atas dasar motif ekonomi—segala sesuatu dihitung berdasarkan untung-rugi. Orang yang sudah masuk dan terjerembab dalam lembah dunia ini akan menjadi budak uang. Naluri dan nafsunya diasah dengan beragam kesenangan semata. Moral, apalagi agama, menjadi sesuatu yang amat bertentangan.

Pesta bikini mengantarkan orang-orang muda untuk bermoral bikini. Moral yang hanya menyisakan harga diri sebatas buah dada dan kemaluan. Selebihnya diobral. Jika barang obralannya habis, maka barang sisa ikut diobral. Akhirnya tiada lagi harga diri.

Orang yang tak punya harga diri akan mudah dieksploitasi. Bahkan saat dieksploitasi pun tak merasa sedang dirugikan. Mereka menjalani kehidupan dengan senang-senang. Semua nilai yang mengecamnya, seperti nilai moral dan agama, dianggap sebagai ancaman. Harus disingkirkan.

Tentu ini bertentangan dengan tujuan pendidikan. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan menilai pesta bikini dapat menurunkan kualitas moral siswa. Pemerintah menyelenggarakan pendidikan formal melalui jalur persekolahan bertujuan untuk membentuk karakter dan moral yang kuat dalam diri siswa. Selama 12 tahun, SD hingga SMA/SMK, nilai-nilai luhur itu ditanamkan di bangku sekolah. Namun, usai menempuh pendidikan, nilai-nilai luhur itu hendak dibuyarkan melalui sebuah pesta bikini.

Maka sudah sepantasnya acara itu dibatalkan. Bahkan, acara-acara serupa yang secara sembunyi-sembunyi digelar oleh EO lain, harus diwaspadai.

Perusakan moral terhadap generasi muda di negeri ini terus meningkat bahkan begitu agresif. Mereka diperangkap dan dijebak dalam aktivitas pornografi, pornoaksi, zina, mabuk-mabukkan, narkoba, hingga tindak kejahatan. Upaya ini didukung oleh modal yang kuat untuk menghancurkan bangsa ini.

Sudah seharusnya berbagai elemen masyarakat bersatu menghadapi kekuatan besar itu. Tak boleh tinggal diam melihat ketelanjangan amoral. Jika tidak, negeri ini sebentar lagi akan menemui kehancuran.*