Banyak Belajar di Kemah Literasi
Sudah dibaca 1204 kali
Kemah Literasi diadakan Forum Taman Bacaan Masyarakat (FTBM) Jawa Barat digelar di Bumi Perkemahan Kiarapayung, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat pada Jumat-Minggu, 15—17 November 2019. Saya diundang sebagai salah satu narasumber diskusi yang mengangkat tema tenang literasi sekolah.
Tapi, di acara ini, saya lebih banyak mendengar dan menggali ilmu dari orang-orang yang ada di sana. Dari guru, pengelola TBM, pegiat literasi, musisi, mahasiswa, sampai petugas mobil pustaka keliling.
Ada guru SD yang mengajar olahraga dari Bandung. Akbar, nama guru itu, menggunakan STEM dalam kegiatan pembelajaran olahraga. Sebelumnya ia bingung menghabiskan 4 jam pelajaran olahraga dengan aktivitas fisik semata. Setelah berkenalan dan mempraktikkan STEM dan literasi, ia merasa punya banyak hal untuk diisi di tiap waktu mengajarnya.
Ada Vudu Abdul Rohman, guru SD dan pendiri TBM Rumpaka Percisa di Tasikmalaya, Jawa Barat. Saya mengenalnya sejak 2017 saat ia menjadi pengisi acara Sarasehan Literasi Sekolah yang diadakan di Perpustakaan Kemendikbud. Selain melanjutkan kuliah magister Pendidikan Bahasa di Universitas Pendidikan Indonesia, ia tengah mengader orang-orang yang bisa membantunya mengelola kegiatan TBM. Ia juga membuat eksperimen melalui instagram terkait “orang-orang yang mencintai kata”.
Ucapan yang saya ingat dari perbincangan di warung kopi saat itu adalah bahwa ia tidak percaya dengan Golden Age yang umum dipercaya berada dalam rentang usia 0—5 tahun. Ia yakin Golden Age merentang sampai seseorang berada di usia remaja. Masa ketika seseorang tengah mengenali dan memperdalam bakatnya. Di masa itu, ia butuh bimbingan agar bakatnya terasah dan membuatnya berdaya.
Ada Ferry Curtis, musisi dan komponis. Jumat malam saya bertemu dengannya dan mendengar banyak tentang kegiatan bermusiknya. Awalnya nama itu terdengar tidak asing di ingatan saya. Setelah saya buka Google, barulah memang terbukti bahwa ia telah membuat banyak lagu bertema literasi dan ajakan membaca. Ia membuat lagu Mars Perpustakaan dan Ayo Membaca yang dijadikan lagu wajib oleh Perpustakaan Nasional.
Ferry hanya menyanyikan lagu yang dia ciptakan sendiri. Ia mengaku berkeliling nusantara untuk kampanye literasi tanpa sokongan dana pihak lain.
Menurut Ferry, lagu memiliki kekuatan mengubah pola pikir masyarakat. Sayangnya, lagu yang beredar di masyarakat kebanyakan tidak edukatif. Berangkat dari keprihatinannya pada kondisi masyarakat yang tidak suka membaca, ia kemudian membuat lagu-lagu ajakan membaca. Harapannya, lagu-lagunya berkontribusi bagi munculnya budaya membaca di tengah masyarakat.
Ada Gol A Gong, sastrawan pendiri Rumah Dunia. Dulu ia dikenal sebagai penulis novel serial Balada Si Roy. Ia berkeliling ke berbagai tempat untuk kampanye literasi. Di sejumlah sekolah, ia mengangkat aktivitas warga sekolah menjalankan Gerakan Literasi Sekolah. Aktivitasnya didokumentasikan dalam bentuk video blog (vlog) di akun Youtube Rumah Dunia TV.
Menurut pemilik nama asli Heri Hendrayana Harris ini, puncak kegiatan literasi adalah menulis buku. Orang yang bergiat di bidang literasi, katanya, harus bisa menulis buku. Saya mendapat banyak masukan dari diskusi di warung kopi bersamanya mengenai pengembangan GLS.
Ada Bapak petugas mobil pustaka keliling—saya lupa namanya. Ia pernah menjadi guru dan sudah lama bekerja di tempat yang berkaitan dengan buku, namun kemudian ia memutuskan untuk menjadi petugas mobil pustaka keliling milik Pemerintah Kabupaten Sumedang. Mobil pustakanya terparkir di tengah area Kemah Literasi, menyilakan para peserta Kemah untuk membaca buku yang termuat di Mobil Pustaka.
Ia ingin menjangkau banyak tempat, baik sekolah, masyarakat, dan kampus untuk mengantarkan buku pada orang-orang yang membutuhkan. Menurutnya, tempat yang paling membutuhkan buku adalah desa. Selalu saja anak-anak desa, yang jauh dari akses pada buku, menunggu-nunggu kehadirannya untuk membaca dan meminjam buku. Minat membaca anak-anak desa, katanya, sangat tinggi.
Di satu sesi diskusi, saya menyampaikan rasa salut dan terima kasih kepada guru-guru yang juga menjadi pengelola TBM. Mereka adalah pegiat literasi sekolah yang menghubungkan sekolah dan masyarakat dengan literasi. Mereka sadar budaya literasi tidak bisa hanya ditumbuhkan di sekolah. Mereka bisa menjangkau masyarakat dan keluarga melalui kegiatan literasi di luar sekolah.
Sebagai gerakan, sekolah harus menggandeng sebanyak mungkin para pegiat literasi di luar sekolah untuk bergiat bersama dalam sebuah kolaborasi. Kepala Sekolah dan guru dapat menggandeng pegiat literasi, pengelola TBM, akademisi, tokoh masyarakat, penerbit, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan dunia industri dalam implementasi GLS. Tidak hanya melibatkan orang tua.
Sudah banyak contoh pengelola TBM yang bermitra dengan sekolah dalam menjalankan kegiatan literasi. Salah satunya yang tampil dalam Kemah Literasi adalah Ruang Belajar Aqil (RBA) yang dihelat Willy, dkk. RBA berada di Kota Malang, Jawa Timur. Salah satu kegiatannya adalah mengadakan kegiatan literasi yang mengundang warga sekolah atau mengadakan kegiatan literasi di satu sekolah.
Kolaborasi antara sekolah dan TBM sangat penting. Keduanya saling membutuhkan. Sekolah memerlukan orang-orang yang memiliki keterampilan literasi, juga buku-buku yang tersedia di TBM. Pegiat TBM juga memerlukan warga sekolah untuk meramaikan kegiatan dan mencapai tujuan berliterasi.*
Leave a Reply