Spread the love

Sudah dibaca 1523 kali

Iron tersengal-sengal. Napasnya hampir tamat. Buru-buru ia menghabiskan segelas air putih pemberian Koci.

“Elo kenapa, Ron? Kayak habis dikejar kuntilanak.” Koci berkata sembari membakar kemenyan di atas tungku. Kakinya bersila di atas bale-bale bambu. Asap kemenyan mondar-mandir tersapu embusan angin.

“Yang ada gue yang ngejar kuntilanak, Ci! Maklum, laki ganteng, sampai makhluk halus pengin kencan sama gue.”

Koci mendengus. Bosan mendengar kata-kata narsis si Iron. Teman sejawatnya itu memang narsis habis. Baru seminggu buat akun Facebook, contohnya, teman Iron sudah mencapai 4 ribu. Ia sangat yakin, mereka bukan hanya dari golongan manusia, namun juga makhluk halus.

“Bahaya, Ci! Gue tadi baru lihat tipi. Kabarnya, ada RUU KUHP melarang praktik-praktik penyantetan. Jadinya, orang-orang pasti takut datang lagi ke tempat praktik kita. Bisa-bisa, kita jatuh miskin nih!” Melihat Koci tenang-tenang saja dan lebih sibuk dengan kemenyannya, Iron heran. “Elo nggak khawatir bakal jatuh miskin, Ci?”

“Buat apa?” ucap Koci, enteng. “Nggak ngaruh! Selama mental sebagian masyarakat masih doyan dengan yang serba instan, eksistensi kita tak mungkin terancam, Ron.”

“Maksudnya?”

“Masyarakat kita banyak yang pengin cepat kaya tanpa bekerja keras. Yang untung dukun pengganda duit dan pengelola investasi bodong. Tiap tahun ada saja warga bodoh yang tertipu dukun pengganda duit. Juga investasi bodong yang memberikan janji keuntungan tak masuk akal.”

“Lalu kenapa mereka mau ditipu?”

“Gue sendiri bingung, Ron. Ini di luar nalar gue. Dari hasil perenungan mendalam gue selama bertahun-tahun, masyarakat sekarang lebih percaya yang nggak masuk akal daripada yang masuk akal. Dulu orang bilang kalau mau kaya harus kerja keras dulu. Itu masuk akal. Tapi orang nggak lagi percaya itu. Biar sekeras apapun bekerja, tetap saja mereka miskin.”

Iron mendelik. Mulutnya menyingging senyum. “Gue jadi ingat pada pasien-pasien kita. Mereka rata-rata berpendidikan tinggi. Karena pengin cepat kaya, naik pangkat dan jabatan, serta agar lebih berkuasa, mereka mendatangi kita. Padahal, kalau dipikir dengan akal sehat, buat apa mereka mendatangai orang macam kita yang rata-rata berpendidikan rendah dan miskin.”

“Lagi pula, sejujurnya, keberadaan kita terus dipertahanankan oleh film-film. Lihat saja, film yang menghadirkan setan dan dukun selalu diputar di bioskop dan televisi. Masyarakat penonton dipaksa memercayai realitas yang sebenarnya berangsur lenyap jika terus dilupakan.”

Entah kesambet oleh apa, Iron menyungging senyum. Ia teringat film-film horor yang tak pernah jauh dari cewek seksi dan pembunuhan sadis. Ia tak pernah tertarik pada sadisme film yang sudah kelewat batas, tapi pada sekwilda (sekitar wilayah dada) dan bupati (buka paha tinggi-tinggi) cewek-ceweknya. Kadang, demi menjaga kelestarian memori otaknya yang hampir luber kemesuman, ia membeli CD-CD bajakan film itu, bahkan sekalian film biru, lalu menontonnya sendiri di kamar saat istrinya tengah tidur pulas.

Melihatnya seperti orang autis, Koci berdecak sebal. Dasar dukun cabul!

“Ngomong-ngomong, elo sedang apa, Ci? Jangan-jangan…”

“Gue mau nyantet para bekas pasien gue, Ron. Setelah naik jabatan dan kaya, pelan-pelan mereka melupakan gue.”

“Yang kebanyakan koruptor itu?”

“Siapa lagi?”

“Kalau begitu, bagaimana kalau kita bersatu?”

“Ngapain?”

“Nyantet para koruptor. Kalau hukum nggak bisa menyentuh mereka, biar santet yang bicara.”

Koci berusaha mencerna kata-kata Iron. Ditebarkannya bubuk kemenyan ke atas tungku pembakaran. Asap mengepul tebal. Ia sudah hafal nama-nama calon mangsanya. Kebanyakan tinggal di Jakarta.*

 

Tangerang, Banten. 10 April 2013.