Spread the love

Sudah dibaca 1453 kali

“Tanggal 16 Maret kemarin kampanye terbuka dimulai, Met. Aku yakin peredaran duit di masyarakat sangat tinggi.”

Cepi bicara dengan berbisik kepada Memet yang tengah berbaring di samping ranjangnya. Ruangan penjara sudah gelap. Semua napi sudah tidur kecuali dua makhluk galau itu.

“Politik duit?” ujar Memet dengan pandang lurus ke langit-langit. “Menurutku biar saja. Masyarakat kita kan sudah cerdas. Mereka datang ke lokasi kampanye belum tentu mencoblos caleg yang memberinya duit. Apalagi waktu, tenaga, dan ongkos transportasi mereka tersita untuk memberi kemeriahan. Caleg harus mengganti pengorbanan mereka, dong. Yang penting kampanye ‘ambil duitnya jangan coblos orangnya’ terus didengungkan.”

Cepi tersenyum simpul. Bicara soal politik, Memet jagonya. Namun ia melihat perubahan pada pola pikir sahabatnya. Dulu mantan aktivis itu sangat getol membela partainya. Kini, ia seperti amnesia terhadap kendaraan politiknya. Mungkin karena kendaraan itu tak membawanya ke kursi parlemen melainkan ke bilik penjara.

“Kita pun jangan sampai dipusingkan dengan potensi pelanggaran yang dilakukan warga seperti bawa anak atau tidak pakai helm. Bukan berarti dua pelanggaran itu ditoleransi ya! Tapi kalau memantau kampanye mestinya berfokus pada caleg atau partainya. Misalnya, jangan sampai tempat ibadah, sekolah, atau fasilitas negara digunakan sebagai tempat kampanye. Atau kampanye hitam yang berpotensi mengadu domba antarcaleg.” Memet begitu lancar bicara sambil menumpukan kepala belakangnya di lipatan tangannya.

“Terus terang aku khawatir dengan pemilu kali ini, Met.” Pandang Cepi berkeliling ruangan, lalu kembali ke sosok sahabatnya. “Aku khawatir nanti parlemen di pusat dan daerah diisi oleh koruptor, pemeras, calo, dan preman. Bisa dibayangkan makin hancurnya negeri ini. Kemiskinan dan kelaparan pasti meningkat.”

Kadang Memet berpikir, tepatnya mempertanyakan diri sendiri, kenapa ia dan Cepi yang kini sudah di dalam sel masih saja memikirkan persoalan bangsa. Dan kadang mereka, secara tak disangka-sangka, berada dalam posisi menggugat. “Ya, aku juga sudah membayangkannya, Cep. Sistem politik berbiaya mahal adalah benih laku koruptif bagi orang-orang yang bergulat di dalamnya. Mereka yang menghabiskan banyak duit agar bisa jadi caleg otomatis akan berupaya mengembalikan modal atau utang-utang. Ada yang pakai cara halus dan banyak pula dengan cara kasar.”

“Jadi, menurutmu, semua ini bermula dari sistem politik berbiaya mahal?” Ucapan Cepi terdengar serius.

“Begitulah. Makanya sebagai rakyat, apalagi di dalam penjara seperti kita, tak perlu pusing-pusing memikirkan apa yang akan mereka lakukan di parlemen sana. Yang perlu dipikirkan adalah menyiapkan perangkat agar mereka bekerja sesuai dengan tugas dan fungsinya. Nafsu politik yang membara hanya bisa diluruskan dengan peraturan yang ketat dan penegak hukum yang berani.”

Cepi terdiam sejenak. Sering ia lepas saja mengungkapkan buah pikiran tak terduga namun begitu berarti jika ia tak sedang di dalam penjara. Terlebih diskusi politik dan hukum yang dilakoninya bersama Memet terbatas dicerna keduanya. Jadi tak akan ada perubahan berarti yang bisa dilakukan walaupun nanti diskusi keduanya dibumbui kajian akademis, hasil penelitian, atau mengutip para filsuf dan cendekiawan dunia. Ia merasa, dalam bahasa vulgar, tengah melakukan ‘onani intelektual’. Tapi belakangan ia merasa cara inilah yang membuatnya dan Memet terus bersahabat dan saling mengisi meskipun di tengah-tengahnya selalu ada pertentangan.

Lama tak dengar suara Cepi, Memet menolehkan pandang ke arah sahabatnya.

“Apa kita punya urusan dengan negeri ini, Cep?”

“Maksudmu?”

“Iya, buat apa kita pusing-pusing memikirkan negara kalau kita sendiri masih di sini menjalani sisa tahanan. Kita tak bisa berbuat apa-apa walaupun kita merasa benar dengan semua pemikiran kita. Toh walaupun suara kita didengar orang, belum tentu bangsa ini akan lebih maju dan berubah menjadi lebih mandiri dan sejahtera.”

“Kukira, itulah yang kini jadi kegelisahan para pemilih mengambang alias swing voter dan orang-orang yang berencana golput. Aku sendiri sampai sekarang belum paham, apa arti partisipasi masuk ke bilik suara dan mencoblos salah satu caleg atau capres dengan perubahan bangsa kita, atau minimal dengan perubahan kehidupan kita masing-masing.” Cepi kembali menyadari suaranya berisi gugatan kosong: siapa yang mau mendengarkan?

“Mungkin… kalau rakyat memilih caleg yang jujur dan berpihak pada mereka, negara bisa lebih makmur.” Otak Memet masih mengira-ngira.

“Kenyataannya, puluhan tahun pemilu digelar, banyak para pemilih yang merasa hidupnya tak lebih baik usai pemilu digelar. Mereka memilih caleg, menjalankan tugas sebagai warga negara yang baik, tapi setelah itu mereka tak bisa berbuat apa-apa ketika caleg yang mereka coblos melakukan korupsi, kesewenangan jabatan, atau kebejatan moral. Mereka tak punya instrumen memadai untuk melakukan kontrol atau alat pemaksa untuk mengarahkan wakilnya di parlemen untuk selalu bersikap jujur dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Inilah salah satu kelemahan sistem demokrasi.” Nada suara Cepi berkobar-kobar.

“Ya… kembali ke pribadi caleg masing-masing kalau begitu. Anggap saja kita membeli undian. Mujur bagus, tidak mujur tinggal urut dada.”

“Kamu sadar nggak sih dengan ucapanmu barusan?!” Tiba-tiba kekesalan Cepi memuncak. Ia bangkit dari ranjangnya. “Kata-katamu itu mencerminkan ketidakpedulianmu terhadap bangsa ini! Kita memang sampah di sini, tapi sampahpun bisa menjadi barang berharga jika didaur ulang.”

“Lho, kok kamu sewot, Cep?!” Memet bangkit, tak terima dimaki-maki. “Sampah ya sampah, tak ada guna membela diri!”

“Kau yang sampah!”

“Kau!”

“Kau!”

Kedunya saling memegang kerah kaus. Tangan mereka mengepal. Tiba-tiba lampu menyala.

Cepi dan Memet mengedarkan pandangan. Para napi sudah berdiri mengelilingi mereka.

“Hei, gue kira ada yang pengin babak belur malam ini!” sahut satu napi.

“Iya, kayaknya sih sampah yang pengin jadi berlian.” Sahut yang lain.

“Jadi, kita perlu menggosok mereka ya!”

Lalu mereka tertawa, dilanjutkan dengan hujaman pukul ke tubuh Cepi dan Memet. Malam itu dua sahabat karib itu tidur sembari menahan nyeri di sekujur tubuh.*

 

Tangerang, 17 Maret 2014.