Integrasi e-Learning dan Literasi Digital
Sudah dibaca 2544 kali
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Di zaman serba digital seperti sekarang ini, penggunaan teknologi dalam kegiatan pembelajaran adalah keniscayaan. Teknologi diyakini dapat membantu guru dalam menyampaikan materi ajar secara efektif dan efisien. Di sisi lain, siswa dapat dengan mudah memahami materi yang disampaikan dengan mudah.
Dulu, guru mengandalkan papan tulis dan kapur untuk menjelaskan materi pelajaran. Setelah muncul Overhead Projektor (OHP), mereka dapat menunjukkan kepada siswa gambar dua dimensi ke dinding kelas dari salinan fotokopi beserta teks yang ditulis di atas transparansi. Setelah muncul komputer dan infocus, materi pelajaran menjadi lebih hidup dengan penayangan video dan musik.
Perkembangan internet semakin mempermudah kegiatan pembelajaran. Kemudahan itu berupa bertambahnya sumber belajar yang bisa diakses kapanpun dan di manapun baik oleh siswa maupun guru melalui mesin pencari (search engine). Dengan memasukkan kata kunci ke mesin pencari seperti Yahoo, Google, atau Youtube, siswa dan guru dapat mengetahui ribuan hingga jutaan informasi dari berbagai sumber mengenai objek yang diinginkan.
Pemerintah, melalui Departemen Pendidikan Nasional, mengembangkan teknologi internet untuk mendukung dunia pendidikan. Dalam buku berjudul Tips Efektif Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Dunia Pendidikan (DIVA Press, 2011), Jamal Ma’mur Asmani menjelaskan pemanfaatan teknologi internet di dunia pendidikan tanah air.
Program pemanfaatan internet, menurut Asmani, dimulai pada tahun 1999 melalui program jaringan Internet (Jarnet). Selanjutnya berturut-turut dikembangkan program Jaringan Informasi Sekolah (JIS), Wide Area Network (WAN) Kota, Information and Communication Technology Center (ICT Center), Jejaring Pendidikan Nasional (Jardiknas), dan ke depan akan dikembangkan South East Asia Education Network (SEA EduNet).
Sejak 2002, Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi (Pustekkom) bekerja sama dengan Direktorat Pendidikan Menengah dan Direktorat Pendidikan Keterampilan mengembangkan program yang disebut “e-edukasi”. Tujuan program ini yaitu memperbaiki kualitas pendidikan menengah dan pendidikan keterampilan melalui penggunaan internet. (Asmani, 2011)
Pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi dalam dunia pendidikan lebuh lanjut memunculkan istilah e-learning atau pembelajaran elektronik. E-Learning kemudian dikembangkan secara lebih luas berupa penyelenggaraan kursus daring (online), fasilitasi sistem tutorial bagi pendidikan jarak jauh, dan perpustakaan elektronik (e-library).
Seiring perkembangan teknologi terkini, terutama dengan hadirnya jejaring media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan Whatsapp, masalah baru bermunculan. Masalah itu terkait dengan penggunaan informasi yang bertebaran di media sosial. Ketidakmampuan masyarakat memilah informasi yang benar dan salah menciptakan kegagapan pemanfaatan informasi. Berita bohong (hoaks) dengan konten menghasut dan provokasi berseliweran, bahkan memakan korban jiwa, memicu konflik, dan memecah belah masyarakat.
Di media sosial, semua orang merasa bebas berpendapat. Beragam isu ditanggapi dengan perundungan, ujaran kebencian, dan komentar negatif lainnya. Perbedaan haluan politik dan identitas keagamaan semakin memperuncing pertikaian di dunia maya.
Seperti sebuah kelaziman, ketika kondisi masyarakat mengalami degradasi, dunia pendidikan selalu menjadi sorotan. Pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi di dunia pendidikan mengalami koreksi. Selama ini, kegiatan pembelajaran menempatkan teknologi sebagai tujuan. Pembelajaran disebut berhasil jika siswa mampu mengoperasikan perangkat teknologi. Etika pemanfaatan teknologi tidak diposisikan sebagai materi yang penting dikuasai dan diterapkan.
Kritik lain ditujukan kepada kondisi masyarakat yang aliterasi dan malas membaca. Ketiadaan budaya membaca diyakini sebagai faktor utama penyebab berita hoaks, misalnya, mudah menyebar dan termakan oleh siapa saja. Orang yang malas membaca dianggap tidak mampu membedakan antara informasi valid dan bohong. Selain itu, lompatan kondisi dari negara berkembang ke dunia digital tanpa melalui proses pembudayaan membaca yang mapan dituding sebagai penyebab utama masyarakat gagap teknologi.
Kondisi ini dikuatkan oleh survei yang dilakukan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pengembangan Ekonomi (Organization for Economic Cooperation and Development—OECD) terhadap siswa berusia 15 tahun di sejumlah negara. Hasil tes Programme for International Student Assessment (PISA) mengenai literasi matematika, membaca, dan sains, yang diikuti Indonesia sejak tahun 2000, selalu menempatkan Indonesia di urutan terbawah, jauh di bawah negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Vietnam. Menurut survei teranyar, PISA 2015, yang diumumkan pada 6 Desember 2016, Indonesia berada di urutan ke-64 dari 72 negara yang disurvei (Antoro, 2017).
Rendahnya peringkat literasi berdasarkan survei tiga tahunan itu mengindikasikan bahwa siswa Indonesia tidak dapat memahami substansi dan memaknai kegiatan pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari. Kondisi ini mengungkap proses pembelajaran di sekolah selama bertahun-tahun yang lebih mengutamakan nilai, mengabaikan proses, dan memandang sebelah mata terhadap pentingnya kegiatan membaca.
Pada 2015, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan menerbitkan Peraturan Mendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Salah satu poin penting dalam Permendikbud ini adalah kegiatan literasi berupa pewajiban membaca buku nonpelajaran selama 15 menit sebelum jam pelajaran dimulai setiap hari. Regulasi ini menandai perubahan fokus kebijakan pemerintah terhadap pendidikan dari penuntasan buta aksara kepada kecakapan abad 21 yaitu literasi, kompetensi, dan karakter (Antoro, 2017).
Kecakapan abad 21 itu mengacu pada dokumen Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum—WEF) tahun 2015 yang membagi literasi dasar dalam enam macam, yaitu Literasi Baca-Tulis, Literasi Numerasi, Literasi Sains, Literasi Digital, Literasi Finansial, dan Literasi Budaya dan Kewargaan. Literasi Digital, satu dari enam literasi dasar tersebut, menjadi sangat relevan berkaitan dengan pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi dalam kegiatan pembelajaran di sekolah.
Aktivitas belajar mengajar berbasis e-learning sedianya terintegrasi dengan literasi digital. Guru tidak sekadar mengoptimalkan TIK ketika berinteraksi dengan siswa, melainkan juga mendorong kegiatan literasi dalam semua praktik pembelajaran. Pembelajaran berbasis e-learning yang terintegrasi dengan literasi digital diharapkan mampu mengantarkan siswa menjadi pembelajar sepanjang hayat yang bijak dan cerdas dalam memanfaatkan teknologi informasi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, makalah ini hendak mengangkat tentang:
1. Bagaimana penerapan e-learning dalam kegiatan belajar mengajar?
2. Bagaimana literasi digital menjadi sangat penting diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah?
3. Bagaimana mengintegrasikan e-learning dengan literasi digital?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui sejauh mana e-learning berbasis literasi digital diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah.
BAB II
Pembahasan
A. E-LEARNING
1. Pengertian
Ada beberapa definisi e-learning. Victorio L. Tinio menyatakan bahwa e-learning meliputi pembelajaran pada semua tingkatan, formal dan informal, yang menggunakan jaringan komputer (intranet maupun ekstranet) sebagai pengantar bahan ajar, interaksi, dan/atau fasilitasi. SEAMOLEC mendefinisikan e-learning sebagai pembelajaran melalui jasa elektronik. Jamal Ma’mur Asmani dalam bukunya Tips Efektif Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Dunia Pendidikan (DIVA Press, 2011), merangkum pengertian e-learning sebagai pembelajaran dengan memanfaatkan teknologi elektronik sebagai sarana penyajian dan distribusi informasi. E-learning mencapai puncaknya, kata Asmani, setelah bersinergi dengan teknologi internet.
Internet-based learning atau web-based learning dalam bentuk paling sederhana, menurut Asmani, adalah laman yang dimanfaatkan untuk menyatukan materi-materi pembelajaran. Cara ini memungkinkan pembelajar dan fasilitator mengakses informasi dari manapun dan kapanpun.
Kurikulum 2013 yang memosisikan guru sebagai fasilitator dan siswa sebagai subjek pembelajaran sangat relevan dengan pembelajaran berbasis e-learning. Kegiatan pembelajaran yang berpusat pada siswa memberi keistimewaan pada bagaimana mereka menangkap materi pelajaran.
Tidak ada seorangpun yang dapat menangkap materi pelajaran secara utuh dalam sekali kegiatan belajar mengajar di dalam kelas (Khan, 2013). Hal ini juga berlaku pada siswa yang dianggap paling cerdas. Mereka akan merasa perlu perlu meninjau materi-materi pelajaran yang pernah diterimanya agar pemahamannya terhadap sebuah konsep semakin mendalam. Guru bertugas mendorong siswa agar mengakses beragam sumber belajar yang relevan dengan materi yang hendak didalami.
Di sinilah, kata Khan, aspek penting pembelajaran menggunakan internet. Siswa dapat mengakses berbagai situs laman yang berisi pembahasan tentang suatu materi. Dengan mengunjungi situs mesin pencari seperti Google dan YouTube, siswa dapat terhubung dengan ratusan bahkan ribuan situs yang mengulas materi suatu konten.
Dengan banyaknya sumber rujukan, siswa dapat memilah dan memilih informasi yang mendukung pemahamannya terhadap suatu materi. Kemampuannya dalam menganalisis dan menarik kesimpulan membuahkan pemahaman komprehensif dalam pikirannya. Hal terpenting dalam proses ini adalah selain dapat meninjau ulang pelajaran tertentu, siswa juga dapat menelaah lebih dalam dan memperoleh pemahaman lebih tahan lama atas sebuah subjek. Ia pun dapat memahami materi dengan melakukan asosiasi di antara mata pelajaran melalui berbagai lensa lintas bidang studi yang berbeda-beda.
Pemanfaatan internet juga dapat meningkatkan pengetahuan yang lebih mendalam pada pikiran siswa. Akses luas terhadap internet pun terbukti menumbuhkan kegembiraan dan rasa ingin tahu. Rasa gembira dan ingin tahu harus terus dijaga agar senantiasa menjadi pelindung siswa dalam mengarungi medan ilmu.
2. Pengembangan media dalam e-Learning
Salah satu hal penting yang harus dikuasai guru dalam e-learning adalah kemampuan meramu bahan ajar menjadi lebih menarik. Guru secara teknis sedianya menguasai sejumlah program peranti lunak (software) untuk merekayasa tampilan materi pelajaran.
Asmani (2011) menjabarkan enam prinsip program e-learning agar berlangsung efektif menurut Ruth Clark. Prinsip itu terkait dengan elemen media yang merupakan dasar-dasar pengembangan e-learning. Pengembangan media yang dimaksud yaitu kombinasi teks, grafik, dan suara yang menyampaikan materi pembelajaran.
Keenam prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
1. Prinsip multimedia, yaitu grafik ditambahkan ke dalam teks. Grafik dalam hal ini adalah gambar diam (garis, sketsa, diagram, foto) dan gambar bergerak (animasi dan video). Grafik yang ditambahkan selaras dengan pesan yang disampaikan dalam teks.
2. Prinsip contiguity (kedekatan), yaitu penempatan teks di dekat grafik. Grafik yang bersesuaian diletakkan di bagian atas atau bawah teks dalam satu layar.
3. Prinsip modality, yaitu penjelasan grafik dengan suara. Prinsip ini berlaku untuk animasi atau visualisasi kompleks dalam suatu topik yang relatif kompleks.
4. Prinsip redudancy (kelebihan), yaitu suara dan teks yang berlebihan dapat merusak kegiatan belajar. Suara yang membacakan teks dalam bentuk narasi dapat mengganggu kegiatan pembelajaran.
5. Prinsip coherence (kesesuaian), yaitu penggunaan visualisasi, teks, dan suara yang tidak berhubungan (sembarangan) dapat merusak kegiatan belajar.
6. Prinsip personalisasi, yaitu penggunaan bentuk percakapan dan gaya-gaya pedagogis dapat meningkatkan kegiatan belajar.
Tampilan elaboratif yang menggabungkan unsur gambar, teks, dan suara mengalami tren positif di dunia maya (internet). Grafik dalam bentuk gambar diam dan gambar bergerak bertebaran dan dapat diunduh gratis oleh guru dan siswa.
Gambar diam berupa infografis (perpaduan antara istilah “informasi” dan “grafis”) antara lain berupa poster iklan layanan masyarakat, pamflet, dan paparan seminar. Sementara gambar bergerak berupa videografis (perpaduan antara istilah “video” dan “grafis”) hadir dalam bentuk advertorial dan kampanye.
Infografis dan videografis dapat menjadi rujukan guru dalam membuat bahan ajar. Teks materi pelajaran dapat diterjemahkan dalam tampilan elaboratif antara teks, foto, audio, dan video, dengan mempertimbangkan jenis, ukuran, dan warna teks. Materi ajar yang ditampilkan dalam bentuk infografis dan videografis akan menggugah siswa agar semangat belajar.
Bahan ajar dalam bentuk infografis dan videografis memadukan proses pembelajaran yang melibatkan otak kiri dan otak kanan. Teks mewakili otak kiri dan gambar mewakili otak kanan. Kolaborasi kedua jenis otak ini membantu siswa dalam memahami materi pelajaran secara utuh karena imajinasinya turut dilibatkan. Hal ini sesuai dengan idiom yang diucapkan oleh ilmuwan terhebat abad XX Albert Einstein yaitu “Imajinasi lebih penting daripada pengetahuan”.
Dengan imajinasi, siswa mampu memahami materi pelajaran dengan melibatkan pengalaman, kreasi, dan inovasinya. Hal ini sangat penting dalam memahami sebuah materi pelajaran. Setelah menguasai materi, ia akan tergoda untuk meniru dan membuat kreasi baru dari pengetahuan yang dicernanya.
Setelah menguasai beragam peranti lunak untuk mengembangkan bahan ajar, guru juga harus menguasai penggunaan media komunikasi dan informasi terkini (update). Ia juga dituntut mampu menggunakan seluruh multimedia dan mengolaborasikannya ke dalam relasi guru-siswa yang interaktif.
Guru, misalnya, menggunakan media sosial Facebook, Twitter, dan Whatsapp dalam menjalin komunikasi dengan siswa secara intens, termasuk mengunggah materi pelajaran dan soal-soal ujian. Ia memanfaatkan Instagram dan Youtube dalam menyampaikan bahan ajar berbentuk video dan videografis.
3. Kompetensi guru
Dalam buku Matematika Detik; Inspirasi, Fondasi, dan Garis Besar (PT. Aksarra Sinergi Media, 2017), Ahmad Thoha Faz menyebutkan tiga kompetensi inti utama yang harus dikuasai guru di era digital. Kompetensi ini akan selalu berhadap-hadapan dengan keunggulan internet dalam melayani pengelolaan informasi.
Pertama, menguasai materi yang akan diajarkan. Guru yang tidak menguasai materi pelajaran akan mengalami nasib buruk jika siswa telah menguasainya lebih dulu melalui internet. Ia pun akan bersaing sekuat tenaga dengan mesin pencari Google dan Youtube jika memosisikan diri hanya sebagai penyedia informasi.
Maka, yang harus dilakukan guru adalah memosisikan diri sebagai pencipta informasi. Penciptaan informasi dilakukan dengan memilih dan mengolah informasi yang ada menjadi sesuatu yang lebih menarik dan unik. Ia pun dapat mengombinasikan informasi yang beredar dengan pengalamannya. Kombinasi informasi yang sudah ada dan pengalaman pribadi menawarkan pengetahuan yang lebih personal dan dekat dengan siswa.
Kedua, pandai memotivasi dan mengetahui cara menyampaikan pengetahuan. Guru berperan sebagai motivator dan komunikator. Kedua peran ini harus melekat dalam diri guru. Jika guru hanya memainkan peran sebagai komunikator, maka ia harus bersaing dengan multimedia interaktif seperti telepon seluler (ponsel) dan Youtube. Ponsel dan Youtube menawarkan pengalaman interaktif yang menakjubkan, memberi pengalaman istimewa kepada semua pengaksesnya (termasuk siswa) saat menggunakannya.
Hanya peran motivator yang tidak dapat tergantikan oleh perangkat teknologi manapun. Motivasi terkait dengan sentuhan hati, sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh teknologi. Sentuhan motivasi personal selalu lebih kuat daripada fasilitasi produk.
Ketiga, bagaimana berpikir dan mencipta. Dengan berpikir dan mencipta, guru mampu berpikir berbeda, suatu kemampuan yang tidak dimiliki teknologi digital. Kemampuan berpikir dan berimajinasi membuat manusia memiliki inisiatif, orisinalitas, dan kreativitas.
Teknologi, dengan berbagai perkembangan dan kemajuan yang senantiasa meningkat cepat, menjadi tantangan tersendiri bagi eksistensi guru. Jika ketiga hal di atas mampu dikuasai dan dipraktikkan, teknologi tidak dapat menggantikan peran guru.
4. Kelebihan dan kelemahan
E-learning, menurut Bryn Holmes dan John Gardner (2011), menawarkan kesempatan baru bagi guru dan siswa untuk memperkaya pengalaman belajar dan mengajar mereka melalui lingkungan virtual. Kondisi ini tidak hanya mendukung pengiriman informasi secara lebih cepat, namun juga eksplorasi dan penerapan informasi.
Eksplorasi lebih jauh terhadap e-learning, menurut Holmes dan Gardner, tidak lebih dari kombinasi dan pemusatan berbagai fitur dari teknologi informasi dan komunikasi digital, seperti siaran langsung, telekomunikasi audio dan video bergerak, gambar grafik tiga dimensi, e-mail, laman, dan perangkat teknologi berbasis antarmuka. Semuanya bisa didesain untuk mendukung, membuat, dan mengirimkan pengalaman dan lingkungan pendidikan yang penting.
E-learning menawarkan situasi tak terbatas ruang dan waktu untuk menjalin interaksi. Kapan dan di manapun berada, guru dan siswa dapat berkomunikasi dan menjalankan aktivitas pembelajaran.
Kelebihan lain e-learning yaitu memberi kesempatan kepada siswa untuk memahami sebuah materi sesuai dengan ritme belajarnya (Khan, 2013). Tidak semua siswa dapat belajar dalam suasana ruang kelas. Ide-ide kreatif dan infovatif, pada sebagian besar orang, justru muncul ketika hati dan pikirannya berada dalam suasana yang menyenangkan; tempat sepi atau sendiri. Siswa dapat mengakses sumber belajar, misalnya, dalam suasana penuh keharuan setelah menonton kesebelasan sepak bola kesayangannya menjuarai turnamen.
Kelemahan e-learning biasanya ditujukan pada kurangnya interaksi tatap muka antara guru dan siswa. Dalam usia remaja, siswa masih membutuhkan bimbingan langsung melalui kedekatan fisik. Tatap muka dapat menumbuhkan rasa dekat antara guru dan siswa.
Terlebih e-learning tidak menjamin siswa mampu memahami makna materi yang didapatnya. Secara psikologis, siswa dapat memahami makna dengan mudah jika berhadapan langsung dengan guru.
Untuk menjawab kritik tersebut, kegiatan pembelajaran e-learning diatasi dengan melakukan kombinasi dalam kegiatan belajar mengajar. Guru dapat mengatur jadwal tatap muka dan pembelajaran jarak jauh secara seimbang.
B. LITERASI DIGITAL
1. Pengertian
Peringatan Hari Literasi Internasional tahun 2017 yang dipusatkan di Paris, Prancis, pada 8 September 2017, mengangkat tema “Literasi dalam Dunia Digital.” Peringatan bertujuan untuk melihat jenis keterampilan literasi yang dibutuhkan orang untuk mengarahkan masyarakat yang dimediasi secara digital. Selain itu, untuk mengeksplorasi kebijakan dan program literasi yang efektif yang dapat memanfaatkan peluang yang diberikan dunia digital.
Menurut Irina Bokova, Direktur Jenderal UNESCO, untuk benar-benar memberdayakan, teknologi baru harus berdiri di atas dua pilar. Pertama, mereka harus inklusif, menjembatani kesenjangan, tidak memperdalamnya. Kedua, mereka harus didukung dengan menghormati hak asasi manusia dan martabat. Semua ini memunculkan pertanyaan baru tentang makna melek huruf saat ini.
Terpilihnya literasi digital sebagai tema peringatan mengindikasikan bahwa literasi digital memegang porsi istimewa di antara kelima literasi lainnya (baca-tulis, numerasi, sains, finansial, budaya dan kewargaan). Keistimewaan tersebut berkaitan erat dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang pesat dan mampu merevolusi kehidupan banyak kalangan.
Dalam buku Materi Pendukung Literasi Digital (Rulli Nasrullah, dkk., 2017), literasi digital diartikan sebagai pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media digital, alat-alat komunikasi, atau jaringan dalam menemukan, mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi, dan memanfaatkannya secara sehat, bijak, cerdas, cermat, tepat, dan patuh hukum dalam rangka membina komunikasi dan interaksi dalam kehidupan sehari-hari.
Literasi digital merupakan kecakapan yang tidak sekadar menekankan kemampuan menguasai perangkat teknologi, informasi, dan komunikasi, melainkan juga menekankan kemampuan bersosialisasi, pembelajaran, memiliki sikap, berpikir kritis, kreatif, serta inspiratif.
2. Prinsip dasar
Ada empat prinsip dasar pengembangan literasi digital (Rulli Nasrullah, dkk., 2017), yaitu:
a. Pemahaman
Pemahaman sederhana meliputi kemampuan untuk mengestrak ide secara implisit dan eksplisit dari media.
b. Saling ketergantungan
Saling ketergantungan dimaknai bagaimana suatu bentuk media berhubungan dengan yang lain secara potensi, metaforis, ideal, dan harfiah.
c. Faktor sosial
Berbagi tidak sekadar sarana untuk menunjukkan identitas pribadi atau distribusi informasi, tetapi juga dapat membuat pesan tersendiri.
d. Kurasi
Kemampuan untuk memahami nilai dari sebuah informasi dan menyimpannya agar lebih mudah diakses dan dapat bermanfaat jangka panjang.
Pendekatan yang dilakukan mencakup dua aspek, yaitu pendekatan konseptual dan operasional. Fokus pendekatan konseptual pada aspek perkembangan kognitif dan sosial emosional. Sedangkan fokus pendekatan operasional pada kemampuan teknis penggunaan media itu sendiri yang tidak dapat diabaikan.
Menurut Mayes dan Fowler dalam Rullie Nasrullah dkk. (2017), prinsip pengembangan literasi digital bersifat berjenjang. Pertama, kompetensi digital yang meliputi keterampilan, konsep, pendekatan, dan perilaku. Kedua, penggunaan digital yang merujuk pada pengaplikasian kompetensi digital yang berhubungan dengn konteks tertentu. Ketiga, transformasi digital yang membutuhkan kreativitas dan inovasi pada dunia digital.
C. Integrasi e-learning dan literasi digital
Penjabaran mengenai e-learning dan literasi digital di atas mengungkapkan batas area keduanya. E-learning menekankan optimalisasi semua perangkat teknologi komunikasi dan informasi dalam mendukung kegiatan belajar mengajar. Kegiatan pembelajaran dipandang berhasil jika seluruh perangkat digunakan secara efektif dan efisien, siswa pun paham dengan materi yang disampaikan. Sementara cakupan literasi digital menjangkau aspek pemahaman siswa terhadap etika dan pemanfaatan informasi secara cerdas dan bijak. Integrasi e-learning dan literasi digital dalam kegiatan pembelajaran kini menjadi sesuatu yang sangat penting untuk diterapkan di semua sekolah di negeri ini.
Pengembangan literasi digital di sekolah dilakukan sebagai mekanisme pembelajaran terintegrasi dalam kurikulum atau setidaknya terkoneksi dengan sistem belajar mengajar (Rulli Nasullah, dkk., 2017). Keterampilan siswa dalam penguasaan perangkat teknologi ditingkatkan. Keterampilan guru dalam pengajaran literasi digital juga perlu ditingkatkan dari aspek pengetahuan dan kreativitas. Kepala sekolah pun perlu memfasilitasi guru atau tenaga kependidikan dalam mengembangkan budaya literasi digital sekolah.
Satu hal yang perlu ditekankan bahwa integrasi e-learning dan literasi digital dalam kegiatan pembelajaran mencakup semua mata pelajaran. Terlebih, tujuan penghapusan mata pelajaran TIK oleh pemerintah belum lama ini adalah agar TIK diterapkan dalam semua mata pelajaran untuk mendukung kegiatan pembelajaran.
Berikut ini strategi pembelajaran literasi digital yang dapat diterapkan di sekolah:
1) Pembuatan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
Selain mengacu pada Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar sesuai tuntunan kurikulum, RPP didesain sedemikian rupa dengan tujuan untuk menciptakan suasana belajar mengajar yang menyenangkan. Hindari ceramah, utamakan interaksi. Selama jam pelajaran, siswa dikondisikan menggunakan berbagai sumber belajar untuk memahami sebuah materi pelajaran. Sumber belajar itu antara lain internet, buku di sudut baca kelas, perpustakaan, dan observasi (pengamatan).
2) Optimalkan 4C (critical thinking, creative, communication, collaborative)
Semua materi pembelajaran didesain agar siswa mengoptimalkan pikiran kritis, kreatif, komunikatif, dan kolaboratif. Kritis artinya siswa mampu mengkritisi beragam hal seputar materi pelajaran. Kreatif artinya siswa mampu memanfaatkan sumber daya di sekelilingnya untuk mencapai tujuan tertentu. Komunikatif artinya siswa mampu mengomunikasikan isi pikirannya kepada orang lain secara cermat. Kolaboratif artinya siswa mampu memadukan beragam sumber daya di sekitarnya, baik dalam bentuk ide maupun aktivitas, untuk mencapai tujuan tertentu.
3) Optimalisasi semua perangkat teknologi
Perangkat teknologi tidak sekadar digunakan sebagai alat untuk mengakses sumber informasi, melainkan juga dimanfaatkan siswa dan guru sebagai sumber atau produsen informasi. Dalam kegiatan di luar kelas, misalnya, guru berbagi informasi mengenai materi pelajaran yang diraihnya dari kegiatan observasi di lapangan. Ia dapat menggunakan fasilitas siaran langsung di Facebook atau videocall di Whatsapp untuk berbagi informasi secara real time. Atau mencatat dan mengirimkan temuannya ke grup Whatsapp. Foto-foto objek diunggah ke Instagram. Siswa dapat berinteraksi dengan memberikan komentar dan pertanyaan.
4) Pembelajaran berbasis proyek
Agar lebih memahami kondisi riil di masyarakat, siswa diberikan tugas dalam bentuk proyek kampanye. Akhir dari proyek adalah presentasi pencapaian di depan kelas. Tiap kelompok mengerjakan tugas dengan tema berbeda. Mereka didorong untuk memanfaatkan semua sumber belajar untuk mendukung konten kampanye dan menggunakan beragam media sebagai alat kampanye.
Salah satu tema kampanye adalah bahaya rokok bagi kesehatan. Satu kelompok mengekplorasi materi yang terkait tema dengan mengakses internet, mendatangi perpustakaan, mewawancarai perokok dan bukan perokok, mewawancarai dokter, atau observasi ke lapangan.
Setelah semua bahan terkumpul, materi kampanye didesain dalam bentuk infografis atau videografis, tergantung media yang digunakan. Media dapat berupa tulisan di blog pribadi, pengiriman artikel ke media berita daring dan luring, video di Youtube dan Facebook, galeri foto di Instagram, dll.
5) Tujuan pembelajaran adalah kesenangan
Semua aktivitas pembelajaran bertujuan untuk menciptakan kesenangan dalam diri siswa. Jika mereka senang, maka semua kegiatan pembelajaran akan diikuti dengan penuh perhatian. Kemampuan mencerna pengetahuan juga akan meningkat. Maka guru harus memahami kondisi psikologi siswa sepanjang kegiatan pembelajaran. Guru dapat melakukan kegiatan bersama seperti bermain musik, stand up comedy, atau bernyanyi bersama untuk mencairkan suasana.
Kegiatan belajar mengajar dengan mengintegrasikan e-learning dan literasi digital akan lebih kaya dengan adanya kreasi dan inovasi guru. Siswa pun terbuka mengemukakan pendapat mengenai kegiatan pembelajaran yang disukainya.
BAB III
Kesimpulan dan Saran
Kualitas sekolah tidak dinilai dari perangkat teknologi yang digunakan. Pendidikan menjadi berkualitas karena ditangani oleh guru yang kreatif, inovatif, dan terbuka pada perubahan. Timothy D. Walker, dalam bukunya Teach Like Finland, Mengajar Seperti Finlandia; 33 Strategi Sederhana untuk Kelas yang Menyenangkan (Noura Books, 2017), mengungkap bahwa sekolah-sekolah di Finlandia tidak menggunakan perangkat teknologi tercanggih dalam mendukung kegiatan belajar mengajar.
Finlandia yang dikenal memiliki sistem pendidikan terbaik di dunia, selama bertahun-tahun menunjukkan bahwa siswa dapat menguasai konten dan keterampilan penting tanpa perlu membeli gawai dengan teknologi terbaru. Jika ingin mengajarkan sebuah penguasaan, kata Walker, hendaknya meletakkan teknologi di tempatnya yang tepat sebagai alat pembelajaran.
Guru di sekolah yang dikunjungi Walker menggunakan kamera dokumentasi dalam pembelajaran di kelas. Kamera tersebut digunakan guru untuk menjelaskan materi pelajaran. Siswa juga dipersilakan menggunakannya untuk menjelaskan argumentasi dan solusi atas materi yang sedang dibahas.
A. Kesimpulan
Ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian di atas:
1. Melihat kondisi masyarakat yang diserbu jutaan informasi setiap hari, integrasi pembelajaran berbasis e-learning menjadi keharusan. Hal ini untuk menyiapkan siswa agar siap menghadapi lingkungan tidak kondusif di masyakarat.
2. Guru harus menjadi teladan bagi pembelajaran e-learning dan literasi digital di sekolah. Dengan demikian, siswa dapat dengan mudah meniru dan meneladaninya.
3. Integrasi e-learning dan literasi digital diterapkan pada semua mata pelajaran. Tidak ada mata pelajaran yang lebih istimewa dibandingkan pelajaran lain.
4. Kunci utama keberhasilan dalam pendidikan adalah kebahagiaan siswa. Maka seluruh kegiatan pembelajaran sedianya diarahkan untuk mencapai ke arah sana.
B. Saran
Penulisan makalah ini belum sempurna. Perlu banyak referensi pendukung tema untuk dieksplorasi dan dituliskan. Maka penulis mengharapkan saran dan kritik demi keutuhan tema makalah ini.
Daftar Pustaka
Antoro, Billy. 2017. Gerakan Literasi Sekolah, Dari Pucuk Hingga Akar; Sebuah Refleksi. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud.
Asmani, Jamal Ma’mur. 2011. Tips Efektif Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Dunia Pendidikan. Yogyakarta: DIVA Press.
Faz, Ahmad Thoha. 2017. Matematika Detik; Inspirasi, Fondasi, dan Garis Besar. Surakarta: PT. Aksarra Sinergi Media.
Holmes, Bryn & Gardner, John. 2011. E-Learning, Concepts and Practise. London: Sage Publication.
Khan, Salman. 2013. The One World Schoolhouse, Pendidikan Kelas Dunia untuk Siapapun dan di Manapun. Jakarta: Noura Books.
Nasrullah, Rullie, dkk. 2017. Materi Pendukung Literasi Digital. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Walker, Timothy D. 2017. Teach Like Finland, Mengajar Seperti Finlandia; 33 Strategi Sederhana untuk Kelas yang Menyenangkan. Jakarta: Grasindo.
Internet
https://en.unesco.org/themes/literacy-all/literacy-day
(Diakses tanggal 21 Desember 2017)
https://en.unesco.org/news/rethinking-literacy-skills-digital-world
(Diakses tanggal 21 Desember 2017)
Keterangan:
Artikel di atas merupakan makalah saya (Billy Antoro) yang diajukan untuk Ujian Akhir Semester mata kuliah Teknologi Informasi dan Komunikasi, S-2 Pendidikan Bahasa Universitas Negeri Jakarta. Mata kuliah diampu oleh Dr. Murni Winarsih.
Leave a Reply