Spread the love

Sudah dibaca 1415 kali

“Empat partai ditegur Bawaslu karena beriklan di televisi melebihi ketentuan, Met.” Cepi mencabuti rumput dengan malas-malasan. Pikirannya tidak sedang ke rumput melainkan ke ulah parpol yang terus membuatnya jengkel.

“Parpol apa saja mereka, Cep?” Beda dengan Cepi, Memet mencabuti rumput dengan penuh gairah dan semangat 45 seolah besok ia akan keluar dari penjara.

“Partai N, H, G, dan D. Tiga partai pertama ketua umumnya pemilik televisi dan yang satu parpol penguasa.”

“Kukira mereka sangat sadar dan sengaja melanggar aturan.” Memet mendesah. Sebelum berkuasa, mereka melanggar aturan. Saat berkuasa, tak mungkin mereka mematuhi aturan. Aturan dibuat memang untuk dilanggar. Omong kosong dengan semua norma yang mereka umbar ke masyarakat. “Jangankan iklan, tiap hari saja berita yang diangkat tak jauh dari aktivitas ketua umumnya.”

“Yang parah, berita yang diangkat tidak seimbang dan tendensius. Partai pemilik modal diangkat tinggi-tinggi sementara partai lain dijatuhkan agar citranya jatuh di mata masyarakat. Beruntung partai yang tidak diliput karena terlepas dari jerat politik media kotor begitu.”

Sebentar Memet menghentikan pekerjaannya. Ia menatap sahabatnya yang tengah dilanda kegalauan.

“Tapi mereka harus bersusah payah membuat dan mencari media untuk menyebarkan citra positifnya ke masyarakat. Yang berduit yang berkuasa.” Cepi duduk, menghentikan aktivitasnya. Pandangnya kosong ke tengah lapangan. Ia terbayang betapa sulitnya para caleg yang partainya tak punya televisi mencari simpati masyarakat sementara caleg yang ketua umumnya pemilik televisi dengan mudah diliput. Cuma caleg-caleg yang gaya kampanyenya aneh dan nyeleneh yang disorot, itupun tak lepas dari citra negatif yang terselip dalam tayangannya.

“Etika …”

“Jangan bicara etika kepada parpol dan politisi, Met.” Ucapan Cepi memotong kata-kata Memet. “Etika cuma mesiu yang dilontarkan oleh orang-orang yang kalah dan termarjinalkan. Sementara mereka, di sana, berpikir tentang siasat dan strategi menjatuhkan lawan politik.”

Mulut Memet monyong, sedikit kecewa dengan aksi boikot ucapannya. Baru ia buka mulut, kembali Cepi memboikot.

“Sebagai rakyat kecil, kita butuh teladan para politisi. Tapi kita selalu dijejali dengan perilaku tak terpuji.”

“Jadi …”

“Jadilah rakyat apatis terhadap politik. Golongan putih alias golput selalu menang dari segi kuantitas. Biarpun tiap lima tahun KPU gencar sosialisasi agar tidak golput, pendirian massa golput seperti batu karang.” Nada bicara Cepi berapi-api seperti kompor meleduk.

“Tapi…”

“Tapi kesalahan tak bisa sepenuhnya ditimpakan ke wajah politisi. Media punya andil juga dalam memperumit bangsa ini. Tiap hari media mengangkat perilaku tak terpuji para politisi. Selalu saja ada berita negatif yang diangkat seolah semua politisi busuk. Sebaliknya, perilaku terpuji sebagian politisi lain jarang sekali disorot. Kalaupun diangkat porsinya jauh sangat kecil dibanding berita tentang perilaku amoral lainnya; pembunuhan, pemerkosaan, perselingkuhan, dan perceraian.”

“Lalu…”

“Lalu ketika perilaku masyarakat menjadi tambah amoral dan tidak masuk akal, dunia pendidikan dijadikan kambing hitamnya. Bad news is good news. Praktisi media harus berani mengoreksi slogan keramat itu jika ingin masyarakat berperilaku baik.”

“Bukankah…”

“Bukankah perilaku baik yang diangkat ke permukaan akan menjadi inspirasi luar biasa bagi masyarakat?”

“Bom…”

“Bom waktu ini suatu saat akan meledak. Bum! Perilaku tak baik, jika terus diulang dan disiarkan melalui media, akan diterima sebagai hal yang baik. Lihat sinetron! Situasi politik dan masyarakat kita kian lama mirip dengan adegan-adegan sinetron. Kerusakan moral yang terus terekam di memori dan alam bawah sadar akan turut merusak pikiran dan hati masyarakat.”

“Perang…”

“Perang media akan terus terjadi selama tak ada pemimpin yang berani berteriak lantang dan bicara: ‘Stop! Mari bicara tentang kebaikan dan memikir ulang cara membangun bangsa ini dengan sikap-sikap terpuji sesuai Pancasila!’ Tentu rakyat menunggu sosok seperti itu.”

“Perceraian…”

“Perceraian terus meningkat frekuensinya karena media infotainment sering menyiarkan perceraian dan perselingkuhan artis.”

“Seks bebas…”

“Seks bebas semakin massif di kalangan pelajar dan sekali lagi dunia pendidikan selalu dihajar karena tak bisa mengerem lajunya.”

“Pornografi…”

“Pornografi tetap marak, peredarannya tak pernah berhenti. Aparat kepolisian tak pernah serius membasminya. Lihat saja Glodok sana. Peredaran film porno dan CD bajakan tak pernah surut padahal pos polisi cuma berjarak sejengkal dari area pasar.”

“Cuci piring…”

“Cuci piring barangkali bisa menjadi hukuman tambahan yang perlu dicoba kepada para napi kasus korupsi. Biar tangan mereka kena kutu air sekalian!”

“Tukang gali kubur…”

“Tukang gali kubur juga bisa jadi alternatif selingan hukuman. Biar mereka selalu ingat mati dan tidak lagi korupsi.”

“Telur dadar…”

“Telur… kamu ngomong apa sih, Met? Kok melantur begitu?”

Memet melempar wajah Cepi dengan rumput yang sejak tadi digenggamnya penuh kegeraman. “Kamu tuh yang melantur dan bicaranya selalu ingin didengar kayak politisi zaman sekarang! Kamu mengkritik media, tapi kamu sendiri nggak sadar sudah berhasil dibentuk oleh mereka!”

Memet lalu pergi meninggalkan sahabatnya yang kerap membuatnya jengkel. Sementara Cepi bersusah payah mengeluarkan rumput yang tadi masuk ke mulutnya.*

Tangerang, Ahad, 30 Maret 2014.