Dan Kerbau Pun Galau
Sudah dibaca 1263 kali
Beta terpekur di atas kakinya. Wajahnya sayu tergulung galau. Melihat keanehan itu, Beti mendekati lalu menciumi tubuh Beta.
“Ada apa, say? Murung amat. Tak usah sok pusing kayak para tersangka korupsi yang akan masuk penjara.” Beti duduk di sebelah Beta dan menjilati wajahnya, seolah dengan begitu kegalauan yang menyiksa kekasihnya minggat.
“Sebentar lagi kebudayaan kita musnah, Beti. Musnah! Kita dilarang kumpul-kumpul lagi.”
“Lho, siapa yang berani melarang?”
“Itu, RUU KUHP yang melarang kumpul kebo (kerbau).”
“Apa?!” Wajah Beti merona marah plus galau plus cemas minus riang. “Tega sekali mereka! Kita harus mengadukan ini ke Komnas HAH!”
Beta diam saja, tak bersemangat menanggapi kemarahan Beti yang sudah mencapai tanduk-tanduk.
“Apa sih salah kita? Sebenarnya apa mau mereka?” Suara Beti terdengar sedih. Air mata mengalir membasahi pipinya yang berbulu tipis.
“Aku juga tidak tahu pasti. Yang kutahu, mereka, orang-orang suci itu, ingin tak ada cowok-cewek yang melakukan perbuatan seperti kita. Tak berstatus suami-istri tapi melakukan hubungan seks.”
Beti melenguh kesal. “Bagaimana tidak melakukan hubungan seks kalau saat pacaran saja sudah menjurus ke arah sana! Awal-awal pegangan tangan, lalu cium-ciuman, kemudian raba-rabaan, jadilah begitu-begituan. Nanti ujung-ujungnya setan yang dijadikan domba hitam. Untuk terus bisa begitu-begituan, kan, butuh tempat nyaman. Kalau kere, begitu-begituan di tempat kostan, kontrakan, atau hotel-hotelan. Kalau kaya, ya begitu-begituan di rumah-rumahan.”
Beta masih tak bersemangat. Ia tatap kekasihnya dengan pandang sayu.
Beti merengut. “Lagi pula, kenapa pakai istilah itu sih? Kamu tahu, say?” Ia lalu mengendus-endus perut Beta dan menjilatinya.
Merasa kekasihnya masih terbakar semangat untuk tahu segala hal, Beta berdecak sebal. Terpaksa ia berkata, “Karena perilaku mereka diasosiasikan dengan kehidupan kita. Ngeseks tanpa status suami-istri namanya berzina. Dosanya bergunung-gunung. Dikutuk makhluk-makhluk langit dan bumi. Berzina akhirnya dipandang sebagai perilaku kotor, hina, dan memalukan.”
“Lalu kenapa kita yang jadi sasaran?”
“Itulah yang sangat aku sesalkan! Ini upaya sistematis dan terencana untuk menghapus kebudayaan kita. Lama-lama, kita pun akan dihapus dari jejak sebagai makhluk penghuni dunia nan fana ini.”
Lebay amat sih lu! “Tapi saya lihat, sepertinya tidak ada upaya dari pemerintah dan kaum agamawan untuk menghentikan hobi sebagian muda-mudi itu. Malah, masyarakat pun seperti membiarkan. Cuek bebek.”
“Semua karena kehidupan mereka sudah dijangkiti virus individualisme-liberal. Tiap orang tak peduli lagi dengan perilaku yang lain. Asal tak menggangu, semua bebas dilakukan. Senggol, bacok! Ini sangat berbeda dengan kehidupan kita yang selalu harmonis, berkumpul baik ada maupun tidak ada masalah. Makan atau tidak makan.”
Beti merenung. Ia mencari-cari kata yang sedari tadi mengganggu pikirannya. “Ehm, memangnya… RUU itu berlaku buat kita?”
Beta seperti mendapat kejutan. Kepalanya tersentak ke atas. “Kau benar, Beti! Itu pertanyaan kritis! Teramat kritis, malah! RUU itu, kan, diberlakukan hanya untuk manusia, bukan kita.” Lalu ia bangkit dan bergegas mendekati rumput. Dengan lahap dimakannya rumput itu. Nafsu makannya kembali meraja.
Beti mendengus. Ia mengibas-ngibaskan ekornya. Ingin sekali ia kepretkan ekornya ke wajah Beta. Dasar kerbau!
Jakarta, 5 April 2013.
Leave a Reply