Aku dan Nyamuk
Sudah dibaca 1361 kali
—Tulisan Ketiga dari tiga tulisan—
Aku tidak pernah menyangka dua hari kemudian kejadian buruk menimpaku, yang kumulai dari kegiatan hari ini. Aku hanya berusaha melakukan sebaik-baiknya, walau tahu harus menyukseskan acara cuma dengan sedikit orang.
Aku sudah membuat janji dengan Iecha (Fariecha Hakim) bertemu di kantor redaksi Annida, Jalan Mede nomor 42 Utan Kayu Jakarta Timur, pukul 08.30. Lokakarya Cerpen Dwiwulan III dimulai pukul 10, maka persiapan tempat dan konsumsi harus dilakukan di awal waktu. Namun pagi itu saudara sepupuku Pristiyanto datang ke rumah. Tak lama ia bertandang karena hanya pembicaraan kecil yang kami lakukan. Sebelum meninggalkan rumah, aku mengirim pesan layanan singkat (SMS) pada Iecha, bahwa aku akan datang terlambat.
Pagi itu hari tak terlalu cerah, agak mendung. Aku memacu motor ke Utan Kayu dengan harapan tidak banyak waktu keterlambatan. Tiba di sana pukul 9 lewat, aku belum menemukan Iecha. Lewat SMS dia mengabarkan masih di bus Jalan Pramuka. Aku menunggu di depan kantor Annida—sebenarnya kantor Ummi Group di mana grup penerbitan ini menerbitkan majalah Annida dan majalah Ummi.
Beberapa menit kemudian Iecha datang bersama Aira. Kami membagi tugas. Aku dan Iecha membeli keperluan konsumsi, Aira menyiapkan ruangan—ruangan tempat acara di kantor Annida lantai satu, dekat ruang tamu.
Aku dan Iecha pergi ke mini market depan Kantor Berita Radio 68 H. Dari sana kami membeli makanan ringan (kacang, wafer, dll) dan sekardus Aqua gelas. Setelah kembali ke kantor Annida dan membiarkan Aira menata makanan, aku dan Iecha bergegas ke toko roti Majestyk yang berada di Jalan dr. Sahardjo.
Di toko roti itu kami membeli bolu kacang. Hujan turun rintik ketika kami meninggalkan toko. Di tengah jalan hujan mulai deras. “Bagaimana Cha, kita berteduh?” tanyaku pada Iecha di belakang punggungku.
“Kalau berteduh kapan nyampenya?” jawabnya. Artinya dia tidak ingin kami berteduh.
Aku terus memacu motor ke arah Utan Kayu. Syukurlah hujan berhenti. Kami berhenti di Pasar Genjing, membeli semangka. Usai beli semangka, kami kembali ke Annida.
Di sana sudah datang teman-teman FLP Bekasi dan FLP Ciputat. Nabilah, siswi kelas 2 SMA 85, peserta dari FLP DKI, juga sudah datang. Waktu menunjukkan sekitar pukul 10.30. Acara sudah molor 30 menit. Cuma teman-teman FLP Depok belum datang.
Di luar hujan turun deras. Sambil memotong semangka dalam ukuran kecil, aku mendiskusikan bundel naskah cerpen peserta LCD III bersama Iecha dan Aira. Kupikir bundel itu sudah dipersiapkan Koko Nata (FLP Depok) seperti biasanya. Ternyata, katanya, yang biasa mengerjakannya Deny Prabowo (FLP Depok) belum membundel naskah lantaran belum dihubungi Andi Tenri Dala, pengurus FLP DKI yang kebetulan bertanggung jawab atas pelaksanaan LCD III—Dala sedang di Batam selama beberapa hari, tugas kantor. Jadilah tidak ada bundel naskah yang diberikan ke peserta hari itu.
Mungkin Mbak Dee (Rahmadiyanti) sudah pegang cetakan naskah-naskah cerpennya? Setahuku Koko sudah memberikan naskah-naskah cerpen untuk dibahas Mbak Dee. Lantas aku ke lantai dua, menemui Mbak Dee di ruang redaksi Annida. Kuharap aku bisa meminjam cetakan naskah dan memperbanyaknya (fotokopi).
Mbak Dee Redaktur Annida. Ia pembahas pada LCD III yang merupakan hajatan FLP Wilayah Jabedeci (Jakarta, Bekasi, Depok, Ciputat). Ketika aku memasuki ruang redaksi, ia sedang membuka-buka file naskah. Ternyata naskah yang ia terima dari Koko masih berupa softcopy. Ia belum mencetak naskah karena baru menerimanya pada Kamis malam dan kebetulan printer Annida lagi error. Dengan demikian, aku pun tidak bisa memperbanyak naskah.
Aku mendapat konfirmasi dari Koko bahwa peserta dari FLP Depok tidak datang hari itu. Jadilah kali ini hanya tiga cabang yang mengirim peserta—pada LCD I dan II yang di adakan di Rumah Cahaya, Depok, empat cabang selalu mengirim pesertanya (tiap cabang mengirim lima peserta).
Mbak Dee memasuki ruang acara ketika azan zuhur dari luar kantor Annida menggema—kemudian disusul azan dari jam digital yang terletak di tengah kantor Annida. Aku membuka lalu menunda acara hingga selesai shalat zuhur.
Sekitar pukul 13 acara dimulai. Mbak Dee membuat catatan terhadap 20 naskah cerpen yang masuk. Catatan tiga lembar ini sudah diperbanyak dan dibagikan ke peserta. Acara berjalan meriah. Meskipun tiada satupun naskah cerpen yang hadir ke tengah peserta, Mbak Dee mengkritisi cerpen peserta yang datang saja untuk menghemat waktu—pukul 14 dia harus pergi. Udara dingin ruangan tak mengurangi antusiasme peserta dalam berdialog.
Acara selesai namun hujan masih deras mengguyur. Mbak Dee langsung ke lantai dua untuk siap-siap pergi. Makanan masih tersisa banyak. Di antara teman-teman ada yang nekad pulang dan banyak pula yang menunggu hujan reda. Aku, Herti (FLP Bekasi), dan Dodo (FLP Ciputat) berdiskusi sebentar, mengobrolkan ihwal pelaksanaan Musyawarah Wilayah FLP Jabedeci. Muswil harus segera diselenggarakan guna membentuk kepengurusan baru yang untuk sementara kupegang—sebagai Ketua Pjs. Kepengurusan baru nanti akan membentuk kepanitiaan Silaturahmi Nasional Forum Lingkar Pena yang sedianya diselenggarakan pada Februari 2008. Kami menyepakati Muswil pada 25 November.
Hujan mereda. Teman-teman pada pulang. Setelah beres-beres ruangan, aku dan Iecha bergegas menuju Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat. Tujuannya satu: menemui Lia Octavia, Bendahara FLP DKI. Ia kebetulan latihan baca puisi untuk pentas di acara Sekolah Kehidupan seminggu kemudian.
Aku dan Iecha bertemu Lia dan temannya, Retno, di warung paling pinggir, masih dalam kawasan TIM—kebetulan sedang ada syuting film Kuntil Anak. Kami sempat berbincang banyak hal. Di tempat itu Lia mengganti dana pengeluaran LCD III yang kutalangi.
Hujan masih turun dengan debit sedang ketika kami sepakat meninggalkan tempat itu. Hari sudah sore. Aku memacu gas meninggalkan TIM menuju rumah Iecha di kawasan Menteng Atas. Aku mengantarnya hingga mulut gang. Setelah itu aku langsung pulang.
Yang terngiang dalam otakku adalah aku harus segera tiba di rumah dan bisa shalat maghrib. Aku menembus Jalan Haji Abd. Syafie dan Jend. Basuki Rahmat di bawah terpaan hujan. Aku tak peduli pada basah.
Ahad, 4 November 2007
Pagi yang tidak menyenangkan. Kepalaku pusing. Pasti ini karena kena hujan kemarin sore. Aku memang tidak terbiasa hujan-hujanan. Kena sedikit, kepala bisa pening.
Namun aku harus memenuhi undangan tiga temanku yang menggelar resepsi; Farhah Subandi, Setiawati, dan Lulu El Maknun. Resepsi pernikahan Farhah di Kantor Walikota Jakarta Barat, Jalan Kembangan Raya 2. Setiawati di Cempaka Putih Baru, sementara Lulu di Bekasi Utara. Aku belum pernah menyambangi ketiga lokasi itu.
Sebelum mandi aku menyempatkan diri ke warung, beli lima liter minyak tanah. Aku sempat terkejut ketika sejumlah orang berkumpul memenuhi badan gang. Kutanya seorang tetangga ada apa, katanya seorang tetangga, Syamsuddin teman mainku, akan menikah. Orang-orang berkumpul untuk mengiringi mempelai laki-laki ke resepsi yang digelar pihak mempelai perempuan di kawasan Cakung, Jakarta Timur.
Aku terkejut sekali. Kenapa tidak ada pemberitahuan atau pun undangan? Yang menikah adalah anak imam masjid dekat rumahku. Aku meneruskan jalan ke warung pinggir jalan. Sebenarnya aku agak malu berjalan dengan kondisi begitu; kaus oblong dengan celana sepanjang lutut dan belum mandi. Kutanya penjaga warung, Ucok namanya. Katanya memang Syamsuddin tidak mengundang teman-teman.
Aku kembali ke rumah dengan sedikit risih. Usai mandi, aku menggelar peta. Aku ingin mencari lokasi Kantor Walikota Jakarta Barat. Peta Jakarta 2005 tidak memuat Jalan Kembangan Raya. Terpaksalah aku menelepon seorang teman, Margowidilaksono, menanyakan alamat lokasi—ia qori di acara akad nikah Farhah. Aku diberi tahu patokan-patokan jalannya.
Ketika membaca peta, kepalaku masih terasa pening. Aku sempat berpikir akan membatalkan rencana pergi. Tapi aku memaksakan diri. Aku sudah terbiasa capek.
Setelah memenuhi berbagai persiapan, aku memacu motor ke depan bioskop Buaran. Di sana aku janji ketemu Yiying Yuningsih. Aku, Yiying, Farhah, Tia (Setiawati), dan Margo bertemu dan berteman saat menjadi panitia Open Campus UNJ pada 2000. Usai acara kami, bersama beberapa teman panitia lain, membentuk forum diskusi ilmiah bernama FISIS (Forum Ilmiah Studi Islam).
Di depan bioskop Buaran kami bertemu. Yiying diboncengi Zaenal Muttaqin, suaminya. Yiying mengajak jalan bareng karena dia dan Zaenal tidak tahu lokasi pernikahan Farhah dan Tia—meski sudah pegang denah. Kami berjalan beriringan. Aku di depan, memimpin jalan.
Aku baru benar-benar merasakan lelah ketika tiba di Kantor Walikota Jakarta Barat. Ini kantor baru yang berbatasan dengan Tangerang. Usai pamit pulang pada Farhah, kami bergegas menuju tempat resepsi kedua, Tia.
Mentari siang begitu terik menyengat. Kepalaku terasa berat dan pening. Aku memakasakan diri menembus kemacetan jalan dan panasnya ibukota. Kelelahan yang sangat kurasakan usai tiba di lokasi pernikahan Tia. Kepalaku berat, pening, dan wajahku pucat.
Tia sedang ganti pakaian, jadi aku, Yiying, dan Zaenal menunggu di luar sambil makan baso dan es krim. Tubuhku masih terasa lelah dan kepala pusing. Setelah Tia duduk di pelaminan—kali ini suaminya Endang yang tidak ada di tempat—kami bersalaman dan langsung pulang.
Di luar, sembari memakai sarung tangan, masker, dan helm, aku sempat mengeluhkan kondisi tubuh. Yiying menyarankanku agar segara pulang, tak perlu memaksakan diri menghadiri resepsi di Bekasi. Tapi kubilang aku harus ke TIM dulu untuk menjemput teman yang sudah janjian akan ke sana bareng. Di tengah Jalan Jenderal Suprapto, Cempaka Putih, kami berpisah.
Aku meluncur ke TIM, menjemput Iecha. Ya, dia diundang Lulu. Aku berencana berangkat bareng dia ke sana. Usai memarkir motor di depan TIM, aku bertemu beberapa teman Muda FLP DKI. Tampaknya mereka baru selesai acara di Masjid Amir Hamzah (Mimazah). Seperti biasa, di depan TIM kami bercakap-cakap sambil menikmati makan siang—jajanan makanan.
Tak berapa lama Iecha datang. Aku mengutarakan kondisiku yang sedang tidak fit. Ia, dan juga teman-teman lain, menyarankanku agar membatalkan rencana menghadiri resepsi Lulu di Bekasi. Aku masih bersikeras, mikir-mikir. Akhirnya aku mengikuti saran mereka. Aku sendiri tidak berani menjamin diri sendiri tiba di sana dengan selamat. Aku mengirim SMS pemberitahuan ke seorang teman yang menjadi pagar ayu dan Lulu sang pengantin.
Aku menyusul teman-teman ke Mimazah. Di sana mereka sedang menggelar Pra-Rapat Kerja Teater Senyawa—kegiatan ekstrakurikuler yang baru dirintis FLP DKI. Sengaja aku tidak mengikuti acara itu karena tubuhku makin drop. Aku masuk ke Mimazah, shalat ashar, lalu tidur-tiduran di atas karpet.
Belum lama tiduran, Fiyan Arjun mendatangiku, memintaku datang ke tengah rapat. Aku datang ke rapat. “Sebelumnya saya minta maaf karena sekarang tidak bisa membagi senyum pada teman-teman,” kataku mengawali pembicaraan. Aku menjelaskan bagaimana prioritas harus disusun oleh organisasi atau kelompok yang sedang membangun dan menjawab pertanyaan tentang keanggotaan Teater Senyawa. Setelah itu, aku kembali menekuri karpet masjid.
Di dalam masjid yang remang itu aku berusaha tidur. Berulangkali kucoba, pikiranku selalu ke mana-mana. Tidur ayam. Aku coba mengatur napas, tetap saja tidak bisa.
Hari makin gelap. Nyamuk-nyamuk kecil beterbangan di atas tubuh dan kepalaku. Aku mengibas-ngibaskan tangan dan menepuk. Tak mungkin aku meneruskan usaha untuk tidur.
Sebelum maghrib peserta rapat bubar. Aku bisa mendengar keriuhannya dari dalam masjid. Kebanyakan mereka langsung pulang. Aku keluar dan tidak mendapati satu pun dari mereka tersisa. Ya, semua sudah pada pulang.
Sekarang aku sendiri. Nantilah pulang setelah shalat maghrib, pikirku. Untuk membunuh kejenuhan, aku berjalan ke luar masjid, duduk di bangku depan Panggung Terbuka. Sendiri. Hari merambat senja dan azan maghrib berkumandang.
Aku kembali ke Mimazah. Tubuhku tiba-tiba terasa dingin. Saat tanganku menyentuh air untuk berwudhu, tubuhku menggigil. Aku memaksakan diri membasuhkan air pada bagian tubuh berwudhu walau badan terus menggigil.
Badanku terasa tidak enak. Aku sakit, ya, aku merasa sakit benaran sekarang. Sepanjang shalat maghrib sebagai makmum, aku terus menggigil. Aku mengkhawatirkan diri terjatuh. Alhamdulillah aku tidak jatuh. Usai shalat aku keluar dan duduk sebentar di teras. Aku berharap satu saja tersisa teman FLP untuk dipinjam minyak kayu putih atau balsemnya. Lama kumenanti, tidak ada yang muncul. Aku keluar masjid.
Aku keluar untuk pulang, tapi aku ingin mengisi perut dulu yang keroncongan. Aku memarkir motor di depan TIM dan duduk di salah satu kedai kaki lima. Pukul 18.17 waktu itu. Kupesan mi rebus. Usai makan mi, hujan turun. Deras sekali. Aku tak berani keluar.
Dalam masa penantian itu tubuhku terasa sakit dan kepala pening. Aku hampir tidak kuat menahannya. Ku SMS beberapa teman agar mendoakan keselamatanku. Yah, tiba-tiba saja aku mengirim SMS minta doa ke mereka, seolah sebentar lagi aku mati.
Pukul 19.15 hujan reda. Aku pulang. Alhamdulillah di perjalanan langit cerah, tidak menurunkan hujan.
Setiba di rumah aku minta Bapak mengeroki tubuhku. Kupikir aku masuk angin saja. Setelah dikeroki tubuhku terasa tenang sebentar. Ya sebentar, karena tubuhku terasa panas dan kadang dingin. Aku melapisi tubuh dengan jaket. Aku tidur di depan televisi.
Senin, 5 November 2007
Tubuhku terasa remuk. Daging dan tulangku seperti dirasuki sesuatu yang memaksaku tidak jauh dari matras. Seharian aku tidak ke mana-mana. Nafsu makanku hilang. Perut hanya terisi air. Panas dan dingin saling menyeling. Pakaian kulapis tiga, tangan dibalut sarung tangan tebal, kaki dibungkus kaus kaki, dan kepala dililit selayar. Tetap saja panas-dingin bergantian mendekapku.
Dari luar suara musik dari bengkel mebel sebelah rumah terus berdentum-dentum, kadang bergenre dangdut, pop, atau house music. Bass-nya mendentam-dentam sampai rumah. Barangkali sebentar lagi aku gila dibuat kondisi seperti ini; tubuh remuk, kepala pusing, tubuh panas-dingin, diiringi musik tak jelas.
Aku lebih banyak sendiri hari ini. Bapak keluar, entah mengerjakan apa. Ibu dan Merlin, adikku, masih di Bojonegoro, Jawa Timur. Usai menghadiri resepsi pernikahan Wuri, saudari sepupuku, di Semarang pada 3 November, Ibu dan Merlin melanjutkan perjalanan ke kota kecil dekat Tuban itu. Dua hari lagi pulang ke Jakarta.
Aku selalu berusaha bisa menggerakkan anggota tubuh agar tidak terasa pegal. Pada tiap waktu shalat, berusaha mungkin kukuatkan diri untuk bisa ambil air wudhu dan shalat sebagaimana biasanya.
Malam kulalui dengan perasaan tersiksa. Kondisi tubuhku masih belum berubah. Biasanya pergantian waktu ke senja membuat tubuh mengalami adaptasi. Dan ini kurang baik saat tubuh sedang tidak sehat. Sudahlah, kupasrahkan saja pada Allah.
Selasa, 6 November 2007
Pagi yang buruk. Usai shalat subuh aku berbaring di tempat tidur. Sebenarnya pengin keluar, ke teras, untuk menikmati angin segar. Tapi aku khawatir dengan kondisi tubuhku.
Bapak menawariku pergi ke Pusat Kesehatan Masyarakat. Ah, kupikir sakitku hanya masuk angin biasa saja. Makan obat warung seperti kemarin-kemarin sebentar juga sembuh. Tapi aku sudah tidak kuat lagi terus tersiksa. Aku ingin berubah. Akhirnya aku menerima tawarannya.
Bersama Bapak aku ke Puskesmas sekitar pukul 09.00. Naik motor. Tiba di sana aku diperiksa seorang dokter perempuan. Kujawab semua yang dia tanya. Lalu dia memberikan resep. Ah, mudah sekali.
Di rumah aku masih berbaring. Tapi aku merasakan kondisi tubuh lebih baik ketimbang sebelumnya. Siang, pukul 14.00, aku menyalakan televisi. Nonton film kartun Zoids. Pukul 14.30 televisi kumatikan.
Aku menarik kain batik menutupi tubuh dan berbaring di atas matras. Tiba-tiba rasa dingin menjalar ke sekujur rubuhku. Seluruh bagian tubuh, tidak seperti biasanya. Dan mulai detik itu aku berjibaku menahan serangan nyamuk yang telah merangsek sampai ke sel darah merahku.
Duren Sawit, Jakarta Timur. 12 November 2007.
Leave a Reply