Spread the love

Sudah dibaca 1451 kali

“HEI BIL! MAU KE MANA KAMU HARI INI? UDAH MAKAN APA BELUM?”

 

Kalimat itu tertulis di selembar kertas di atas Central Processing Unit, di sebelah dua kertas lain bertuliskan “HEI BIL! NULIS APA KAU HARI INI?!” dan “HEI BIL! ILMU APA YANG KAU SERAP HARI INI?!”. Itu tulisan ibuku. Aku menemukannya usai membuka kamar sepulang kerja.

 

Tiba-tiba aku tidak menganggap biasa tulisan itu. Kupikir itu sebentuk peringatan bernada perhatian yang sengaja Ibu tulis. Aku sering pergi dan pulang kerja dengan waktu tak tentu. Berangkat bisa pagi, siang, atau malam. Pulang pun bisa pagi, siang, atau pun malam. Terkadang setiba di rumah pagi hari, beberapa jam kemudian pergi lagi. Tapi janganlah berpikir aku bekerja sebagai satpam, buruh pabrik, atau penjaga toko. Aku kuli tinta yang ‘memerdekakan diri’ dengan jam waktu kerja; ketidakteraturan waktu kerja. Namun bukan berarti aku bekerja sepenuh waktu.

 

Barangkali hal tersebut yang membuat Ibu ‘prihatin’. Terlebih selama penyelenggaraan Jakarta Fair 14 Juli -15 Juli lalu, aku selalu pulang tengah malam, kadang menginap di kantor. Selama penyelenggaraan Jakarta Fair, aku bersama teman-teman mengelola Newsletter Jakarta Fair 2007. Terbit per minggu, meliput acara-acara yang terjadi di sana. Pulang tengah malam usai acara dan berdiskusi bareng teman sejawat.

 

Kebiasaan menjalani hari dengan ketidakteraturan waktu ini sudah kulakoni sejak duduk di bangku Sekolah Teknik Menengah. Aku sekolah di SMK Telekomunikasi Sandhy Putra Jakarta angkatan 1995. Letaknya di depan Mal Taman Anggrek, Jalan Letjen. S. Parman, Slipi, Jakarta Barat—sekarang pindah ke Kali Deres, Jakarta Barat. Karena letaknya yang sangat jauh dari rumahku di Duren Sawit, Jakarta Timur, untuk menempuhnya aku harus berjibaku dengan waktu. Bangun—tepatnya dibangunkan Ibu—menjelang subuh dan mandi—dengan air hangat bikinan Ibu—saat muazin mengumandangkan azan. Lalu berangkat ke sekolah dengan tiga angkutan di mana doa selalu kupanjat karena khawatir dihadang pelajar berandal.

 

Karena letaknya jauh, aku jadi malas pulang. Pulang pun menunggu angkutan longgar, yaitu di malam hari usai isya. Pada beberapa hari dalam seminggu aku aktif di organisasi—pernah di Rohani Islam, Pramuka, Bola Voli—dan selesai kegiatan selalu sore. Kalau tidak ada kegiatan, bersama teman mampir di pedagang kaki lima yang berderet di sepanjang Pasar Jatinegara untuk sekadar cuci mata, atau nongkrong di lapak tukang roti bakar dekat penjual buku bekas yang berjajar di depan Stasiun Jatinegara. Baru pulang menjelang maghrib.

 

Namun aku lebih senang pulang malam. Usai berkeringat di lapangan Voli dan Basket bersama teman, mengeringkan peluh di ruang kelas ber-AC sambil bernyanyi dan teriak-teriak, membersihkan badan di kamar mandi, shalat maghrib, mengobrol menunggu isya, lalu aku bersama beberapa teman menyusuri jalan sekitar 300 meter ke depan Kampus Trisakti. Lelah badan sebisa mungkin dibayar dengan lelap tidur selama perjalanan bus ke arah Cawang atau Kampung Melayu. Tiba di rumah pukul 20 atau lebih. Begitu terus selama tiga tahun.

 

Sebelum masuk kuliah pada 1999 di Universitas Negeri Jakarta, selama setahun (1998-1999) aku menjadi pengacara (pengangguran banyak acara). Maklum, Jurusan Teknik Elektro dan Jurusan Teknik Mesin Universitas Indonesia tak mampu kutembus saat mengikuti Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Ilmu yang didapat di STM yang berbasis telekomunikasi sentral telepon (switching) kurang memadai untuk menghadapi soal-soal ujian yang berbasis pengetahuan Sekolah Menengah Atas.

 

Usai wisuda sekolah, selama tiga bulan aku bekerja di rumah Deliar Noer, guru mengajiku. Tugas utamaku membuat kliping koran dan membantu sekretarisnya Syarif . Saat bekerja di sana dalam suasana sunyi, aku selalu berusaha menikmati pekerjaan; bekerja di dalam ruangan berukuran 3×7 meter sendirian.

 

Selama bekerja di sana, wawasan ilmuku bertambah. Selain bisa membaca kliping koran yang didinginkan Deliar Noer, aku dibolehkannya meminjam koleksi bukunya yang sangat banyak itu; buku-buku lawas dan baru, dalam dan luar negeri, yang tersimpan rapi dalam rak-rak buku yang besar dan memenuhi sejumlah ruangan. Selain membuat kliping, aku membantu Syarif memfoto kopi, mengirim fax, membayar tagihan telepon dan listrik ke bank, mengantarkan Zahara Noer terapi struk di Rumah Sakit MMC Kuningan, dan mengangkat telepon bagi masyarakat yang ingin tahu mengenai Partai Umat Islam, partai yang didirikan Deliar Noer.

 

Deliar Noer adalah doktor ilmu politik pertama di Indonesia. Ia Rektor IKIP Jakarta pada 1966-1968. Lantaran ia mengkritik pemerintah yang berselingkuh dengan pengusaha dalam membangun negara lewat pidatonya (ia menolak mengganti isi pidatonya), ia diturunkan paksa dari jabatan rektor. Lalu ia pergi ke Australia dan menjadi pengajar di sana karena pemerintah tak menginginkannya tinggal di Indonesia.

 

Aku mengenalnya saat menjadi murid pengajiannya di mushala belakang rumahnya—mushalanya masih satu kompleks dengan rumahnya. Saat kelas 1 SMP itu, aku belajar Iqra padanya. Ia tegas dan disiplin. Banyak anak yang sungkan membaca dengannya dan lebih memilih guru mengaji lain, termasuk aku. Walau begitu ia lembut dan baik hati. Setelah khatam Qur’an dan menjadi salah satu yang tertua di sana (kebanyakan murid pengajian masih bocah), aku dan beberapa teman diminta mengajar mengaji. Banyak kenangan manis menjalani hari-hari menjadi guru mengaji, terlebih sekarang murid-muridku sudah besar-besar dan ada yang sudah menikah.

 

Hanya tiga bulan aku bekerja padanya. Itu kulakukan karena aku tak bisa membohongi hati kecil; aku belum siap bekerja. Aku masih ingin bebas bermain dengan teman-teman, terutama bertemu dengan teman-teman STM. Kemudian aku menjadi seorang ‘petualang’ bersama sejumlah teman hingga diterima menjadi mahasiswa di Universitas Negeri Jakarta.

 

Di kampus aku duduk di bangku Jurusan Pendidikan Teknik Elektro, Fakultas Teknik. Namun kuliahku sebenarnya di Unit Kegiatan Mahasiswa Pers Mahasiswa Didaktika. Sebab waktuku banyak tersita di organisasi penerbitan tersebut; rapat, diskusi, meliput, menulis, menghadiri diskusi/pertunjukan budaya di Teater Utan Kayu atau Taman Ismail Marzuki, mengadakan pelatihan jurnalistik, menghadiri pelatihan jurnalistik ke luar kota, ikut seminar, dll.

 

Mobilitas yang tinggi ini sangat memengaruhi ‘gaya hidup’. Waktu 24 jam sehari terasa tak cukup. Maka menginap di sekretariat Gedung G 304 menjadi pilihan. Pulang ke rumahpun sekehendak hati; bisa pagi, siang, sore, atau malam. Kadang, bila tak ada persiapan menginap namun dipaksakan menginap sehingga tidak punya pakaian ganti, pagi-pagi aku pulang lalu setengah jam atau sejam kemudian berangkat lagi ke kampus. Aku tidak mau meminjam pakaian teman lain sebagaimana sebagian teman melakukannya.

 

Di rumah aku istirahat sebentar sambil nonton televisi, mandi, makan. Bila tidak ada lauk untuk dimakan, Ibu menyediakannya, seperti menggorengkan telur atau merebuskan mi instan. Kemudian berangkat lagi ke kampus.

 

Pernah suatu hari seorang tetangga heran. Pagi-pagi aku pulang melewati rumahnya dan sejam kemudian aku melewati rumahnya lagi untuk berangkat. Aku tersenyum saja. Kadang aku perlu menjelaskan pada tetangga sebelah rumah apa aktivitasku yang ‘tidak normal’ itu.

 

Ibu? Dia jarang sekali menanyakan aktivitasku. Walau begitu aku selalu berinisiatif memberi tahu kegiatan yang kulakukan agar ia tidak penasaran. Ia akan dengan senang hati mengingatkanku agar tidak lupa makan. Bila ada makanan berlebih, ia menyuruhku membawanya ke kampus agar bisa juga dinikmati teman-teman lain. Aku selalu merasa didukungnya. Ia tak pernah melarang kemanapun aku bepergian, termasuk ke luar kota dan menginap.

 

Hanya saja aku harus berbuat adil pada Ibu. Aku punya waktu sedikit untuknya dan keluarga. Saat di rumah, aku menyediakan diri mendengar cerita-ceritanya. Ya, ia suka bercerita seputar kegiatannya, baik di rumah maupun di masyarakat. Tentang rumah, ia senang bercerita tentang tingkah polah kucing peliharaan, tanaman di pekarangan, atau relasi antara ia, Bapak, dan adikku. Tentang masyarakat, ia bercerita tentang aktivitas sosialnya. Ibuku Ketua Posyandu, penyuluh dari kelurahan, selain mengurusi beras miskin (raskin, beras untuk masyarakat miskin), warga tak mampu yang sakit sehingga mendapat pengobatan gratis dari Jaring Pengaman Sosial/Asuransi Kesehatan Miskin, mendata warga, dll.

 

Aktivitas tak normal seperti ini kulakukan selama kuliah, sejak 1999 hingga 2006. Tepatnya empat tahun saat berkecimpung di majalah Didaktika dan kurang lebih tiga tahun di Tabloid Transformasi.

 

Terus terang saja, di dunia ini, perempuan yang aku kagumi adalah ibuku sendiri. Ia ‘perempuan perkasa’. Pekerja keras yang gigih dan ulet. Cerita masa lalunya adalah kegetiran. Waktu kecil ia penjual salak di stasiun, menjual kayu bakar, dll. Saat bekerja di Patal Senayan ia ‘nyambi’ jualan tahu isi. Kini, selain menjahit, kadang ia meluangkan waktu membuat kripik pedas untuk memenuhi pesanan. Atau membuatkan nasi kotak atas permintaan tetangga yang mengadakan hajatan. Bila malam tiba, kalau tidak menjahit atau nonton sinetron, ia mendata warga untuk keperluan Posyandu. Kepandaian menjahit tidak didapatnya dari kursus. Ia belajar sendiri, outodidak.

 

Soal makanan, Ibuku ahli masak yang hebat. Makanannya selalu enak. Om-ku, adik Ibu, meyakinkanku. Ia juga bisa membuat aneka kue lezat. Juga tumpeng. Sejumlah perabotan memasak dan membuat kue ia punya. Semua ia miliki dari keringat sendiri.

 

Aku mengagumi Ibu. Di lembar Persembahan skripsi, aku menulis: “Untuk Ibu, ‘perempuan perkasa’ yang aku kagumi’.

 

Ibu adalah matahariku. Di balik kesuksesanku ada Ibu. Ia mendukungku dengan kemampuan optimalnya. Dan itu sudah sangat cukup bagiku. Semoga aku bisa membahagiakanmu, Ibu. Semoga Allah SWT menyayangimu. Doakan aku menjadi manusia yang beriman.

 

Duren Sawit, 27 Agustus 2007.