41. Kampanye Hitam
Sudah dibaca 1331 kali
Cepi termangu memandangi kucing putih yang melintasi tanah lapang di hadapannya. Walau tak mirip dengan foto yang ada di dompetnya, namun kedatangan kucing itu membawa ilham tertentu di benaknya. Namun ia masih ingin mengendapkannya di sanubari paling dalam.
Melihat kelakuan aneh sahabat di sampingnya, Memet tersenyum geli. Dulu, saat masih di tahanan KPK, hanya selembar foto kucing yang mampu meredam gebalau perasaan sahabatnya. Kini, ternyata, hal itu belum berubah. Ia ingin Cepi berubah. Salah satunya dengan mengalihkan perhatian.
“Ketika JW dicalonkan menjadi presiden, ada yang bilang Pilpres sudah selesai. Menurutmu bagaimana, Cep?”
Cepi menoleh sebentar ke arah Memet. “Maksudmu, JW akan jadi sang presiden berikutnya?”
Memet mengangguk. “Dia tak tertandingi dalam jajak pendapat yang digelar berbagai lembaga survei. Jauh meninggalkan tokoh-tokoh parpol seperti PS, ARB, SP, HR, dan JK. Ia juga politisi paling populer di kalangan rakyat jelata.”
“Tapi dia akan mengalami banyak tentangan dan hadangan. Pertama, dari para capres lain yang sekarang doyan bicara kotor. Kedua, dari DPRD DKI Jakarta. JW harus mengundurkan diri untuk mencalonkan diri jadi presiden. Orang-orang parpol di sana yang takut dan tidak senang dengan pencalonan JW pasti akan menggagalkan pengunduran dirinya.” Kening Cepi berkerut tanda sedang berpikir keras.
“Politik memang keras ya, Cep.” Ucapan Memet seperti menyesali kiprahnya dulu di dunia politik. Sikut menyikut dan sikat menyikat antarteman adalah hal biasa. Tak ada teman abadi, yang ada kepentingan abadi.
“Cuma yang kuat yang bisa bertahan. Asas Pancasila yang selalu didengung-dengungkan para pejabat dan politisi negeri ini seperti tak relevan lagi dengan konteks negara ini,” Cepi mendesah berat. Pandangnya tertunduk.
“Bagaimana dengan perilaku ketua Partai G si ARB itu, Cep? Apa pantas dua laki-laki dan dua perempuan melakukan perjalanan jauh dan menginap di hotel yang sama?”
Cepi nyengir prihatin. “Apapun alasannya, mestinya hal itu tidak terjadi. Apalagi dia tokoh politik. Ini seperti sepasang muda-mudi masuk hotel, menginap, lalu ingin semua orang percaya bahwa di dalam kamar mereka cuma main bekel, monopoli, dan halma seharian lalu pulang tanpa melakukan hal-hal yang diinginkan.”
Memet mengedarkan pandang, khawatir ada yang menguping pembicaraannya. “Hush, pelan-pelan bicaramu, Cep! Nanti ketahuan orang kita disangka sedang melakukan kampanye hitam.”
“Jika tidak mau dijadikan alat kampanye hitam, mestinya politisi melakukan hal-hal yang patut ditiru rakyat. Jangan melakukan hal yang membuka ruang fitnah.” Cepi mendengus. Ia dongkol dengan perilaku para politisi yang ingin segala perbuatannya dipandang positif.
“Ini sama saja dengan melakukan blusukan tapi dibilang pencitraan. Sementara yang ngata-ngatain pencitraan kerjanya cuma di belakang meja nunggu proyek tanpa mau turun menemui rakyat. Mereka memandang baik perbuatannya dan memandang buruk perbuatan orang lain yang tidak disukainya.” Dalam sejumlah ucapan, Memet merasa yang terlontar dari mulutnya adalah refleksi dirinya. Dan ia begitu lancar mengucapkannya.
“Negeri ini butuh orang-orang baik yang ikhlas bekerja untuk rakyat ya, Met.” Pandang Cepi begitu teduh. Hatinya luruh.
“Iya, Cep. Aku ingin, ketika aku mati, negeri ini aman sejahtera. Pemimpinnya peduli rakyat, mau turun blusukan menyalami orang-orang susah dan menghibur orang-orang miskin yang putus asa agar tetap sabar dan berusaha.”
Cepi menengadah ke langit. Entah mengapa, benaknya bergejolak haru. Kristal-kristal bening keluar dari kelopak matanya.
“Pagi hingga malam memikirkan nasib rakyat. Hidupnya sederhana. Hatinya selembut kapas dan mudah tersentuh. Senang berada di tengah warga papa dan anak-anak yatim-piatu.”
“Cukup, Met, cukup.” Kata-kata Cepi terdengar serak karena berkelindan dengan isakan tangisnya.
“Aku, aku tak ingin nusantara begini terus, Cep. Negeri ini makin terpuruk ke jurang keruntuhan. Aku, aku membayangkan, kalau kondisi ini terus dibiarkan tanpa ada usaha-usaha perbaikan, sementara para pejabatnya terus berebut kekuasaan, negeri ini akan jatuh ke jurang kemiskinan dan kebodohan.”
Tak disangka, Memet juga menangis. Tangannya berulangkali mengusap pipinya. Sejenak, kedua insan sesama jenis itu hanyut dalam perasaan masing-masing.
“Met…”
“Ya?”
“Boleh aku memelukmu?”
Tanpa berkata Memet membuka kedua tangannya. Cepi mendekat lalu melingkarkan kedua lengannya ke punggung Memet. Kini kedua insan, disaksikan matahari yang terik, awan biru yang berarak, dan kucing putih yang tiba-tiba kembali melintasi lapangan, larut dalam penyesalan.
“Cep, kalau kamu keluar nanti, kamu akan jadi apa?” Ucapan Memet ditimpali isakan.
“Aku ingin memberantas korupsi, menghancurkan kejahatan, dan memberi ketenteraman banyak orang.”
“Iya, jadi apa?”
“Setelah kupikir-pikir, kalau hanya menjadi orang biasa, cita-cita itu tak akan tercapai. Aku ingin menjadi manusia super.”
“Manusia super?”
“Iya, aku ingin menjadi Batman. Aku punya kemampuan hebat dalam bertempur dan punya mobil keren. Koruptor tak akan pulas tidur karena aku juga akan masuk ke dalam mimpi mereka.”
Perlahan Memet melepaskan pelukannya, berbalik meninggalkan Cepi sembari geleng-geleng kepala. Dasar otak miring. Nggak bisa diajak serius.
Di belakang punggung Memet, Cepi terus berangan tentang rencana-rencananya sebagai Batman, di antaranya menikah dengan Catwoman dan berbulan madu ke Monas.*
Senin, 24 Maret 2014.
Leave a Reply