Ada Siswa Belum Lancar Membaca, Ini Solusinya
Sudah dibaca 438 kali

Dalam sejumlah kegiatan bimbingan teknis (Bimtek) literasi, baik jenjang SD maupun SMP, saya bertanya kepada para guru mengenai keberadaan siswa yang belum lancar membaca. Umumnya mereka mengakui ada sejumlah siswa yang ketahuan belum lancar membaca. Kadang pengakuan ini diikuti dengan raut wajah ragu karena khawatir disangka tak mampu mengajar siswa.
Di sejumlah daerah, saya mendapati fenomena yang menggelisahkan. Saat mengisi Bimtek di Timika, kabupaten terkaya se-Indonesia karena di tanahnya bersemayam cadagangan emas dan tembaga terbesar di dunia yang dikelola oleh PT. Freeport Indonesia (perusahaan tambang asal Amerika Serikat), saya mendapat cerita yang sangat mengganggu. Kepala dinas pendidikan dan guru-guru mengungkap fenomena bahwa banyak siswa SMA, SMP, dan SD yang belum lancar membaca. Bahkan buku bacaan sulit di dapat.
Di Mamuju, seorang kepala SMP bercerita bahwa 31 siswa kelas IX belum lancar membaca. Ia sendiri yang baru menjabat kepala sekolah kaget dan bertanya-tanya. Ke-31 siswa kemudian dikumpulkan dan mengikuti jam tambahan membaca.
Di Jakarta, seorang guru SMK dari Kabupaten Karawang menyampaikan keprihatinannya karena beberapa siswanya tidak lancar membaca. Ia selalu menyempatkan datang ke rumah mereka dan memberi jam tambahan belajar.
Media massa, baik televisi maupun media sosial, akhir-akhir ini, banyak mengungkap fenomena siswa di berbagai jenjang pendidikan belum lancar membaca (baca: Viral Puluhan Siswa SMP Belum Bisa Baca, Pengamat: Kurikulum Belum Sesuai Harapan). Umumnya mereka, para jurnalis itu, mengutip para pengamat atau pakar pendidikan, mempertanyakan proses pendidikan yang berjalan, kurikulum, hingga kompetensi guru sehingga menyisakan siswa yang belum lancar membaca. Namun, pertanyaan itu sering sengaja dimunculkan tanpa berusaha mengungkap sebab sebenarnya. Akhirnya timbul kesan bahwa kondisi tersebut semata kesalahan sekolah. Guru dipandang tidak cakap mengajarkan cara membaca kepada siswa. Padahal, kalau ditilik lebih dalam, ada faktor lain di luar sekolah yang menjadi penyebab utama siswa belum lancar membaca. Hal ini akan saya bahas di tulisan berikutnya.
Memang suatu keharusan bagi guru untuk memastikan bahwa siswa tidak tertinggal pelajaran. Salah satu indikatornya adalah kemampuan siswa dalam membaca. Kalau siswa masih kesulitan membaca, mereka akan sulit pula memami materi pelajaran.
Lalu bagaimana mengetahui siswa belum bisa atau lancar membaca? Ada beberapa cara yang dapat dilakukan.
Melakukan Asesmen Awal
Asesmen awal penting dilakukan untuk memetakan kompetensi siswa. Hal ini sebaiknya diadakan di awal kenaikan jenjang. Guru dapat menggunakan instrumen Early Grade Reading Assessment (EGRA) untuk mengetahui kompetensi membaca siswa (tonton: Melaksanakan Asesmen Membaca Adaptasi EGRA). Instrumen ini berupa lembar kertas berisi rangkaian huruf, kata, dan kalimat untuk diujikan kepada siswa. Memang butuh waktu saat melakukan asesmen individual kepada tiap siswa yang dirasa belum lancar membaca, namun hasilnya lebih akurat.
Dalam Kegiatan Pembelajaran
Untuk mengetahui kemampuan siswa dalam membaca dapat pula dilakukan melalui kegiatan pembelajaran. Guru, misalnya, meminta siswa untuk membaca suatu teks bacaan. Siswa yang kesulitan membaca, seperti terbata-bata atau salah eja, dapat dipastikan belum lancar membaca.
Dalam Kegiatan Membaca
Kegiatan membaca yang dimaksud di antaranya adalah ketika guru melakukan membaca nyaring (read aloud) (tonton: Apa Itu Membaca Nyaring). Meskipun tujuan kegiatan ini adalah untuk kesenangan, guru dapat menyisipkan momen di mana ia minta siswa untuk membaca kata atau kalimat yang ditunjuk. Siswa yang kaget atau gelagapan lalu membaca dengan terbata-bata dipastikan belum lancar membaca.
Setelah tahu ada siswa belum lancar membaca, lalu apa yang perlu dilakukan? Setidaknya ada dua langkah yang bisa dilaksanakan.
Memberi Materi Tambahan
Maksudnya materi tentang cara membaca. Jika guru menggunakan tes EGRA, hasilnya akan segera diketahui pada titik mana kelemahan siswa dalam membaca: apakah sulit membaca/merangkai kata, sulit mengeja suku kata, atau belum hafal huruf. Guru bisa langsung memberi penguatan pada kelemahan yang dialami siswa.
Materi tambahan bisa diberikan setelah jam pulang sekolah. Siswa-siswi yang belum lancar membaca dikumpulkan di satu ruangan lalu diberi pelajaran tambahan. Guru perlu menciptakan suasana yang menyenangkan dan santai agar siswa tidak merasa minder dan terintimidasi. Bagaimanapun, rendahnya kemampuan seorang siswa dibandingkan dengan rekan-rekan yang lain sudah merupakan beban berat yang ditanggungnya.
Dengan memberikan perhatian khusus dan kesabaran ekstra, lambat laun siswa akan lancar membaca. Mereka hanya perlu waktu dan kesabaran kita.
Penguatan dalam Pembelajaran
Strategi lainnya adalah memberi penguatan dalam kegiatan pembelajaran. Siswa yang kurang lancar membaca dikelompokkan dengan siswa yang sudah mahir membaca. Diharapkan siswa yang sudah mahir membaca membantu rekan yang belum lancar membaca melalui aktivitas pembelajaran. Belajar pada teman sebaya akan mendukung siswa bersangkutan untuk memacu diri lebih baik.
Guru dapat menggunakan metode lain yang relevan dengan kebutuhan dan kondisi tiap siswa. Faktor-faktor lain di luar pembelajaran, misalnya kegiatan siswa usai pulang sekolah, dukungan orang tua, dan lingkungan masayarakat perlu jadi pertimbangan guru. Bagaimanapun, di abad informasi ini, dapat membaca adalah hak setiap anak. Semua pihak, mulai orang tua, sekolah, pemerintah, hingga masyarakat berkewajiban memenuhi hak tersebut. Kita semua harus melakukan refleksi bersama (baca: Literasi Membaca, Sejauh Mana Kompetensi Siswa-Siswi Kita?)*
Keadaan ini sungguh meresahkan. Saya sebagai guru dulu ketika mengajar di kelas rendah melakukan face to face ke tambahan belajar. Ketika kelas tinggi begini, masih ada siswa yg kemampuan membaca seperti kelas rendah. Bisa membaca tapi tak lancar. Setelah terus mengevaluasi, ternyata di rumah tidak terjadi kontrol dan jadwal belajar. Sekuatnya guru berusaha, tetap lingkungan keluarga menjadi faktor utama.
Selama ini masyarakat menyerahkan pendidikan ke sekolah padahal lingkungan keluarga sangat penting dan utama. Dukungan keluarga kurang terhadap sekolah, terutama dari keluarga miskin.
Ih bener banget ini. Di sini juga banyak anak SMP yang rupanya baca aja masih belum bisa. Ampun dah.
Btw, Mas, itu siswa di sana tadi yang buku bacaan saja susah ditemukan itu, apakah siswanya punya smartphone? Maksudnya mereka itu anak-anak yang punya akses smartphone atau memang akses teknologi juga terbatas ya? Kalau di sini yang blm bisa baca itu malah yang akses internetnya gampang soalnya. Heran juga ya…
Oiya, kasus tak bisa baca ini makin melunjak parah ketika sistem pendidikan Indonesia yang waktu itu WFH ketika COVID, walau ya sebelum-sebelumnya juga banyak
Ya, mereka juga bisa mengakses ponsel. Kasus terbaru di Kab. Buleleng, 400 siswa SMP tak bisa/belum lancar membaca tapi mereka fasih medsosan. Sepertinya ada kesamaan kasus ya: bisa akses medsos tapi belum lancar membaca.
Beberapa cara yang bermanfaat bagi guru dan orang tua untuk meningkatkan kelancaran membaca siswa. Literasi dasar seperti ini belum tuntas, tentu akan susah naik level literasi membaca dan menulis lebih lanjut.
Sedih dan miris rasanya kalau dengar ada daerah-daerah yang sampai kini masih sulit dapat akses ke buku bacaan. Akhirnya ngefek ke kemampuan berliterasi. Memang kompleks ya sebabnya. Sayangnya hal-hal macam ini terkesan dilimpahkan ke pendidikan sekolah aja, padahal faktor lain yang mempengaruhi ada banyak.
apakah ini termasuk jg utk anak yg memang terdapat gangguan belajar bang?
Iya di daerahku juga aku dpt keluhan dari teman yg ngajar di SMP swasta. Katanya muridnya ga bisa baca. Memang di rumah ga dikontrol sama orang tuanya. Dan kurikulum kita emang agak aneh. Pas TK kan ngga boleh diajarin baca tulis ya. Tapi pas SD bacaannya udah rumit. Gimana tuh? Kalo di sekolah saya sendiri bukan ga bisa baca, tapi ga bisa baca Al-Qur’an. Jadi banyak yang masih jilid 1 padahal sudah SMA. Kalo baca tulis sih lancar, mungkin karena rata2 anak orang kaya yg kalo ada masalah kek gitu pasti dileskan sendiri sama ortunya. Tapi soal baca Al-Qur’an ortu kurang punya kepedulian hehe.
Saya pernah menjumpai siswa sudah di tingkat SMP masih belum bisa membaca miris. Dan ini menjadi PR bagi pemerintah, guru, dan orang tua bagaimana agar anak-anak tersebut bisa membaca. Apalagi saat ini pemerintah menggalakkan literasi.