Spread the love

Sudah dibaca 1407 kali

Met, kalau dipikir-pikir, proses pemilu sejak awal berjalan tidak adil ya.” Cepi berucap sambil menyampirkan serbet ke bahunya. Gurat wajahnya menggambarkan seorang filsuf yang sedang pusing memikirkan nasib bangsa.

“Jangankan pemilu, hidup ini saja sudah berjalan dalam ketidakadilan. Tak ada manusia yang sempurna, Cep.” Entah kenapa, tiap terdengar kata ‘adil’, Memet selalu teringat dengan mantan ketiga istrinya. Ketiganya pernah ngomel tentang ketidakadilan perlakuan sesama istri oleh Memet dalam waktu bersamaan.

“Tadi kulihat di televisi, pemimpin partai pemilik stasiun televisi berkoar-koar. Mencitrakan diri dan partainya jauh-jauh hari menjelang pemilu. Kasihan dengan partai lain yang tidak punya stasiun televisi.” Saat membersihkan ruangan Kalapas, Cepi menyempatkan diri mencuri pandang dan dengar tayangan televisi yang tengah ditonton Kalapas.

“Inilah pemilu rimba. Yang kuat modal yang menang. Stasiun televisi milik satu partai pasti akan menjungkirbalikkan citra baik yang tengah dibangun partai lain. Bahkan, kasus-kasus hukum dan moral yang membelit kader partai lain dieksploitasi hingga usus-ususnya agar partai itu terkesan buruk di mata masyarakat penontonnya.”

Cepi terdiam sejenak. Ia berusaha mengingat-ingat sesuatu. “TV One dan ANTV milik ARB pasti digunakan sebesar-besarnya untuk menghimpun kekuatan pencitraan Partai G. Metro TV milik SP digalang untuk membesarkan citra Partai ND. Sedangkan RCTI, MNCTV, dan Global TV milik HT pasti dikerahkan untuk meningkatkan citra Partai H. Partai lain…”

“Partai lain…”

“Gigit jari! Hahahaha…” Keduanya kompak tertawa. Menertawakan partai lain yang tak berdaya menghadapi kondisi ini.

“Makanya partai-partai bukan pemilik televisi mendesak KPI agar televisi dan media massa lainnya dilarang jadi alat kampanye pemilik modalnya.” Cepi coba menganalisis. “Tapi aku sangsi KPI mau dan bisa melakukannya.”

“Sebagai cere alias rakyat kecil, kita tak harus ambil pusing dengan situasi itu, Cep. Biarkan saja para politisi ini puyeng tujuh rit. Yang penting kita tidak mudah tergoda atau tertipu dengan akal bulus mereka. Saat sebuah stasiun televisi menayangkan satu berita tentang isu politik atau partai lain, kita harus lebih dulu berpikir bahwa berita yang diangkat telah melalui proses editing ketat: jatuhkan partai lain, hebatkan partai milik bos besar. Intinya, kita harus cerdas mencerna berita. Tak semua informasi yang kita terima benar.”

“Aku setuju, Met. Persoalannya, tak semua orang Indonesia secerdas kau, Met. Banyak yang terombang-ambing dalam pusaran palsu pemilu. Yah… seperti yang dulu-dulu.”

“Selain televisi, alat lain yang digunakan para politisi untuk mendongkrak citra diri dan partainya adalah hasil polling. Mereka berani bayar mahal lembaga polling demi meninggikan citra diri dan partainya. Jadi jangan juga terlalu percaya pada lembaga polling, Cep.”

“Aku tahu. Bahkan aku pun tak percaya padamu!”

“Lho, kok begitu?” Memet serius menanggapi ucapan Cepi.

“Kalau aku percaya padamu, berarti rukun iman ada tujuh dong!”

Keduanya kembali tertawa. Saat itulah seekor lalat hijau masuk ke mulut Cepi. Refleks Cepi menutup mulutnya hingga menggembung. Pandangnya mondar-mandir antara mulutnya dan Memet. Tangannya bergerak-gerak minta tolong.

“Telan saja, Cep! Hitung-hitung kudapan atau vitamin!” sambar Memet sembari tertawa.

Memet masih kelabakan. Lalat dalam mulutnya meronta-ronta minta keluar.

“Kamu sih ngomongin partai, ketidakadilan, bla, bla, bla! Jadi begini deh jadinya! Dasar rakyat kecil! Hahahaha…”

Kali ini tawa Memet meledak lebih santer. Saat itulah, dengan gerakan tak terduga, Cepi membuka mulut dan mengembuskan napasnya dengan kuat. Lalat itu terlontar dan melesak masuk ke mulut memet yang terbuka.

Kini gantian Memet yang kelabakan. Mulutnya dibuka lebar-lebar, berharap lalat segera keluar. Tapi sayang, embusan mulut Cepi yang sebelumnya telah mengonsumsi jengkol KW 3 membuatnya pingsan. Lalat itu tak berdaya, tergeletak di atas lidah Memet.

Gantian Cepi yang tertawa melihat wajah Memet yang seperti orang kerasukan jin. “Aku punya solusi, Met, biar penderitaanmu segera berakhir.”

Memet mengangguk-angguk seakan memercayakan semua usaha kepada Cepi. Ia menunjuk-nunjuk mulutnya.

Belum selesai Memet mengerang, bogem Cepi melayang dan menghantam telak perut Memet. Pukulan itu membuat mulut Memet terkatup dan “Glek!” Lalat itu tertelan dan masuk ke pusara lambung Memet. Rest in Peace.

Cepi terkejut melihat Memet jatuh terduduk. Ia tak menyangka perbuatannya membuat sahabat karibnya tersungkur. Mulai terpikir suatu hari akan beralih profesi menjadi petinju saja. Ia buru-buru berbalik, melangkah panjang, dan bersiul keras.

Wajah Memet memerah. Napasnya nasik-turun. “Cepi, keluarkan lalat ini dari perutku! Cepat panggil dokter bedah!”

Dasar otak miring sebelah. Cepi berjalan menjauh, bersiul-siul, seolah tak mendengar apa-apa.*

Jakarta, 30 Januari 2014.