Bom Waktu
Sudah dibaca 1442 kali
Memet cekikikan sendirian. Kepalanya yang tidak gatal digaruk-garuk membabi buta sehingga rambutnya acak-acakan. Cepi menempelkan telapak tangan ke dadanya, lalu mengurut-urutnya. Ia prihatin melihat kondisi psikologis Memet yang lama tertekan; penjara membuatnya merana-rana.
“Ada kata-kata yang ingin kau ucapkan, Met? Apapun kata yang kau lontarkan, aku akan mendengarkannya.” Ucapan Cepi terkesan penuh empati. Dan aku akan menganggapnya sebagai sebuah wasiat.
Memet mengakhiri cekikikannya. “Aku cuma sedang membayangkan apa yang sekarang dipikirkan Pak Presiden. Orang asing ingin memberikan penghargaan, eh rakyatnya sendiri malah menolaknya. Bukankah diberikan penghargaan itu enak?”
Cepi mendengus. “Jangan berpikir lugu begitu. Orang memberi pasti ada sesuatu di baliknya. Istilahnya, ada udang di balik balok.”
“Iya, aku tahu itu. Tapi kupikir Pak Presiden juga sudah mempertimbangkan itu. Dia, kan, orang yang paling banyak pertimbangan di dunia. Aku hanya berusaha berempati dengan Pak Presiden.”
“Kupikir, soal ini, kita berpikir rasional saja. Paradigma berpikir antara kita orang timur dan orang barat berbeda dalam memandang sejumlah hal. Soal demokrasi. Soal agama. Soal-soal lainnya. Mereka memaksakan paradigma kepada kita dengan berbagai cara.”
Memet manggut-manggut. Soal politik, ia mengagumi kecanggihan berpikir Cepi.
“Pemerintah Prancis melarang muslimah berjilbab atau bercadar. Itu dilandasi paradigma bahwa perempuan yang menutup sebagian besar anggota tubuhnya tidak memiliki kebebasan berekspresi, tertutup, dan ‘tertindas’ oleh ajaran agama yang konservatif. Orang-orang Eropa dan Amerika Serikat, atas nama kebebasan berekspresi, membolehkan siapapun melakukan penghinaan terhadap nabi yang disucikan umat Islam. Atas nama demokrasi, Amerika Serikat menginvasi Irak dan Afghanistan. Intinya, dalam memandang sejumlah persoalan, kita berbeda dengan mereka.” Nada suara Cepi terdengar serius bercampur geram.
“Jadi, maksudmu, pemberian penghargaan sebuah yayasan di Amerika dilandasi sebuah paradigma yang perlu ditinjau ulang atau setidaknya dikaji dulu alasannya?”
“Kau ingat saat Amerika menyerang Irak? Pemerintah Amerika berani melakukan invasi karena sebagian besar rakyat Amerika mendukungnya. Sementara warga dunia menolaknya, termasuk PBB. Belakangan semua tahu dasar penyerangan hanya fitnah belaka: Irak dituduh punya senjata pemusnah massal. Artinya, kita punya cara pandang berbeda dalam memandang persoalan dunia dengan warga Amerika.”
“Termasuk soal pemberian penghargaan itu?”
“Begitulah. Sebab apa yang mereka pertimbangkan berbeda sekali dengan anggapan sebagian warga Indonesia. Mereka beri penghargaan karena Pak Presiden dianggap telah berhasil menjaga toleransi antarumat beragama di Indonesia. Yang tak setuju memandang Pak Presiden telah gagal menjaga toleransi itu. Banyak sekali kasus intoleransi terjadi; perusakan tempat ibadah, pengusiran terhadap warga yang berbeda keyakinan, dan penolakan pendirian tempat ibadah. Namun, sebenarnya, dari semua persoalan yang ada, masalahnya adalah pembiaran tindak kekerasan oleh negara.”
“Bom waktu.” Memet berusaha menyimpulkan.
“Tepat sekali! Tak ada permasalahan terkait gesekan antaragama yang diselesaikan secara tuntas. Semuanya parsial. Konflik diredam, tidak dipadamkan. Dibiarkan terus membara di bawah tumpukan sekam. Sewaktu-waktu konflik ini meleduk, tinggal sundut saja tali sumbunya. Jangankan antaragama. Konflik yang melibatkan internal agama saja dibiarkan jadi bom waktu. Sebut saja kasus Negara Islam Indonesia (NII), Ahmadiyah, dan Syiah. Percayalah, nanti, akan muncul lagi persoalan-persoalan lain yang masih melibatkan ketiganya.”
“Konflik di masyarakat terus dipelihara?”
Cepi tersenyum kecil.
“Edan!”
Usai memaki, Memet berjalan mondar-mandir. Ia kembali cekikikan. Kepalanya kini gatal-gatal. Jemarinya menggaruk-garuk seperti membadak amuk. Rambutnya morat-marit. Ketombe berguguran.
Cepi menempelkan jari telunjuk di keningnya. Lalu mengusap-usapnya dengan posisi menyilang.*
Bukittinggi, Sumatera Barat. 28 Mei 2013.
Leave a Reply