Spread the love

Sudah dibaca 1246 kali

Cepi mendesah. “Aku tak pernah mengerti hati perempuan.”

Memet tersenyum. Ia merasa superior soal perempuan. Maklum, ia sudah punya tiga istri. “Soal perempuan, kau boleh tanya padaku, Cep. Gratis tis tis.”

“Bagaimana bisa perempuan-perempuan muda mau jadi istri lelaki bau tanah? Dagingnya saja sudah alot kalau dikunyah. Aku sangat tak percaya kalau mereka melakukannya atas dasar cinta. Cinta…pret!”

“Omong kosong kalau orang kawin semata dilandasi cinta. Apalagi zaman sekarang yang apa-apa dipandang secara materi. Kebanyakan perempuan di era global warming ini lebih memprioritaskan kesejahteraan daripada perasaan. Orang sejahtera otomatis perasaannya senang. Tapi orang yang punya perasaan senang belum tentu hidup sejahtera.” Memet berkata lancar seperti penasihat perkawinan yang ceramah usai akad ijab kabul. Biasanya penasihat yang pengertian akan juga mendoakan malam harinya hujan lebat agar mempelai lelaki leluasa belah duren.

“Aku sudah menduganya.” Cepi manggut-manggut. “Si S itu sudah tahu betul tipikal perempuan zaman digital.” Maksudnya, perempuan yang matanya berubah hijau jika melihat barang-barang elektronik macam televisi, AC, komputer, ponsel, dan dingdong.

“Oh… jadi yang kamu maksud si S yang punya delapan istri dan lagi berseteru dengan artis ABS?” Memet berkata sembari menyimpan perasaan iri yang begitu mendalam terhadap S. Jangankan delapan…

“Dari kasus ini mata kita terbuka lebar bahwa ternyata banyak artis, di era perdagangan bebas ini, yang masih berdukun ria alias mengunjungi paranormal.”

“Itu sudah jadi rahasia umum, Cep. Tak cuma artis, pejabat dan politikus pun juga main dukun.” Hingga kesimpulan ini, Memet mendapati kenyataan tentang paradoksal orang Indonesia, bahwa semakin modern zaman berlari, semakin tidak rasional pikiran mereka. Praktik kemusyrikan tak sepenuhnya dibuang, justru dipelihara terus atas nama kebiasaan leluhur dan kreativitas dunia film. Malah jadi campuran memabukkan di tengah idelogi agama yang dianut dan ideologi Pancasila yang semakin ditinggalkan.

“Lalu di mana cinta sejati?”

“Kau berkata seperti pujangga, Cep. Sebaiknya segera saja kau buat puisi. Tapi kuberi tahu, carilah cinta di tong sampah. Cinta cuma jadi komoditas, alat permainan sebagian lelaki untuk mengambil keuntungan dari perempuan yang digombalinya. Sebaliknya, sebagian perempuan menggunakan cinta dan kecantikannya untuk menguras dompet lelaki yang kelihatan menggilainya.” Memet berkata demikian karena telah mempraktikkannya dan berhasil menggaet tiga korban. Ia pun kadang merasa menjadi korban pemerasan dompet oleh tiga korbannya. Jadi saling memeraslah.

“Sepertinya, bagimu, cinta sudah jadi barang absurd, Met?”

Memet nyengir. Walau ia tak pernah menyimpulkan ke arah sana, namun dalam hati ia membenarkan ucapan Cepi. Bagaimanapun ia sendiri tak begitu percaya dengan cinta. Dengan janji-janji muluk plus kepura-puraan, disokong dengan duit yang banyak, ia bisa mendapatkan tiga perempuan cantik dengan mudah, yang kini jadi istrinya. Jadi di benaknya rumusan cinta = janji muluk + pura-pura x duit banyak.

Cepi melirik Memet dengan pandang tak senang. Kasihan istri-istrimu itu, Met. Mereka dapat suami yang benar-benar buaya darat dan tak pernah memiliki cinta.

“Jadi, kamu sekarang sudah ngerti apa itu cinta?” Memet berkata seperti seorang konsultan cinta.

Cepi mengangguk. “Tapi kurasa aku mendapat referensi yang salah.”

“Maksudmu?”

“Aku dapat penjelasan cinta dari kacamata seorang buaya darat gila.”

Sejenak Memet terdiam. “Maksudmu aku?”

“Bukan.”

“Lalu siapa?”

“Rahasia. Tak cuma perempuan yang sulit dimengerti isi hatinya. Hatiku juga.”

“…” Memet melongo.*

 

Tangerang, Banten. Ahad, 5 Mei 2013.