Spread the love

Sudah dibaca 1283 kali

Bagian 2

“Baru pulang kok sudah pergi lagi, Bil?” tanya Ibu dengan nada heran.

Aku hanya bisa menyungging senyum kecil dan berharap dalam hati ia bisa memakluminya. Lalu aku menyeret tubuh letihku mendekati motor yang terparkir di pekarangan rumah, memakai sarung tangan, jaket, penutup hidung, dan helm. Aku meluncur ke Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat.

Di perjalanan aku berharap akan tiba dengan selamat. Mataku sayu dan kulit wajah masih menggurat kelelahan. Kupikir itu sudah cukup menggambarkan bahwa aku butuh banyak istirahat dan mesti menyegerakannya. Ah, barangkali aku telah menzalimi tubuhku sendiri. Selama beberapa hari ini aku telah memforsir energinya.

Dalam sepekan, aku menghabiskan waktu di kantor. Menginap lima hari! Hari-hari kuisi dengan meliput/wawancara, menulis, dan mengedit tulisan. Mungkin ini imbas buruk dari jumlah  personel yang sedikit dalam sebuah keredaksian sementara jumlah halaman dan nara sumber per rubrik sangat banyak. Apalagi ini masih edisi tiga, di mana konsep matang sebuah majalah masih dalam tataran mencari. Tak aneh rubrik baru dibuat dan rubrik lama yang kurang bagus dibuang. Repotnya bila owner banyak campur tangan. Tema dan nara sumber yang telah ditetapkan dalam Rapat Proyeksi bisa saja dientaskan.

Pada edisi 3 ini Pemimpin Redaksi menghendaki kru mengerjakan sekaligus edisi 4 dalam rentang 1,5 bulan. Ia tidak ingin waktu puasa yang jatuh pada pertengahan September tidak banyak terganggu oleh aktivitas peliputan. Makanya usai pengerjaan edisi 3 kru tak boleh istirahat sejenak. Penugasan harus segera dimusyawarahkan dan dilaksanakan.

Aku terpaksa menginap di kantor lantaran tugasku yang menumpuk. Aku diserahi amanah memegang beberapa rubrik. Aku, sih, senang-senang saja menerimanya, apalagi nara sumber yang kuwawancarai orang-orang hebat, terutama dalam bidang akademis. Sebagai redaktur, aku pun kadang dimintai pendapat oleh dua reporter, satu fotografer, dan seorang desainer dalam pengerjaan tugas.

Namun kupikir aku mendapat penugasan yang relatif lebih berat. Itu terlihat ketika beberapa naskah masuk, aku masih bergulat dengan liputan dan menulis. Oya, aku pun belum diberi meja dan komputer sendiri oleh redaksi. Bisa dibayangkan kurang nyamannya aku bekerja dengan ‘meminjam’ komputer teman lain. Aku pun merasa kurang nyaman ketika ruang redaksi menjadi bising oleh suara musik—dinyalakan seorang reporter sepanjang hari—dan televisi. Otakku seperti pengin meledak.

Bagiku, menginap di tempat kerja bukan hal baru. Dulu, waktu bergiat di Pers Mahasiswa, aku biasa menginap di sekretariat. Meliput, menulis, dan memeriksa tulisan hingga begadang. Semua naskah yang diterbitkan harus lewat seleksiku, dan semua liputan harus dibawah koordinasiku—saat menjadi Pemimpin Redaksi di Majalah Didaktika dan Tabloid Transformasi Universitas Negeri Jakarta.

Namun sudah pasti kondisi keduanya berbeda. Tidak bisa suasana kampus dan kerja disamakan. Dalam dunia kerja, profesionalitas mesti diutamakan. Atasan harus benar-benar dihormati dan menjaga perasaannya agar tidak tersinggung. Beda saat mahasiswa, yang antara Pemred dan reporter tidak perlu formalitas dalam bicara. Diskusi bisa dilakukan di kantin, taman, atau sekretariat sambil makan cemilan, ngopi, merokok, dan teriak-teriak. Canda tawa menjadi hal lumrah. Namun bukan berarti kerja-kerja pers mahasiswa tidak profesional.

Menginap selama lima hari di kantor, yang kusesalkan adalah pemberitahuan ke orang rumah. Aku selalu lupa memberi tahu adik—karena hanya dia yang pegang telepon selular dan lewatnya Ibu-Bapak diberitahu. Waktu Selasa menginap, aku tidak memberi tahu adik. Rabu malam aku memberitahunya lewat tengah malam, dengan mengirim SMS dan menelepon saat ia tidur. Makanya ketika Rabu pagi aku pulang ke rumah, Ibu berkata, “Hayo dari mana saja, kok nggak pulang-pulang?” Rabu malam dan Kamis malam aku juga demikian; lupa memberitahu adik.

Sabtu malam 1 September aku kembali menginap. Banyak naskah belum diedit. Sore badanku dingin. Aku khawatir terserang sakit. Kurasa pendingin udara tidak berperan besar terhadap suhu tubuhku. Aku keluar untuk menyegarkan diri.

Seorang reporter belum menyelesaikan tugasnya. Aku dan desainer tak bisa menahan gerutu. Aku diminta Pemred menunggu naskah terakhir itu, mengeditnya, lalu memberikannya ke desainer. Sebab pada Ahad, naskah itu harus sudah diberikan pada owner untuk diperiksa.

Reporter itu pulang—karena perempuan—dan baru memyerahkan tulisan lewat email hampir kukul 09.00. Aku segera mengedit tulisannya.

Pukul 10.15 aku selesai mengedit tulisan itu. Beberapa menit kemudian aku pulang—di kantor tersisa aku, office boy dan desainer. Tubuh masih menyimpan letih, mata merah (karena baru tidur pukul 03.00), dan keringat di badan (aku belum mandi). Tiba di rumah pukul 10.45.

Setiba di rumah aku main dengan dua kucing peliharaan sebentar—karena kangen—mengobrol dengan ibu dan adik, makan makanan ringan, lalu mandi. Pukul 11.35, atau 40 menit aku di rumah, aku pergi ke TIM. Tidak sempat makan—walau perut lapar karena belum terisi nasi. Aku memaksakan diri ke TIM untuk berkoordinasi dengan pengurus FLP DKI; jadwal inagurasi seminggu lagi. Sungguh, dalam perjalanan, aku mengkhawatirkan diri sendiri karena kondisi tubuhku yang kurang nyaman. Alhamdulillah aku tiba dengan selamat.

Sesampai di TIM aku langsung meluncur ke tempat pertemuan di teras masjid Amir Hamzah dan shalat zuhur. Pertemuan rutin FLP DKI sudah selesai. Aku menyempatkan diri berbincang dengan teman-teman Pramuda dan beberapa pengurus. Cuma sedikit pengurus yang datang. Sebab sebagian pengurus ikut Kopi Darat mailing list Sekolah Kehidupan di Kebun Raya Bogor—aku juga anggota milis ini, diundang datang, namun tidak bisa lantaran kondisi di atas. Perbincangan soal inagurasi belum bisa dilakukan lantaran Kepala Sekolah Meiliana Komalarini (Meli) belum datang. Ia masih di Bogor ikut acara itu.

Badanku masih terasa letih. Aku harus mengisi perut. Bersama teman-teman pengurus aku makan di rumah makan samping TIM. Saat makan, Andi Tenri Dala, salah satu pengurus, datang membawa biola. Rencananya dia akan latihan musikalisasi puisi sore itu. “Dala,” sahutku, “kamu mestinya tidak makan dulu. Kamu harus menghibur kami dengan main biola.” Ia hanya tertawa.

Usai makan kami kembali ke TIM. Saat itu ada pemutaran film gratis di TIM 21. Beberapa ada yang nonton, tapi aku, Dala, dan Lamuna memilih kembali ke Masjid Amir Hamzah.

Dekat masjid ada tempat luas yang biasa dipakai latihan drama. Di sanalah teman-teman Pramuda latihan teater. Rencananya mereka akan ‘mentas’ perdana di inagurasi 9 September. Aku, Dala, dan Lamuna menyaksikan mereka latihan dari tempat duduk di depan tempat latihan.

Terus terang aku sangat kagum pada mereka. Walau ini pertama bagi mereka, namun aku bisa melihat mereka antusias untuk menampilkan drama yang baik. Usai latihan, mereka mendatangi kami dan meminta masukan. Dalam hati aku meyakinkan diri, bahwa keinginan membuat teater FLP DKI yang permanen bisa tercapai.

Meli, Lia Octavia, dan Fiyan Arjun datang. Fiyan segera mendatangi teman-teman di tempat latihan. Oleh sutradara Heni Novita Sari ia diminta memainkan peran sendirian sebagai hukuman tidak ikut latihan bersama. Aku memerhatikan Fiyan berakting.

Maghrib tiba. Aku dan teman-teman shalat di Masjid Amir Hamzah. Di sana sudah ada Koko Nata dan Deni Prabowo (keduanya anggota FLP Depok). Aku dan Dala menyempatkan bicara dengan mereka usai maghrib.

Usai berbincang aku kembali ke tempat latihan. Mereka, teman-teman Pramuda, sedang duduk melingkar. Entah apa yang dibicarakan. Aku bicara sebentar dengan Meli dan Sutarni soal inaugurasi, lalu pulang dengan motor.

Badanku masih terasa letih. Aku berpikir akan minum susu coklat hangat di rumah. Seorang teman, lewat SMS, menyarankanku minum susu biar aku tidak sakit. Ia juga menyarankanku agar mengurangi minum kopi. Kubilang aku tidak suka susu kecuali susu coklat. Lalu ia menyarankanku minum jamu. Kubilang lagi aku tidak suka minum jamu. Maka ia sedikit memaksaku agar minum susu. Perhatian sekali dia.

Setiba di rumah aku pengin minum susu, tapi aku malas ke warung untuk membelinya. Aku minum Pocari Sweat dan mengirim SMS permintaan maaf ke temanku bahwa sarannya tidak kuturuti. Semoga dia tidak marah.

Aku tidak tahu apakah kesibukan sepekan itu akan terulang lagi. Kalau ya, kupikir bobot tubuhku akan turun drastis. Dan aku menduga-duga bahwa sepekan ke depan, bahkan hingga menjelang Ramadhan, aku akan mengulanginya. Dan teman-teman akan melihatku kurus. “Mas Bill kok kelihatan kurus?”

Duren Sawit, 3 September 2007.