Spread the love

Sudah dibaca 1510 kali

BANYAK cara yang dapat dilakukan untuk membuktikan bahwa hidup itu begitu indah. Ini terletak dari bagaimana memandang berbagai peristiwa dalam kehidupan. Ada keindahan hidup dalam sebuah kesedihan. Ada keindahan hidup pada penderitaan. Intinya, keindahan hidup tak hanya terletak pada kegembiraan dan kebahagiaan.

 

Indahnya hidup hanya dapat dimengerti lewat sebuah pemaknaan. Pemaknaan terhadap berbagai gejala peristiwa yang disebut hikmah. Hanya orang-orang berakal (‘ulul albab) yang mampu memaknai peristiwa dan mengambil intisarinya (hikmah).

 

Ciri-ciri orang berakal adalah berpandangan positif. Dengan berpandangan positif, wawasan terhadap sesuatu yang telah dan baru dikenal mengalami terobosan. Inovasi dan kreativitas adalah ‘pengawal’ pandangan positif. Teman yang setia mengawalnya di depan adalah optimisme.

 

Dalam Islam, pandangan positif terhadap Sang Pencipta Allah SWT adalah kemutlakan. Tak ada sesuatu pun yang terjadi di muka bumi kecuali karena kehendak-Nya. Angin berdesir, elektron berputar, komet berpijar, dan mikroba membelah diri terjadi karena seizin-Nya. Sebaliknya, bagi yang berpandangan negatif terhadap Allah, segala hal yang menimpanya dipandang sebagai kesusahan dan berujung pada keluh-kesah.

 

Pandangan positif kepada Allah adalah induk bagi pandangan positif terhadap hidup. Indahnya hidup hanya dapat dirasakan dengan bersandar pada pandangan positif terhadap Allah. Lalu bagaimana aplikasi cara pandang seperti ini? Jawabnya: banyak cara mengaplikasikannya. Sebab tiap orang punya cara berbeda dalam memandang hidup.

 

Sekarang izinkan saya menggunakan cara pandang positif dalam memandang beberapa kejadian yang menimpa diri saya.

 

Pada akhir Maret 2008 saya ke Yogyakarta, tugas kerja, yaitu melakukan liputan kegiatan komunitas Shalat Center. Itu kali kedua kunjungan saya ke Jogja setelah dua bulan sebelumnya, awal Januari 2008, melakukan tugas yang sama. Namun, pada awal April, pemilik (owner) majalah menutup penerbitan. Semua karyawan di putus hubungan kerja (PHK).

 

Keputusan tersebut membuat saya dan beberapa teman kecewa. Keputusan tersebut begitu mendadak. Terlebih semua tahu itu terjadi lantaran kurangnya komunikasi antara dua investor yang super sibuk.

 

Saya sendiri, beberapa hari sebelum pembubaran penerbitan, ditawari bekerja di sebuah penerbitan buku. Saya menolaknya karena saya masih tercatat sebagai redaktur majalah kendati kondisinya sedang genting. Beberapa minggu sebelumnya saya juga ditawari bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang pendidikan. Juga saya tolak karena tidak bisa dikerjakan secara paruh waktu (part time). Saya begitu mencintai pekerjaan sebagai wartawan sehingga saya menolak tawaran-tawaran itu—lingkungan kerja memotivasi saya untuk terus mengembangkan ilmu.

 

Tapi akhirnya keputusan itu, walau getir, diambil pula. Saya bersama beberapa teman lain dipanggil owner Ustadz Abu Sangkan, pendiri dan trainer Pelatihan Shalat Khusyu’, ke rumahnya di kompleks perumahan di kawasan Bekasi Utara, Jawa Barat. Sebelum memutuskan, Abu Sangkan menerangkan kondisi sulit perusahaan. Kami berusaha memahami dan lapang dada menerima keputusan itu. Abu Sangkan bersikap baik dengan keputusan menampung kami bekerja di Yayasan Shalat Center sambil menunggu kami mendapat pekerjaan baru. Namun kami, dengan berbagai alasan, tidak menerima tawaran baiknya.

 

Kondisi selanjutnya membuat saya prihatin. Delapan bulan saya bekerja di majalah yang sedikit-banyak memengaruhi saya dalam hal beragama. Saya harus meninggalkannya karena kondisi terpaksa: perusahaan penerbitan bubar. Akhirnya saya dan beberapa teman lain menjadi bagian dari puluhan juta pengangguran di Indonesia. Dan saya menganggur tepat di ulang tahun ke-28.

 

Kedua, pada 6 April 2008, saya dan rombongan aktivis Forum Lingkar Pena DKI Jakarta bertandang ke Kebun Raya Bogor. Di sana kami akan menggelar Islamic Basic Training II selama sehari. Dari Jakarta kami naik kereta.

 

Setelah turun di stasiun Bogor, kami jalan kaki mencari angkutan kota. Ketika teman-teman masuk angkot, saya memilih masuk angkot paling akhir. Dan, setelah beberapa saat saya masuk angkot, ketika saya periksa isi tas bagian luar, satu telepon seluler saya hilang. Saya bingung. Angkot jalan dan tak lama kemudian saya menyimpulkan bahwa gerombolan laki-laki yang mendatangi kami saat antre masuk angkotlah pencurinya.

 

Ketiga, pada 19 September 2008, seorang editor penerbit di Solo menelepon saya saat saya sedang mengajari membaca seorang siswi PAUD Nusa Indah. Katanya, naskah buku saya tidak bisa diterbitkan. Terlalu segmented. Saya hanya berpikir bahwa alasan sebenarnya adalah pertimbangan pasar yang terlalu sempit, bukan pada isi naskahnya.

 

 

Hikmah 

Alhamdulillah, saya melewati ketiga peristiwa tersebut tidak dengan kesedihan yang panjang. Sedih boleh tapi sebentar saja, kata motivator Mario Teguh. Usai mengalami tiap peristiwa, saya berusaha mencari hikmahnya dengan menggunakan pikiran positif.

 

Saya berpikir, umur penerbitan majalah sebenarnya tinggal menunggu waktu saja. Komunikasi dua owner tidak berjalan baik. Hanya butuh pemicu saja untuk memutuskan apakah kerjasama keduanya diteruskan atau tidak. Saat keputusan diambil, saya mendapati kondisi bahwa seminggu sebelumnya saya tugas jurnalistik ke Jogja. Saya sangat menikmati tugas tersebut. Selain mengunjungi tempat-tempat yang pada awal Januari sudah saya kunjungi, seperti Pasar Malioboro dan Book Shooping, saya mengikuti acara tradisi Sekaten yang digelar Kesultanan Yogyakarta pada 20 Maret. Acara tahunan yang ditunggu-tunggu masyakarat Jogja, turis, dan wartawan.

 

Sehingga saya menyimpulkan, kunjungan ke Jogja (dua kali) adalah sebentuk hiburan dari Allah SWT pada saya sebelum saya di-PHK. Itulah yang membuat saya tidak berlarut-larut dalam sedih. Saya “dipaksa” untuk terus bersyukur karena memang begitulah ketetapan-Nya yang tak bisa dihindari. Saya jadi tidak punya alasan untuk berpikir negatif pada kondisi itu. “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” firman Allah di al-Qur’an surat Ar-Rahman—tak tanggung-tanggung, Dia mengulangi ayat ini 31 kali.

 

Di Bogor, saya kecopetan saat melakukan semacam perjalanan wisata dengan teman-teman. Semestinya, dalam tamasya tak ada perasaan sedih. Terlebih di acara tersebut saya menjadi salah satu pembicaranya. Kecopetan yang menggantung perasaan sedih kontras dengan rasa gembira dalam tamasya. Dan saya tidak punya alasan untuk terus bersedih dalam suasana kegembiraan itu. Bagi saya, kehilangan ponsel adalah sebuah ketentuan-Nya lantaran kecerobohan saya—sebuah peringatan yang bisa digeneralisir ke bidang lain. Dan Allah tak memberi saya kesempatan untuk sedih di tengah-tengah acara.

 

Kenapa editor itu memberi kabar kurang baik ketika saya sedang berusaha mengajar siswa membaca? Kenapa Allah menskenariokannya begitu? Usai mendengar kabar itu hati saya diselimuti kesedihan. Itu naskah kedua saya yang ditolak penerbit tahun ini.

 

Saya kembali mendatangi siswa saya dan meneruskan mengajarinya membaca—mengeja huruf. Seraut sedih masih menghiasi wajah saya dan tiba-tiba saya tersadar; seorang guru tidak boleh tampak sedih ketika mengajari muridnya. Maka berusahalah saya menarik bibir beberapa senti agar terlihat tersenyum. Sekali lagi Allah tidak memberi saya alasan dan kesempatan untuk menekuri kesedihan. Naskah ditolak penerbit adalah hal biasa, dan Dia hendak mengajari saya untuk menerimanya dengan lapang dada.

 

Bagitulah Dia memberi pelajaran bagi hamba-hamba-Nya yang selalu berpikir positif terhadap-Nya. Sesungguhnya semua peristiwa hidup kembali pada satu hubungan pribadi yang erat: kau dan Allah.

 

 

 

Duren Sawit, Jakarta Timur. 2 Syawal 1429 Hijriyah/2 Oktober 2008