Spread the love

Sudah dibaca 1430 kali

Sabtu, 5 Maret 2011. Mendung menggelayut di langit Tangerang. Setelah mempersiapkan berbagai keperluan, saya dan istri segera keluar rumah kontrakan di kawasan Kunciran sembari membawa tas biru ukuran besar berisi pakaian dan beragam keperluan. Tujuannya jelas: Senayan, Jakarta Pusat. Dari sana, bersama-sama teman kantor, kami akan berangkat ke Anyer, Banten. Gelar acara Family Gathering.

Pukul 07.28, ketika bus metromini 69 jurusan Ciledug-Blok M tiba di kawasan Kebayoran Lama, sebuah panggilan masuk ke telepon seluler saya. Dari Merlin, adik saya. Begitu kaget saya mendengar ucapannya: Dendy, saudara kami, meninggal.

Saya langsung mengabarkan istri; membatalkan tujuan ke kantor di Senayan dan beralih arah ke Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta Selatan. Di sanalah sekitar sebulan Dendy berbaring dengan deteksi penyakit yang rumit: kubitus.

Sepanjang perjalanan mata saya berkaca-kaca. Terbayang pertemuan terakhir kami di RS Fatmawati; saya mengecup keningnya saat kali terakhir membesuknya di Kamar Teratai Ruang 404. Memang, tiap kali membesuk, saya selipkan motivasi dan doa agar ia kuat menjalani perawatan. Saya ajak dia, setelah keluar perawatan, untuk bekerja sama membangun usaha. Ia tersenyum pada saya dan saya masih mengingatnya.

Sesudah pertemuan itu saya mendapat kabar bahwa ia masuk ke ruang perawatan Hicare—ruang ICU penuh. Artinya sakitnya bertambah gawat. Namun karena kesibukan kerja, saya tak sempat membesuknya. Saya hanya mengirimkan doa usai shalat.

Gerimis masih turun, air mata tak berhenti berlinang, dan kenangan bersamanya masih menggelinding di kepala. Dulu kami sangat dekat. Kami suka bergulat dan main kelitikan di atas matras jika bertemu.

Bus metromini berhenti di perempatan lampu merah. Dua orang berpakaian lusuh masuk. Satu ibu-ibu dengan mata agak sipit seperti orang buta. Satu lagi lelaki dengan gitar kecil di dada. Lelaki itu melantunkan lagu, si ibu mengangsurkan botol plastik ke tiap penumpang, minta sumbangan.

Sejenak aku menatap lelaki itu dan bertanya-tanya kenapa ia melantunkan lagu dengan lirik seperti ini di akhir penampilan: saudaraku/selamat tinggal/sampai berjumpa lagi. Padahal ia bisa menyanyikan lagu pop, dangdut, campur sari, atau yang lebih ceria. Ya Tuhan, apa Engkau ingin menghiburku?

Setiba di terminal Blok M, kami naik metromini 610 jurusan Blok M-Pondok Labu. Saya duduk di samping istri, enggan memalingkan wajah ke arahnya lantaran malu mata masih berkaca-kaca. Ia hanya mengusap punggung dan memegang jemari saya tanpa berkata-kata.

Setiba di RS Fatmawati, kami agak kesulitan bertemu. Om Handoyo, ayah Dendy, sedang mengurus admnistrasi RS. Entah posisinya di mana. Ia minta saya masuk ke Gedung Instalasi Gawat Darurat lantai dua. Katanya, istrinya, Bule Endah dan Erin (anaknya) di sana. Ke sana, kami tak bertemu. Setelah Erin menelepon saya, barulah kami bertemu.

Erin mengajak kami ke parkiran bagian dalam. Di sana ambulance biru terparkir. Bule Endah dan Fisty (adik Erin) sudah di dalam mobil. Di dekat mereka terbujur jenazah Dendy yang terbungkus kain.

Tangis kami meledak. Parit di kelopak mata saya bobol. Air mata tak kuasa dibendung. Untuk sekian lama kami menangis dan saling menasihati untuk sabar. “Yang penting kita sudah berusaha, tapi hanya Allah yang menentukan,” kata saya.

Om Han datang membawa berkas. Sebentar saya menyalaminya. Saya tak melihat kristal di pinggir-pinggir kelopak matanya, barangkali sudah habis isinya. Wajahnya dicekam sendu.

Selama menjaga Dendy di RS, Om Han mengendarai motor untuk mondar-mandir Bekasi-Jakarta. Sayalah yang kemudian membawa motor itu ke Bekasi sementara ia, Bule Endah, Erin, Fisty, dan istri saya, naik ambulance.

 

Tiada Hambatan

Langit Jakarta belum berubah. Tetap mendung dan berpotensi hujan sebagaimana perkiraan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika semalam. Sendiri saya memacu motor dengan kecepatan tinggi menuju Kranji, Bekasi. Tekad saya, jika hujan, saya tak akan berhenti.

Alhamdulillah, saya merasa mendapat kemudahan dalam perjalanan. Jalanan tak macet. Lampu lalu lintas yang saya lewati sering berwarna hijau. Gerimis sebentar-sebentar.

Setiba di rumah Om Han, tenda sudah berdiri. Orang-orang duduk-duduk di kursi plastik. Sebagian berdiri. Beberapa saudara saya hadir. Di bilik dekat lapangan berlantai semen, beberapa orang sibuk memotong kayu dan mempersiapkan alat penguburan.

Belum lama menyerahkan kunci motor dan STNK ke Om Han, saya kembali memintanya darinya. Saya mengantar seorang ibu membeli handuk, bak besar, dan baskom untuk keperluan memandikan jenazah. Di pasar waktu agak tersita karena si ibu sangat sengit menawar harga.

Sepulang dari pasar, saya masuk rumah. Di salah satu bagian rumah saya menemui ibu. Ia menangis. Saya tahu, ibu termasuk orang yang sangat sedih atas meninggalnya Dendy, keponakan kesayangannya. Berkali-kali ia membesuk Dendy di RS, menempuh perjalanan berpuluh kilometer dengan angkutan umum, membelah kemacetan jalan Jakarta dan udara malam yang menusuk. Ia pula yang menyempatkan diri untuk menengok langsung tempat pengobatan alternatif di Lemah Abang, Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, dan mendaftarkan Dendy sebagai pasien—daerah ini cukup jauh ditempuh dari Duren Sawit, Jakarta Timur—namun Dendy tak pernah datang ke tempat itu.

Ibu telah mematri janji di hadapan Dendy, jika Dendy sembuh dan keluar perawatan, ia akan memasakkan makanan yang terenak untuknya. Namun Dendy tak bisa makan masakan ibu lagi.

Usai dishalatkan di Masjid Al-Muhajirin, jenazah dibawa dengan ambulance ke pekuburan di kawasan Duta Kranji. Rombongan bermotor mengiringi. Tak ada hambatan berarti dalam proses penguburan.

 

Family Gathering

Usai penguburan, saudara-saudara jauh berdatangan. Yang terjauh dari Semarang dan Wonogiri, datang sore naik pesawat. Sebelumnya saudara dari Bojonegoro, Jawa Timur, yang pada Jumat 5 Maret sempat membesuk Dendy. Saudara dari Surabaya belum datang.

Sabtu, 5 Maret 2011, kami berkumpul. Berkumpul di hari meninggalnya Dendy sekaligus ulang tahunnya ke-25. Bagi saya, ini adalah sebuah family gathering. Kami dapat kembali mengeratkan tali silaturahmi yang telah lama merenggang.

Saya merekonstruksi percakapan beberapa saudara. Beberapa bulan sebelum sakit parah, Dendy bepergian mengunjungi saudara-saudara di Semarang, Bojonegoro, dan Surabaya. Sejak dari Semarang ia merasakan sakit di pinggul dan kakinya. Di Bojonegoro ia sempat diurut. Dan sekembali dari Surabaya, ia sakit parah.

Usai pengajian ibu-ibu, saya dan istri pulang ke Duren Sawit. Agak repot menenteng tas biru besar berisi pakaian. Rumah Om Han sepertinya agak sempit jika kami ikut saingan berjejalan tidur dengan saudara-saudara yang lebih tua. Ibu juga menginap.

Kendati dalam suasana sedih, saya senang menggelar family gathering dengan saudara-saudara. Tidak bersama teman-teman sejawat bersenang-senang di Pantai Anyer. Tuhan telah memberikan ketentuan, dan kami harus mensyukurinya.

Saudaraku, selamat jalan. Semoga engkau tenang di alam sana. Semoga pula kita dapat menghadiri family gathering dalam satu meja di kemudian hari.

Jakarta, 7 Maret 2011.