Budak
Sudah dibaca 1284 kali
“Terlalu!” Suara Cepi mirip suara Bang Haji Rhoma Irama. Ia mengempaskan koran ke lantai. Geram.
Memet melirik teman satu selnya itu. Ia tahu apa yang jadi kegalauan Cepi. “Sudahlah, jangan lebay begitu.”
Cepi berdiri, menuding Memet. “Kau pengusaha, enak saja bicara! Memperlakukan pekerja di luar perikemanusiaan, itu namanya perbudakan!”
“Kau…”
“Diam, kau! Berbulan-bulan pekerja dikurung, dipukul, disundut rokok, disiram cairan panas, tidak bisa mandi, tidak boleh shalat, tidak digaji, apa itu namanya kalau bukan perbudakan?!” Cepi kalap.
“Tapi aku…”
“Kubilang diam kau! Kalau ketemu pemilik pabrik panci si YI, kucekik dia!”
Memet terdiam. Sebenarnya ia sangat geram, namun masih bisa mengendalikan diri. Ia mengerti Cepi menggeneralisasi semua pengusaha seperti itu. Setelah Cepi tenang, ia angkat bicara. “Aku juga tidak setuju dengan praktik seperti itu, Cep. Aku sendiri agak heran melihat kasus ini. Dengan tenaga kerja terbatas dan peralatan tradisional, berapa omset pabrik panci tersebut? Belum lagi berapa dana yang dikeluarkan untuk membayar dua polisi dan satu tentara yang menjaga keamanan pabrik? Aku curiga, panci cuma bisnis sampingan. Ada hal lain yang perlu diinvestigasi.”
“Apa itu?”
“Kau dengar? Perlu diinvestigasi!” Kini gantian Memet yang membentak.
“Mestinya masyarakat tidak membiarkan perbudakan itu berbulan-bulan lamanya terjadi. Apalagi limbah pabrik merusak lingkungan mereka dan akses jalan mereka terganggu.” Cepi buru-buru memperbaiki pendapatnya. “Tapi aku tak mau menyalahkan mereka.”
“Kalau tidak ada aparat negara itu, pasti masyarakat berani bereaksi.”
“Maksudmu, ketiganya berperan besar terhadap keberlangsungan perbudakan itu?”
“Itu logika sederhana, Cep. Operasional pabrik yang menganut sistem perbudakan tidak akan berjalan terus jika tidak ada campur tangan aparat. Istilah kerennya: beking.”
Cepi terdiam sejenak. Lalu bibirnya menyungging senyum. “Ketika tindak kekerasan merajalela di masyarakat, kesewenangan pengusaha terhadap pekerja alih daya alias outsourcing terus terjadi, banyak yang bertanya di mana keberadan negara. Negara dianggap absen dalam banyak kasus. Tapi, di kasus panci ini, negara justru ada namun malah berperan melanggengkan penindasan.”
“Maksudmu, polisi dan anggota TNI itu representasi dari negara?” Memet memekik.
“Tentu saja! Ketika mereka memutuskan diri masuk kesatuan, mereka disumpah dan bersedia menjadi pelayanan masyarakat dan penjaga keamanan nasional. Dua tugas itu merupakan kewajiban negara kepada warga negaranya. Sehingga, di manapun mereka berada, hakikatnya mereka representasi negara.”
“Ini sebenarnya dilema buat pengusaha. Mereka ingin bisnisnya berjalan lancar. Untuk menjaga keberlangsungan produksi perusahaan, mereka terpaksa menyewa petugas keamanan. Kalau perusahaan menyewa preman, masyarakat masih berani melawan. Makanya pengusaha memilih anggota polisi dan TNI jadi ‘centengnya’. Kalau ada anggota masyarakat berani melawan perusahaan, aparat ini bakal menjegalnya.” Sepengalaman Memet, beberapa teman pengusahanya menggunakan aparat keamanan untuk menjaga keamanan perusahaan. Memang operasi perusahaan berjalan aman, namun biaya pengamanannya juga cukup besar.
“Institusi Polri dan TNI harus berani bersikap tegas. Mereka harus melarang anggota masing-masing kesatuan menjadi beking atau penjaga keamanan perusahaan, terutama perusahaan yang bidang operasinya bertentangan dengan hukum. Kalau tidak begitu, akan makin banyak anggota masyarakat tersakiti dan kedua institusi tersebut dibenci rakyat.” Cepi menunjukkan kapasitasnya sebagai politikus berotak encer.
“Tapi kukira,” Memet tampak ragu, “kasus beking aparat akan terus berlangsung. Harus ada efek jera baik kepada aparat maupun pemilik perusahaan yang terlibat.”
“Maksudmu, hukum penjara tidak cukup?” Cepi coba menebak isi otak Memet.
“Begitulah. Penjara, apalagi jika hukumannya ringan, tidak akan membuat jera terpidana dan calon terpidana. Namun inilah kelemahan hukum negara kita yang monoton, tidak inovatif, dan cenderung status quo. Hukuman penjara dianggap cukup untuk mengurangi tindak kejahatan. Kenyataannya justru sebaliknya. Mestinya selain dipenjara, terpidana dijatuhi kerja sosial.”
“Barangkali, kerja sosial yang pas buat YI membersihkan toilet umum selama setahun. Kalau buat aparat brengsek itu, kukira cukup jadi pengasuh di panti jompo selama tiga tahun.”
Lantas keduanya tertawa terbahak-bahak. Pikiran mereka kemudian liar membayangkan macam-macam kerja sosial yang bisa diterapkan kepada terpidana.
“Bagaimana kalau diwajibkan ngajari anak-anak ngaji! Hahahhaha…”
“Mending jadi guru TK! Hahahaha…”
“Kalau begitu, jadi babysitter di panti asuhan saja! Hahahaha…”
“Atau jadi tukang sapu Monas! Hahahaha…”
“Ah, yang pas jadi anggota DPR!”
Memet mendadak diam. Merajuk. “Kamu serius, Cep?!”
“Serius…..! Hahahahaha….”
“Wong edan!” Memet melengos dan langsung pergi.
Jakarta. Jumat, 10 Mei 2013.
.
Leave a Reply