Spread the love

Sudah dibaca 1430 kali

Dia biasa disapa Aa Mumun. Wajahnya teduh dan jenggotnya rimbun. Kalau bicara tidak jauh dari keislaman dan guyonan. Di FLP DKI pemilik nama asli Ahmad Lamuna ini tergolong “orang lama”. Namun, soal semangat, jangan ditanya! Sesibuk-sibuk mengajar, ia selalu menyempatkan diri datang ke pertemuan FLP DKI saban Ahad di teras Masjid Amir Hamzah, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat. Pikiran, tenaga, dan hartanya dicurahkan untuk membangun kaderisasi FLP DKI yang terus mencari kematangan. Berikut petikan wawancara Ihda Alfiyani dengan anggota Subdivisi Muda/Madya ini:

Kapan nih masuk FLP?

Udah lama banget…sekitar tahun 2003.

Waduh… kira-kira angkatan keberapa tuh?

Hehehe… dulu mah ngga pake angkatan-angkatan segala. Baru-baru ini aja dibentuk angkatan.

Menurut Aa, apa perbandingan FLP yang dulu dengan FLP yang sekarang?

Kalau menurut pengamatan saya, anggota FLP yang dulu itu kebersamaannya kuat banget. Sampai kemanapun kita terus bersama. Kalau anggota yang sekarang sih ada, tapi hanya sesama angkatan aja. Atau hanya angkatan  senior saja.

Nah lho… terus solusinya gimana?

Saya harap temen-temen bisa membuka pergaulan. Makanya itu setelah inagurasi, nama angkatan tidak berlaku lagi. Semua sama dan sederajat. Tidak ada lagi senioritas dan tidak ada lagi junioritas.

Lalu apa yang Aa harapkan untuk FLP yang akan datang?

Semoga FLP dapat menjadi komunitas dakwah yang menggunakan sarana tulisan, bukan komunitas penulis, yang menjadikan dakwah sebagai sarana tulisan.

Adakah perubahan yang Aa rasakan selama di FLP?

Banyak banget. Di antaranya, progress-nya, cara pergaulan yang semakin menyempit. Rasanya kebersamaannya sedikit berkurang.

Apa Aa punya kiat-kiat khusus untuk menghadapi problem ini?

Karena itulah, saya mencoba untuk membangun visi dakwah berwawasan Islam, yang berguna menyatukan kembali semua perubahan.

Apakah selama ini Aa banyak memiliki kenangan selama di FLP?

Wah… kalau ditanya soal kenangan, banyak sekali kenangan yang begitu indah. Misalnya dulu ketika kita semua mau pergi jalan-jalan rombongan. Terus karena acara jalan-jalan itu mendadak, maka kita membajak bis juga mendadak.  Pernah juga makan nasi bungkus bareng-bareng. Adajuga kenangan saat saya duet sama Zaenal Radar T. di gunung Agung. Waktu itu dia yang main gitar dan saya yang nyanyi. Acara Ode Kampung juga sangat berkesan.

Bagaimana pengorbanan yang Aa lakukan untuk FLP?

Hahaha… kalau soal pengorbanan, jangan tanya ke saya sendiri. Saya ikhlas melakukan apapun. Jadi tidak bisa disebut pengorbanan. Kamu coba tanya saja ke teman-teman FLP, apa yang sudah saya korbankan. Seperti saya tahu ketika Mbak Dala tetap datang ke FLP walaupun beliau sedang sakit. Saya juga tahu, Mas Billy mengurus LCD-3 hingga sakit demam berdarah.

 

*Artikel ini dimuat di Buletin PENA Edisi 11/Desember/2007 rubrik Sosok. Buletin PENA merupakan media internal yang diterbitkan oleh FLP DKI Jakarta.