Dakwah Inklusif dalam Film Ketika Mas Gagah Pergi
Sudah dibaca 2928 kali
Akhirnya cerita Ketika Mas Gagah Pergi (KMGP) menyapa masyarakat Indonesia melalui layar lebar. Karya legendaris sastrawan Helvy Tiana Rosa ini tayang perdana di sejumlah bioskop tanah air mulai 21 Januari 2016. Film ini menawarkan banyak hal baru yang tak ada pada film religi lainnya.
Tema utama film yang diangkat dari novelet berjudul sama ini berangkat dari kisah adik-kakak bernama Gagah (Hamas Syahid) dan Gita (Aquino Umar). Keduanya sangat dekat dan kompak hingga perubahan pada diri Gagah membuat hubungan keduanya merenggang. Gagah, sekembali dari Ternate, Maluku Utara, berubah drastis menjadi pemuda alim. Gita merasa asing. Menganggap Gagah bukan lagi kakaknya yang dulu. Pertengkaran kerap mewarnai keseharian mereka.
Di sisi lain, Gagah merasa bingung menjelaskan perubahan dirinya kepada adik dan ibunya. Ia tak tahu mulai dari mana. Kegamangan dan pilihan sikapnya yang ingin perlahan-lahan mengenalkan kepribadian muslim kepada kedua orang terdekatnya membuat situasi semakin buruk. Namun Gagah terus melangkah mengikuti jalan kebenaran yang diyakininya. Ia pun memperluas cakupan dakwahnya dengan membuat rumah singgah bagi anak-anak dhuafa dengan melibatkan tiga preman yang baru insyaf.
Keheranan Gita melihat sosok Gagah makin bertambah ketika ia menyaksikan sosok yang perilakunya mirip dengan kakaknya. Sosok itu, Yudi (Masaji Wijayanto) namanya, berdakwah di dalam bus kota. Kemiripan perilaku dua orang itu, ditambah perubahan yang dialami Tika, sahabatnya, mendorongnya untuk mengetahui apa yang membuat orang-orang terdekatnya mau berubah ke jalan Islam. Gita melakukan pencarian.
Dua tokoh utama film ini, Gagah dan Gita, dimainkan dengan sangat apik. Karakter keduanya sangat kuat. Tampak sekali Hamas dan Aquino bermain total dalam memerankan adegan-adegan bernapas keakraban dan pertengkaran.
Gagah adalah sosok pemuda yang mengalami perubahan karakter; dari berandal menjadi alim. Sekilas ia adalah sosok sempurna yang menggambarkan pribadi muslim yang ideal. Namun, dengan sentuhan dingin sang sutradara Firman Syah, Gagah menjadi sosok pemuda tak sempurna yang gagap menghadapi transisi orientasi hidupnya.
Ia pribadi baik namun tak cukup cakap menyampaikan dakwah kepada orang-orang terdekatnya. Tapi kelemahan itu justru membuatnya semakin kuat dan yakin untuk istiqamah menempuh jalan terjal ini. Terbukti, ia sukses mengajak tiga preman insyaf dan warga di sekitar pesisir Jakarta untuk peduli terhadap lingkungan; menanam bakau dan membangun rumah singgah yang dipenuhi buku. Ia pun berhasil mengajak ibunya (Wulan Guritno) yang super sibuk untuk berkunjung ke rumah singgah.
Sosok berkarakter kuat berikutnya adalah Gita. Aquino memerankannya dengan begitu baik. Gita yang tomboy, keras kepala, dan slengekan dimainkan dengan apik mulai dari ungkapan hingga kelenturan bahasa tubuh. Dapat dikatakan, ia sosok antagonis sekaligus protagonis yang mewakili harapan penonton untuk memahami nilai-nilai Islam yang inklusif.
Tokoh lain yang menurut saya sangat berkarakter adalah Yudi. Ia cukup cakap membawakan sosok pemuda ‘bermuka tebal’, penuh percaya diri, dan berani memperjuangkan sesuatu yang diyakininya. Hal itu tampak pada caranya menunjukkan ekspresi wajah dan gerak tubuh saat menghadapi cibiran para penumpang bus dan intimidasi tiga preman insyaf.
Hal berbeda lainnya yang ditawarkan KMGP yang tidak ada di film religius terdahulunya, juga di film berbagai genre apapun, adalah tema bukan kisah percintaan. Di film ini, cinta tak diekspresikan dalam hubungan muda-mudi. Melainkan hubungan keluarga dan relasi masyarakat.
Kelebihan ini membuat KMGP ‘aman’ ditonton semua kalangan, termasuk siswa sekolah dasar. Relasi keluarga menjadi tema sentral. Sebuah situasi yang dialami banyak keluarga.
Penggarapan KMGP yang sejak awal dijalani Helvy secara indie, yaitu dengan menggalang dana produksi dari donasi masyarakat (crowd funding), membuat film ini relatif bebas dari intervensi pemilik modal yang berorientasi bisnis. Kelebihan ini tercermin dari mencuatnya isu dan tema yang jarang digarap atau ditonjolkan film lain, di antaranya perjuangan Palestina, penghijauan lingkungan, resepsi pernikahan islami, dan penggalangan budaya literasi di tengah masyarakat.
Tema-tema tersebut, yang dikemas dengan rapi, secara langsung menunjukkan esensi ajaran Islam sebenarnya yang inklusif, peduli lingkungan, dan berpihak pada masyarakat papa. Islam dihadirkan ke tengah masyarakat sebagai ajaran yang indah, penuh cinta, dan sarat makna. Kesabaran dan konsistensi (istiqamah) pada jalan kebaikan ditunjukkan dengan sikap progresif, bukan pasif atau nrimo. Pesan-pesan ini adalah ‘ruh’ yang dijaga Helvy selaku produser agar melekat dalam keseluruhan film KMGP.
Hal menarik lain yang ditawarkan KMGP adalah keberanian mengajukan metode dakwah yang progresif dan meletakkan secara berhadap-hadapan dengan metode dakwah konservatif. Dakwah progresif ditunjukkan oleh Yudi yang berdakwah tanpa batas ruang dan waktu. Ia hendak mengubah persepsi publik yang kadung menganggap ceramah agama sekadar mencari uang. Bahwa nasihat dan kebaikan bisa disampaikan oleh siapapun kepada siapa dan di mana saja. Gratis, tak memungut bayaran sepeser pun.
Metode dakwah konservatif yang hendak ‘digugat’ diusung oleh ayah Yudi sendiri (Mathias Muchus) yang menganggap dakwah hanya boleh dilakukan di masjid. Bukan di tempat-tempat dan fasilitas umum. Perbedaan prinsip dakwah inilah yang membuat Yudi seolah menjadi anak durhaka, tak mau menuruti keinginan orang tua. Konflik keluarga yang terbangun antara anak-orang tua ini hakikatnya mewakili situasi masyarakat muslim Indonesia dulu dan kekinian yang jejaknya masih tampak.
Lalu kritik apa yang bisa diajukan kepada film KMGP? Dari sisi pengambilan gambar, rasanya sulit dikritik. Gambar disajikan dengan amat indah. Pengambilan sudut pandang tidak monoton. Skenario yang ditulis oleh Fredy Aryanto pun sudah kuat, mampu merekam pesan-pesan islami dalam dialog para tokohnya. Sudut pandang Gita yang sejak awal dibawa oleh cerita pendeknya juga bisa dihadirkan secara tepat ke dalam film.
Tema islami yang begitu sarat di film ini juga tertata apik. Perbedaan zaman dan kultur dakwah pada cerpen era 90-an ini berhasil ditransformasikan dengan kondisi kekinian yang mengalami banyak perubahan. Salah satu contohnya, dulu, menjelang akhir abad XX, telepon seluler dan internet begitu langka di negeri ini. Di film KMGP, ponsel dan internet menjadi hal lumrah di kalangan remaja dan dewasa. Artinya, agar film ini relevan dengan perkembangan zaman, cerita KMGP mengalami banyak adaptasi. Termasuk gaya bahasa yang digunakan remaja.
Barangkali, yang bisa dikritik untuk film ini, adalah penggambaran pribadi Gagah yang kurang sempurna memainkan sosoknya sebelum berubah alim. Gagah, sebelum menjadi alim, adalah pemuda slengekan, easy going, dan berandal. Namun, kendati ditampilkan dalam durasi singkat, perilaku slengekan, easy going, dan berandal kurang dihadirkan. Tak ada Gagah yang mendengarkan musik rock, melakukan kejahilan, atau hura-hura sebagai sosok khas pemuda kebanyakan. Ia, dalam porsinya sebagai orang tak alim, tak banyak melakukan ‘kesalahan’.
Film ini, bagi para penggemar yang mengikuti ceritanya sejak dimuat di majalah Annida pada akhir 90-an dan bukunya pada awal 2000-an, juga akan mengalami ‘gegar imajinasi’. Ini memang suatu hal yang lazim dialami oleh para penonton yang menikmati film yang diangkat dari buku. Bahwa tokoh dan plot cerita yang disajikan dalam karya tulis tak sama dengan yang disajikan dalam bentuk film. Banyak sekali tokoh baru yang dihadirkan dalam KMGP.
Film ini, banyak tak diduga oleh para penggemarnya, ternyata tak selesai dalam satu episode. Akan ada film KMGP Bagian II. Kendati demikian, strategi pemasaran ini tak lantas mengurangi kualitas film. Film episode berikutnya menjadi sesuatu yang sayang untuk dilewatkan lantaran dua sebab.
Pertama, jalan cerita belum selesai. Gita masih melakukan pencarian. Film belum menggambarkan kisah yang menceritakan musabab Gagah berubah. Dalam cuplikan adegan yang ditayangkan menjelang habis tayang bagian I, penonton disajikan oleh sejumlah konflik baru yang mewarnai KMGP, di antaranya penghancuran rumah singgah oleh preman dengan menggunakan isu aliran sesat—sebuah isu yang kini masih hangat di ulas media massa.
Kedua, ada sejumlah tokoh yang belum dihadirkan, salah satunya Ustad Gufron yang dimainkan Ustad Salim A. Fillah. Ustad Gufron adalah tokoh yang membuat Gagah putar haluan dari sosok berandal menjadi pejuang Islam. Keduanya bertemu di Pulau Ternate yang pastinya akan digambarkan dalam film KMGP Bagian II.
Film KMGP sejak sebelum diputar telah menjadi fenomena. Helvy, didukung oleh banyak komunitas dan lembaga seperti Forum Lingkar Pena, ACT, dan BSMI, berkeliling Indonesia dan ke luar negeri untuk mempromosikan KMGP dan menggalang dana untuk memproduksi film. Ia menyambangi kampus, pesantren, dan acara seminar dan workshop kepenulisan untuk menggalang dukungan.
Maka tak heran banyak aktor dan aktris kawakan yang turut mendukung film ini, di antaranya Mathias Muchus, Wulan Guritno, Epy Kusnandar, dan Shireen Sungkar. Komponis terkenal Dwiki Dharmawan juga bersedia menggawangi ilustrasi musik dan lagu tema film ini. Film yang diproduksi oleh IndoBroadcast Production ini akhirnya menjadi pelopor bagi pembuatan film yang didanai oleh masyarakat (crowdfunding).
Film KMGP sangat baik ditonton oleh semua kalangan mulai anak-anak hingga orang tua. Nilai-nilai Islam yang begitu padat di film ini memberi garansi bagi pembentukan karakter muslim yang inklusif dan peka terhadap perkembangan zaman. Selamat menonton!*
Mantaaap… Selamat Mas Bil.. Juara dua euy..
Terima kasih, Mbak Zee…
KMGP 2 mau nonton juga aaahhh…..