Antara Mahasiswa, Soekarno, dan Yudhoyono
Sudah dibaca 1515 kali
Perjalanan sejarah republik ini memotret kemiripan kondisi masa akhir pemerintahan Orde Lama Soekarno dengan Orde Reformasi Susilo Bambang Yudhoyono. Kondisi tersebut ditandai dengan keresahan masyarakat akan kenaikan tarif dan harga kebutuhan pokok akibat kebijakan pemerintah yang tak berpihak ke mereka.
Pemerintahan Soekarno memulainya pada 13 Desember 1965 ketika mengumumkan penggantian uang lama dengan uang baru. Uang senilai Rp 1.000 menjadi Rp 1. Kebijakan ini diambil untuk mengatasi kesulitan ekonomi dan memerangi laju inflasi yang mencapai 535%.
Namun ternyata masalah bertambah. Kenaikan tarif dan harga terjadi di semua sektor kehidupan. Pegawai negeri, anggota ABRI dan buruh sangat merasakan imbasnya. Harga minyak tanah dari Rp 150 menjadi Rp 400 uang lama. Biaya pos dan telekomunikasi dinaikkan menjadi 10 kali lipat mulai 3 Januari 1966. Tarif kereta naik hingga 500%. Pelajar dan mahasiswa mengurut dada ketika tarif bus PPD Rp 250 naik menjadi Rp 1.000 uang lama. Kenaikan tarif angkutan juga berdampak pada harga kebutuhan pokok. Kehidupan rakyat makin tercekik akibat harga-harga melambung tinggi. Waperdam III Chairul Saleh, konseptor kenaikan harga, menolak meninjau ulang keputusan kenaikan tarif dan harga itu.
Maka reaksi protes bermunculan di mana-mana. Januari 1966 adalah bulan demonstrasi pemuda dan mahasiswa di Jakarta. Pada 10 Januari 1966 tiga tuntutan rakyat (Tritura) dikumandangkan: bubarkan PKI, rombak kabinet Dwikora, turunkan harga.
Kaum intelektual tak mau ketinggalan. Sebanyak 79 sarjana dari ITB, Unpad, IKIP dan Unpar mensponsori pendirian Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia. Disusul kemudian dengan Kesatuan Aksi Guru Indonesia, Kesatuan Aksi Wanita Indonesia, Kesatuan Aksi Pengusaha Nasional Indonesia, dan Kesatuan Aksi Buruh Indonesia.
Tapi Soekarno tak gentar menghadapi tuntutan-tuntutan itu. Dalam bukunya Catatan Seorang Demonstran, Soe Hok Gie menulis bahwa para aktivis mahasiswa menilai politik kenaikan harga adalah usaha mengalihkan perhatian rakyat dari fokus pembubaran PKI. Soekarno terkesan melindungi orang-orang PKI dengan memasukkan beberapa di antara mereka dalam kabinet Dwikora. Namun, pada 11 Maret 1966, secara simbolik kekuasaan Soekarno mulai pudar dengan dikeluarkannya surat perintah sebelas maret (Super Semar). Kemudian bangsa Indonesia memasuki babak baru berkebangsaan yang “lebih ganas”, yakni Orde Baru.
Toh kondisi di atas pada derajat tertentu hampir sama dengan kondisi sekarang. Pemicunya kenaikan harga minyak mentah dunia yang memasuki level di atas 60 Dollar AS per barrel. Pemerintahan Yudhoyono untuk kedua kalinya pada tahun ini—pertama pada 1 Maret—mengurangi subsidi bahan bakar minyak. Imbasnya tarif angkutan naik, diikuti harga kebutuhan pokok. Inflasi akan terus merangkak. Pemutusan hubungan kerja menjadi momok menakutkan karena sejumlah industri terancam gulung tikar akibat tak kuasa menanggung biaya produksi. Suara-suara penolakan keputusan pemerintah berkumandang di berbagai daerah. Ribuan mahasiswa menyerbu istana negara menjelang pengumuman 1 Oktober. Namun pemerintah tetap kukuh pada pendiriannya. Mengapa?
Rezim sekarang bermain cerdik. Partai-partai politik di parlemen diamankan—dengan kompensasi tersembunyi tentunya. Kaum intelektual dirangkul. Sarana komunikasi publik seperti media elektronik dan cetak digunakan seefektif mungkin untuk menyebarkan “logika kebenaran” ke masyarakat. Kalangan akademisi, ekonom, budayawan, pengamat perminyakan, artis dan tokoh agama dimainkan dalam iklan-iklan layanan masyarakat. Masyarakat dipaksa memahami dan sabar akan “penderitaan bersama”. Elemen masyarakat, pemuda dan mahasiswa juga sedikit gamang karena sebelumnya terpolarisasi, baik secara individu maupun kelompok, pada pemihakan partai di pemilu 2004. Terlebih sebagian mereka duduk di lembaga-lembaga pemerintahan yang manut pada keputusan tersebut.
Maka kini yang menari-nari di depan mata kita adalah liberalisasi di berbagai sektor kehidupan. Mulai dari privatisasi pengelolaan air, pencabutan hak atas kepemilikan tanah oleh pemerintah (Perpres no. 36/2005), hingga pemanfaatan kekayaan alam berupa BBM. Negara ini kaya akan hasil tambang, tapi kita sulit menikmatinya. Itu karena para pengelola negara ini banyak yang korup dan senang menjadi komprador asing. Akankah kita, rakyat Indonesia, diam saja?
Leave a Reply