Antara Karamel, Banjir, dan Jas Hujan
Sudah dibaca 1481 kali
TANGGAL 2 Februari, bagi adik saya, adalah hari istimewa. Sebab itulah hari ulang tahunnya. Tapi tanggal itu di tahun 2007 merupakan awal tragedi yang menimpa Jakarta: dikepung banjir! Dan adik saya, termasuk saya, hari itu, ikut-ikutan jadi korban banjir.
Adik saya, Merlin namanya, bekerja di kawasan Bandar Udara Internasional Soekarno- Hatta, Tangerang, Banten. Berangkat naik jemputan dari halte Prumpung atau Halim, Jakarta Timur. Karena hujan masih mengguyur sejak semalam, saya mengantarnya naik motor. Yah, motor yang baru berumur sebulan di tangan dan knalpotnya masih bersuara nyaring, “Kredit! Kredit! Kredit!”
Sebelum berangkat, kami melakukan persiapan. Saya memakai jas hujan “peninggalan” Bapak. Jas abu-abu kusam yang entah berumur berapa tahun.. “Dari pada tidak pakai,” pikir saya.
Merlin juga pakai jas hujan. Lebih bagus dari milik saya. Tak apa, batin saya, sebab dia tak boleh kebasahan karena sudah berdandan. Di jok belakang ia duduk sembari memegang bungkusan kue karamel yang sedianya akan disantap bersama teman-teman kantornya. Di bawah terpaan hujan motor Vega R keluaran 2007 menderum dari kawasan Duren Sawit membelah Jalan Raya Kalimalang ke arah Halim.
Sengaja saya tak lewat Jalan Kolonel Soegiyono—menuju Prumpung—karena genangan air di seberang SMP Negeri 195 pasti sudah menghadang. Lalu lintas dipastikan macet total. Maklum, kawasan kompleks di Jalan Buluh Perindu, Pondok Bambu, dan sekitarnya selalu langganan banjir. Waduk sementara yang merupakan galian proyek Banjir Kanal Timur di pinggir jalan tak mampu menampung air hujan.
Ternyata Jalan Raya Kalimalang padat kendaraan. Setiba di perempatan Halim, saya melihat bus-bus angkutan yang biasa mangkal dekat halte Halim diparkir dekat perempatan. Itu terjadi lantaran halte sampai terowongan arah Cawang dipenuhi air alias banjir. Tak ada kendaraan roda dua yang berani menerobosnya.
Merlin putar otak. Tak mungkin mobil jemputannya lewat Halim. Ia ingin naik mobil omprengan yang mangkal di Cawang. Dan saya akan ke tempat itu lewat jalan memutar dan berlawanan arah!
Ternyata kondisinya sama. Jalan Mayjen D.I. Panjaitan menuju Cawang juga tergenang air. Alhamdulillah saya tak jadi melanggar peraturan lalu lintas: melawan arah. Hujan terus turun dan waktu semakin siang. Banyak pengendara motor berteduh di pinggir jalan di bawah jembatan layang tol Ir. Wijoto Wiyono.
Kami belum putus asa. Jalan satu-satunya, menurut kami, jalan ke arah Prumpung. Tapi, belum sampai Penas, jalanan macet total. Mobil, bus, dan motor berhenti bergerak terhadang banjir. Harapan pupus. Tak ada jalan lain selain mengurungkan niat dan “menikmati” penderitaan. Saya bergabung dengan para biker yang pasrah menerima nasib. Memarkir motor di pinggir dan tengah jalan. Berserakan.
Merlin menghubungi Bu Maria, rekan kerjanya, lewat telepon seluler. Ternyata ibu itu sedang berada di atas bus jemputan yang terjebak banjir di Penas. Syukurlah, Merlin masih bisa tersenyum di tengah kecemasan tidak sampai kantor untuk melakukan banyak aktivitas yang sudah direncanakan dan berharap bus itu melewatinya. Saya berpikir saat itu, kalau bus tersebut lewat Kebun Nanas dan menjemput Merlin, pastilah ia tidak akan bisa melewati Halim. Halim satu-satunya jalan menuju Cawang yang jalannya tertutup banjir.
Sebuah bus dari kejauhan tampak mendekat. Merlin berharap itu bus jemputannya. Ternyata tidak. Bus Patas P2 jurusan Kota-Kampung Rambutan yang lewat. Saya kira itu bus akan berhenti sebelum halte Halim. Padahal rute sebenarnya lewat Terminal Kampung Melayu dan Jalan Otto Iskandar Dinata (Otista). Kemungkinan besar jalan itu kebanjiran. Usaha yang sia-sia.
Merlin kecewa. Ia menghubungi lagi Bu Maria. Itu ibu bilang ia sedang berada di atas tol Tanjung Priok. Berarti itu bus berbalik arah. Tiada lagi harapan. Kami pulang dan Merlin menelan kecewa. Hujan terus menderas. Karamel tak jadi disantap bersama teman kantornya. Jadilah disantap saya sekeluarga.
SEJAK SEMALAM Jakarta diguyur hujan deras. Televisi memberitakan sejumlah daerah di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi terendam air. Yang parah Ciledug, malam-malam air setinggi satu meter merendam wilayah yang masuk Provinsi Banten itu. Tidak, tidak, ada yang lebih parah tertimpa lebih dulu, yaitu kawasan sekitar Kampung Melayu yang dilalui Sungai Ciliwung. Penduduk yang tinggal di bantaran kali mengungsi. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya.
Di Tangerang ketinggian air menjangkau atap rumah. Kompleks perumahan di Jakarta dan Bekasi kebanjiran. Jalan-jalan di Depok terendam. Kali Pesanggrahan yang meliuk-liuk di atas tanah Bintaro meluap, melahap perkampungan dan jalan yang di lewatinya. Ini mengingatkan kita pada banjir yang menenggelamkan Jakarta pada 2002.
Hari itu Jakarta memang dikepung banjir. Sejumlah ruas jalan ibu kota terendam. Pengendara motor diperbolehkan menggunakan jalan tol pada beberapa ruas jalan tol. Besoknya, saat berangkat kerja di bilangan Kemayoran, Jakarta Pusat, motor saya masuk jalan tol. Dari atas jalan tol ke arah Ancol, saya melihat jalan-jalan di bawah jalan tol terendam.
Nikmati saja
Saya selalu berusaha menikmatisegala kondisi.Senang-sedih dibawa gembira. Termasuk basah kuyup dan menggigil sambil mengenakan jas hujan. Aneh, memang. Kalau begitu, buat apa pakai jas hujan kalau pada akhirnya sekujur badan basah kuyup?
Kami kembali menyusuri Jalan Raya Kalimalang. Hujan makin menderas. Jalanan macet parah. Pengendara menuju Halim memakan semua badan jalan. Mereka tidak tahu bahwa tempat yang mereka tuju tak bisa dilewati. Antrean yang sia-sia.
Saya kecewa pada jas hujan usang itu. Beberapa waktu kemudian saya beli yang baru di “Pasar Tumpah” di kawasan industri Pulogadung. Lumayan tebal bahannya. Namun, sayangnya, saat dipakai, celana saya ikut basah. Artinya tak ada gunanya pakai jas hujan. Apalagi bahannya sangat tebal, sulit dilipat dan repot jika dimasukkan ke dalam bagasi motor.
Kemudian saya menggulirkan mosi tidak percaya pada jas hujan. Lebih baik berteduh kalau hujan turun saat saya di tengah jalan.
Namun, belakangan, saya mencabut mosi tak percaya pada jas hujan. Sebab, pada Senin 16 November 2009, gara-gara tak punya jas hujan, saya berbasah-basahan di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat. Saya berteduh selama satu jam di bawah Jembatan Semanggi, padahal letak kantor tempat saya bekerja tinggal beberapa ratus meter lagi.
Besoknya saya beli jas hujan baru. Lengkap dengan penutup tas dan sepatu. Tak apa mahal sekalian. Saya tidak ingin mobilitas saya dihalang-halangi hujan. Sehari berselang hujan turun deras. Percaya diri saya melaju di jalan. Memang baju-celana tidak basah. Tapi tas dan kaus kaki basah. Sungguh payah. Saya berpikir, jangan terlalu berlebihan memercayai teknologi, apalagi terhadap perangkat anti hujan.
22 November 2009
Leave a Reply