Berani Berniaga
Sudah dibaca 3212 kali
Selasa-Jumat, 7-10 Juni 2016, lobi gedung E Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Senayan, Jakarta, dijejali para pedagang. Dharma Wanita Direktorat Jenderal PAUD dan Dikmas kembali menggelar acara tahunan yaitu bazaar di awal Ramadhan. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, kali ini bazaar sesak oleh para pedagang. Panitia sepertinya tak membatasi jumlah stan. Bahkan area tunggu lift dan teras gedung dipenuhi barang dagangan.
Tahun lalu saya, tepatnya istri saya, merupakan salah satu peserta bazaar. Kami berjualan barang-barang yang selama ini dijajakan secara daring (online), di antaranya kaus anak muslim, pakaian anak-anak, dan clodi (popok kain). Namun, karena keterlambatan informasi, tahun ini kami tak ikut bazaar.
Ketidakikutsertaan kami di bazaar tahun ini mengundang tanya teman-teman kantor saya. “Bil, kok kamu nggak ikut bazaar?” Saya hanya tersenyum sembari mengungkapkan alasan di atas. Walau begitu, niat saya berjualan kaus anak muslim bermerk Afrakids—istri saya agen produk ini—tetap menyala. Lagi pula, beberapa teman kantor juga bertanya kenapa saya tak jualan.
Maka pada Kamis-Jumat, 9 dan 10 Juni, saya bawa sejumlah kaus Afrakids ke kantor. Jumlahnya tak banyak karena dibawa pakai tas gemblok. Saya gelar dagangan di meja kerja (saya berdoa pimpinan tak marah atas hal ini). Alhamdulillah, respon teman-teman kantor baik.
Ada beberapa hal yang, menurut saya, membuat teman-teman suka pada produk yang saya jual. Pertama, dengan bahan katun yang bagus, produk Afrakids dijual dengan harga medium; tidak mahal, tidak pula murahan. Harganya standar bahkan jika dibandingkan dengan produk lain, menurut saya, tergolong murah.
Di area bazaar, dari pengamatan saya, hanya ada satu stan yang menjual kaus anak muslim. Kaus dijual dengan harga miring yang, tentu saja, dari sisi kualitas bahan dan desain, ikut miring juga. Makanya Jumat sore, ketika saya melintasi stan seorang teman, ia berkata, “Mas, banyak tuh orang-orang yang cari produk kaus anak muslim. Lagian sih nggak ikut bazaar.” Saya hanya tersenyum sembari menunjukkan tas hijau berisi barang jualan. “Saya jualan di atas (kantor saya) dua hari ini,” ucap saya. Ia tampak takjub.
Kedua, desain kaus tahun ini lebih variatif dari desain tahun sebelumnya. Juga kaya warna. Namun, tetap, kalimat yang digunakan masih berbahasa Inggris. Soal ini, saya pernah bertanya langsung pada CEO Afrakids Pak Hisyam pada Family Gathering Afrakids beberapa waktu lalu. “Istilah bahasa Indonesia banyak yang ambigu. Kosa katanya masih sedikit untuk mengungkapkan sesuatu yang sudah ada dalam bahasa Arab dan Inggris,” jelasnya. Saya sebenarnya tidak begitu suka dengan alasan ini karena saya cinta bahasa Indonesia. Banyak sekali ungkapan Indonesia yang tak digali oleh para ahli bahasa terutama yang bisa diserap dari ratusan bahasa daerah di negeri ini.
Ketiga, menjaga kualitas. Kualitas Afrakids terjaga. Ia hanya dijual dalam satu harga: medium. Ia tidak dijual dalam harga mahal dan murah. Jika ada ungkapan “Harga menentukan kualitas barang” sehingga memunculkan produk bermerk sama dengan harga murah, menengah, dan mahal, maka Afrakids bukan masuk kategori ini. Bahan berkualitas, desain variatif, dan harga bersaing menjadi kekuatan Afrakids untuk bertahan menghadapi saingan produk lain.
Namun ada hal miris yang dihadapi Afrakids. Di pasaran beredar banyak produk KW yang desainnya meniru habis produk Afrakids. Bahkan model anak yang dipakai Afrakids ikut diambil. Produk itu dijual dengan harga murah (ada yang Rp100 ribu dapat 3 potong) dengan bahan yang tentu jauh di bawah Afrakids.
Kemirisan itu terletak pada upaya plagiasi sang produsen KW yang notabene menjual produk muslim. Jika ingin melakukan dakwah melalui jalur perniagaan, lakukanlah dengan cara yang baik dan santun. Tentu perilaku ini tak bisa dinalar dengan mengaitkan konteks agama terhadap perilaku sang produsen KW. Produsen KW tak berniat dakwah, melainkan mencari keuntungan dengan cara instan dan tidak kreatif. Motifnya sederhana: apa yang bisa dijual ya jual, tak peduli itu hasil mencuri.
Kembali ke kegiatan menjual. Sampai saat ini saya masih merasa tak punya bakat berjualan barang. Kendati dulu pernah berjualan layang-layang, petasan, rujak buah, dan lukisan, namun keberanian untuk melangkah lebih jauh bergelut di dunia perniagaan belum tegak. Makanya, saat berjualan kaus, melihat antusiasme pembeli besar dan mereka terlihat senang, terlebih produk yang dijual bernilai dakwah (produk Afrakids mencantumkan kata-kata mutiara dakwah), rasanya senang sekali. Sedikit demi sedikit saya memupuk keberanian berniaga di dalam diri.
Yah, semoga, suatu saat, saya berada dalam kondisi penuh keberanian melangkah di dunia perniagaan. Aamiin.
Widiiih… suami idaman bgt ya bantuin istri sampe rela2 gelar dagangan di kantor. Keren ombil. Salam buat istri yak
Oh ternyata salah satu kriteria idaman begitu ya: mau jualin dagangan istri, hehe
Mantap deh buat suami-suami yang semangat jualin dagangannya isteri. FYI isteri yang suaminya begitu apalagi produk hasil tangan sendiri dirumah menanti dengan rasa bahagia loh hehehe #pengalamanPribadi
Oh begitu ya? Makin semangat nih!
Mantap deh, saling membantu ya…
Ayo ngelapak lagi Pak…! 99 jalan rezeki dari jalan niaga, sukses ya Pak…!
Mantap!
Baik, terima kasih, mbak ge….