Gagasan di Balik Cerita: Cerita Parmin
Sudah dibaca 1541 kali
Malam ini, menjelang tidur putri saya, Kirana, saya tidak membacakan buku fabel yang biasa dipilihnya. Kali ini saya yang menentukan. Dia setuju. Saya memilih cerpen berjudul Parmin karya Jujur Prananto, yang terbit pada 2002 (tadi sore saya membongkar lemari buku dan menemukan cerpen mengharukan itu).
Saya membacakannya sembari mengonfirmasi kata-kata yang barangkali dia tidak tahu artinya, serta sedikit menyimpulkan uraian bacaan beberapa paragraf untuk sekadar memastikan dia memahami jalan cerita. Yups, dia masih anak-anak sementara ini cerpen orang dewasa yang penuh ungkapan implisit.
Kenapa saya memilih cerpen ini? Membacanya, hati saya tergetar. Ini cerpen tentang kecurigaan keluarga kaya kepada tukang kebunnya bernama Parmin. Parmin menunjukkan perilaku tidak biasa dan aneh yang layak disambut dengan kecurigaan. Parmin dicurigai telah mencuri dan merencanakan aksi jahat pada keluarga itu.
Maka disusunlah rencana: menjebak Parmin! Hingga satu hari saat Parmin pulang, satu anak, Himan namanya, membuntutinya. Parmin membawa sesuatu di dalam tasnya. Mencurigakan. Pengejaran berakhir di satu kawasan padat penduduk di mana pada satu jarak, Himan mengamati rumah Parmin. Ia melihat ketiga anak Parmin bersorak kegirangan menyambut es krim yang sudah mencair, yang dikeluarkan dari dalam tas (itu es krim yang diambil Parmin, sisa arisan keluarga majikannya).
“He, he, kalau sudah begini lupa berdoa, ya?”
“Berdoa kan buat kalau mau makan nasi, Mak.”
“Ya sudah, sekarang mengucap terima kasih saja,” Parmin menyambung. “Yang memberi es krim ini tante Oche, tante Ucis sama Oom Himan. Ayo, gimana?”
Dengan takzim ketiganya mengucapkan pelan, satu anak mengucapkan satu nama.
“Terima kasih Tante Oche.”
“Terima kasih Tante Ucis.”
“Terima kasih Oom Himan.”
Dialog ini menurut saya sangat padat dan penuh makna. Saya sampaikan kepada Kirana seperti ini: Parmin, keluarga miskin, mengajarkan anak-anaknya rasa terima kasih kepada orang yang berjasa memberi minuman kepada mereka. Cairan es krim sisa arisan yang sudah dianggap sampah oleh keluarga Himan namun disyukuri oleh keluarga Parmin.
Lalu saya merefleksikan dan mendiskusikan pesan cerita itu kepada Kirana. Bagaimana orang kaya bahkan tidak tahu (dan merasa tidak perlu tahu) alamat rumah pembantunya, juga keluarganya. Kecurigaan sudah menutup akal sehat mereka, tidak mengonfirmasi perilaku janggal pembantunya, malah mencurigainya yang tidak-tidak. Apa pantas pengorbanan Parmin yang mengerjakan pekerjaan di luar pekerjaan utamanya sebagai tukang kebun, sangat ramah, sulit dicari kelemahannya, dicurigai lantaran menunjukkan perilaku tidak biasa usai acara pesta dan arisan yang rata-rata menghamburkan makanan-minuman? Mengambil “secuil” makanan/minuman yang tinggal buang, apa pantas dicurigai berlebihan?
“Ini perilaku kebanyakan keluarga urban yang kaya tapi tidak peduli kepada orang miskin,” kata saya. Tingkat pendidikan dan gaya hidup tidak mampu membawa hati mereka kepada keibaan terhadap orang-orang miskin di dekat mereka.
Tapi sebenarnya bukan pesan seperti itu yang saya tuju. Satu hal yang ingin saya tampilkan kepada Kirana adalah bahwa kita jangan hanya membaca tanpa mengkritisi isi bacaan. Banyak sekali makna yang terkandung dalam isi bacaan. Penulis yang bagus memilih diksi dalam dialog dan konflik dengan menyisipkan makna dan pengertian tertentu (Bobbi Deporter dan Mike Hernacki dalam buku Quantum Learning menyebutnya sebagai “gagasan”). Tugas kita sebagai pembaca menangkap gagasan itu dan memaknainya. Cerpen Parmin ini penuh gagasan implisit yang menarik untuk didiskusikan dan diungkap.
Lalu Kirana berkata bahwa sejumlah buku cerita yang pernah dibacanya menyertakan hikmah usai cerita berakhir. Betul. Tapi lebih bagus lagi bila kita mencari dan mendiskusikan hikmah/gagasan dari suatu cerita secara mandiri.
Di masa seperti ini, ketika harus belajar di rumah akibat pandemi Virus Corona, Kirana membaca kembali buku-buku yang sudah pernah dibacanya. Ia agak bosan, tapi tidak punya pilihan. Saya berpikir kenapa tidak mulai mengenalkannya pada bacaan dengan pemahaman orang dewasa (kebanyakan koleksi buku saya) yang relatif aman untuk konsumsi anak-anak, dan menjadi bahan diskusi saya untuk menyampaikan hikmah dari suatu cerita yang juga mudah dipahami anak seusianya. Sebelumnya saya mengajaknya berdiskusi dan membiarkannya membuka serta membaca secara bebas buku puisi karya Joko Pinurbo berjudul “Haduh, Aku di-Follow” (KPG, 2003) kemudian “Perjamuan Khong Guan” (GPU, 2020). Puisi-puisi dalam buku itu berkonten dewasa (konten dewasa tidak selalu merujuk pada hal porno atau hal yang tidak pantas diketahui anak-anak) tapi menurut saya “aman” untuk dinikmati anak-anak. Ya, bagi saya, puis-puisi Jokpin enak dibaca dan dirasa, cukup aman dikonsumsi anak-anak karena biasanya ada unsur humornya. Saya tidak khawatir karena Kirana akan menanyakan hal-hal yang tidak diketahuinya dan akhirnya menjadi bahan diskusi kami berdua. Ya, dia yang memulai diskusi, berangkat dari rasa penasarannya (Kirana jarang mengajak diskusi buku anak-anak karena mungkin dia sudah paham isinya). Saya tidak begitu paham bagaimana mengapresiasi sebuah puisi, sehingga saya berkata pada Kirana, “Puisi itu jangan selalu harus dipahami maknanya. Kadang kita hanya perlu menikmati rasanya. Terserah kamu mau memaknainya seperti apa, tidak ada yang salah tentang apa yang kamu pahami. Bebas saja, dibawa senang-senang.”
Terus terang saja, saya agak khawatir dengan perkembangan kegiatan membacanya, tepatnya, keterampilan berliterasinya (saya tidak tahu apa guru di sekolahnya mempunyai pemikiran sama seperti saya). Membaca tidak sekadar bisa mengeja huruf-huruf menjadi kata dan kata menjadi kalimat. Membaca juga harus bisa memahami maknanya dan mengkritisi kontennya. Kemampuan ini harus terus dilatih dan menjadi kebiasaannya. Caranya, dengan mendiskusikan konten buku. Siswa kelas rendah (I, II, dan III SD) merupakan masa kritis dalam menanamkan kemampuan literasi membaca sebab mereka sedang melatih kemampuan calistung (baca, tulis, hitung). Keberhasilan pada fase ini akan mendorongnya pada rasa cinta membaca buku dan mencetaknya sebagai pembelajar sepanjang hayat yang berpikiran kritis dengan membaca untuk belajar (reading to learn). Sebaliknya, kegagalan di fase ini akan mendorongnya menjadi orang yang malas membaca sepanjang hayat.*
Kunciran Indah, Pinang, Tangerang, 30 Maret 2020.
Leave a Reply