Spread the love

Sudah dibaca 1043 kali

Terima Buku
Salah satu guru menerima buku setelah berhasil menjawab kuis.

Bertemu dan mendengar cerita guru-guru yang sekolahnya menghadapi banyak keterbatasan fasilitas membuat hati trenyuh. Keterbatasan itu mulai dari bangunan ruang kelas yang tak memadai (dinding dari bambu dan papan yang bolong), kekurangan ruang kelas, hingga ketiadaan buku.

Hal itu terungkap saat saya bersama dua teman kantor mengadakan Bimbingan Teknis (Bimtek) Data Pokok Pendidikan Dasar dan Menengah di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur, Rabu (14/12/2016). Pesertanya adalah operator sekolah yang rata-rata juga seorang guru dan kepala sekolah. Mereka berasal dari sekolah yang terletak di pusat kabupaten (Kecamatan Kalabahi) hingga jauh di luar pulau, kawasan terpencil. Bimtek diselenggarakan di Aula Dinas Pendidikan Kabupaten Alor, dibuka oleh Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Alor didampingi Sekretaris Dinas.

Saat mengupas pengisian variabel sarana prasarana dalam aplikasi Dapodik versi terbaru 2016 c, sejumlah operator menceritakan kondisi sekolahnya. Satu operator menunjukkan gambar beberapa ruang kelas di sekolahnya yang dindingnya dari bambu, lantainya tanah, dan atapnya daun rumbia. “Ini tingkat kerusakannya tergolong ringan, sedang, atau berat?” tanyanya. Perlu diketahui, di sini, sebagian masyarakat turut membantu pembangunan ruang kelas dengan swadana sehingga ruang kelas tampak apa adanya.

Sejak dari Jakarta, saya merencanakan bahwa Bimtek berjalan dengan interaktif, santai, dan ada pembagian buku. Maka saya membawa sejumlah buku panduan Gerakan Literasi Sekolah dan buku nonteks pelajaran (fiksi dan nonfiksi) hasil berburu obral gudang Gramedia. Peserta Bimtek, saya duga dan memang benar, berasal dari sekolah yang sulit mengakses buku.

Sementara satu teman, Aris Munandar namanya, mengisi materi, saya bertindak sebagai moderator yang sesekali menjelaskan beberapa kebijakan Kemendikbud terkait Dapodik. Tiap sesi tanya-jawab, saya selalu berkata, “Bapak-Ibu yang bertanya akan dapat buku.” Maka bermunculanlah banyak penanya.

Agar lebih santai, saya membuat kuis. Pertanyaannya seputar Dapodik. Yang menjawab dengan benar dapat buku hasil berburu di gudang Gramedia, bebas pilih (saya hanya membawa 5 eksemplar). Kuis ditujukan untuk mengetahui sejauh mana mereka mengetahui hal nonteknis Dapodik, di antaranya Permendikbud tentang Dapodik, sifat pendataan Dapodik, dan entitas yang didata dalam Dapodik. Ternyata, banyak sekali operator yang tidak mengetahui ketiga hal di atas.

Usai acara, saya berbincang dengan tiga Guru Garis Depan. Mereka mengajar di sekolah yang terletak di Pulau Pera (di seberang Pulau Alor) dan di gunung. Tugas mereka tak sekadar mengajar. Mereka ditugaskan sekolah jadi operator, pengelola perpustakaan, dll.

Satu guru bercerita tentang ketiadaan buku di sekolahnya. Ia hampir genap setahun mengajar di sana. Sebelum ia masuk, buku cetak pelajaran bahkan tidak ada. Saat ia masuk, ia mengunduh Buku Sekolah Elektronik Kemendikbud dan memfotokopinya lalu dibagikan ke siswa-siswi. “Bagaimana dengan dana BOS? Kan 5 % dana BOS dialokasikan untuk membeli buku, baik buku pelajaran maupun nonteks pelajaran?” Ia menggeleng. Katanya, penggunaan dana BOS oleh Kepala Sekolah tidak jelas.

Mengenai penggunaan dana BOS, saya kemudian mengonfirmasinya kepada Pak Zainal, Sekretaris Dinas Pendidikan. Ia mengakui, pengelolaan dana BOS di Kabupaten Alor masih bermasalah. Masih dilakukan pembenahan. Bahkan, ada sekolah, katanya, yang sejak 2013 belum menggunakan dana BOS. “Lalu bagaimana operasional sekolah?” tanya saya. “Diambil dari dana Komite Sekolah dan sumbangan orang tua,” jawabnya.

Melihat tiga GGD perempuan itu tersenyum, saya senang. Awalnya saya tidak tahu mereka GGD. Mereka bertanya dan jawab kuis, saya beri buku. Setelah tahu mereka GGD, saya tambah bersyukur. Saya sudah berpesan, buku yang mereka terima bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk koleksi perpustakaan sekolah agar bisa dibaca oleh guru lain dan siswa.

Di balik semua itu, saya kagum pada mereka. Mereka menjadi GGD dengan kontrak 5 tahun. Artinya, mereka mengajar di sekolah dengan fasilitas seadanya selama 60 bulan. Jauh dari fasilitas yang mereka nikmati saat tinggal di Pulau Jawa. Pengorbanan mereka begitu besar untuk anak bangsa. Saya tak seberapa.

Berbagi itu indah, di dalam hati, sekecil apapun wujudnya. Rasa syukur tak boleh hanya dirasakan sendiri, melainkan turut dirasakan oleh orang lain.*