Spread the love

Sudah dibaca 1580 kali

Percayalah, di jalan raya, kecelakaan terjadi bukan hanya lantaran kesalahan sendiri. Seringkali kesalahan orang lain jadi penyebab kita celaka.

Itu yang terjadi pada saya di Ahad pagi 26 September 2010. Saya hendak menghadiri silaturahmi Forum Lingkar Pena Wilayah Jakarta Raya di anjungan Kalimantan Timur Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Saya membayangkan para aktivis FLP Cabang DKI Jakarta, FLP Cabang Bekasi, FLP Cabang Depok, FLP Cabang Ciputat, FLP Cabang Bogor, sejumlah pengurus FLP Pusat, dan, tentu saja, pengurus FLP Wilayah Jakarta Raya, bertemu, berdiskusi, dan berbagi ihwal kegiatan FLP ke depan. Pastilah ramai seperti acara-acara sebelumnya.

Dari rumah orangtua di Duren Sawit, Jakarta Timur, saya memacu motor dengan kecepatan sedang. Sebelumnya mampir ke toko roti di kawasan Pondok Bambu. Lewat Jalan Raya Jatiwaringin, memasuki Jalan Pondok Gede Raya, lajur kanan jalan dari arah TMII ke Pondok Gede macet. Sedangkan lajur kiri, yaitu jalan yang saya lewati, longgar sekali.

Saya memacu motor dengan kecepatan tinggi. Sebab harus mengejar waktu acara di TMII yang sudah mepet—acara di mulai pukul 09.00 WIB. Ketika saya melintas tepat di depan Asrama Haji Pondok Gede, dari arah kanan tiba-tiba sebuah motor muncul dari balik mobil yang berhenti antre macet. Motor langsung memotong jalan secara penuh lalu melaju di depan saya.

Saat melihat motor memotong jalan itulah spontan saya kaget. Mendadak saya injak rem. Kemudian kecelakaan itu terjadi. Motor jatuh ke sebelah kanan dan menyeret tubuh saya beberapa meter.

Kaki dan tangan kiri saya terasa sakit ketika motor tak lagi bergerak. Saya segera menarik kaki kiri yang tergencet badan motor. Nyeri cepat menyebar ke sekujur tubuh. Lutut kiri paling parah. Celana panjang hitam di bagian lutut sobek. Dua sarung tangan bagian telapak tangan ikut sobek. Jaket dan celana kotor sekali.

Beruntung orang-orang sekitar segera menolong saya. Ada yang membantu saya berdiri, ada juga yang menarik motor ke pinggir jalan. Untuk beberapa lama tak ada kendaraan melintas di belakang saya.

Sembari berusaha melepas helm, kacamata hitam, masker, dan sarung tangan, saya ditanya seorang bapak kenapa saya bisa jatuh. Saya ceritakan seadanya. “Kalau tidak saya rem, orang itu bisa tertabrak, Pak,” ujar saya.

Menyadari luka dan pakaian kotor, saya segera mencari air. Seorang montir bengkel berbaik hati menyalakan kran dan saya membasuh luka dengan air kran. Saat membasuh luka saya sempat berpikir untuk meneruskan perjalanan ke TMII. Namun kondisi tubuh menolaknya. Sebagian tubuh luka, apa kuat berlama-lama di sana? Bukankah luka butuh pengobatan cepat? Pakaian kotor dan sobek, kalau mau shalat, apa layak? Apa tidak malu berkumpul dengan pakaian kotor? Maka ahirnya saya memutuskan tak meneruskan niat itu.

Menahan nyeri tubuh, dengan kaki agak pincang, saya mencari warung. Ingin beli obat merah. Orang-orang tadi seakan lenyap begitu saja.

Tak ada warung yang jual obat merah. Juga betadine. Apotek dekat situ belum buka. Tak apalah plester yang ada. Seribu rupiah dapat tiga plester. Luka lutut saya tutup plester walau tak menutupi semua permukaannya.

Barulah saya menelepon teman dan kirim pesan singkat lewat telepon seluler ke beberapa orang. Pesannya, saya tak bisa datang lantaran jatuh dari motor.

 

Untunglah motor keluaran 2007 itu tak rusak parah. Hanya goresan agak dalam dekat kaca sebelah kiri. Saya menduga ini terjadi karena tubuh saya menopang motor. Saya kembali pulang dengan luka dan nyeri di sekujur badan. Dalam hati saya menghujat, jika pengendara motor sialan tadi mendekat, saya habisi ia dengan caci maki.

 

Hikmah

Seperti biasa saya selalu mencari hikmah di balik kejadian. Yang kali pertama terpikir barangkali saya kurang beramal. Lalu ngebut. Ya, ngebut bagi saya sebuah kenikmatan. Tapi percayalah saya ngebut dengan sangat hati-hati mempertimbangkan keamanan; tidak melanggar lalu lintas, mendahului dengan jaga jarak aman, dan sebisa mungkin tak melakukan kesalahan kecil. Jadi, dengan kejadian ini, saya tak boleh ngebut lagi. Tidak, ngebut boleh asal sangat hati-hati. Ya, hati-hati terhadap kesalahan yang dilakukan orang lain.

Saya yakin pengendara sialan itu yang salah. Kalau dia tidak nyelonong, saya tidak seperti ini. Dan, sebenarnya, kesalahan seperti itu banyak terjadi; nyelonong belok di simpangan tanpa melihat kendaraan lain di dekatnya.

Hikmah ketiga sebagaimana yang sudah ditulis di awal cerita: kecelakaan tak melulu diakibatkan oleh kesalahan sendiri, melainkan kesalahan orang lain dapat mencelakakan kita.

Jika kita amati perilaku pengendara, baik roda dua, tiga, maupun empat, pelanggaran lalu lintas selalu terjadi. Jalan ketika lampu merah menyala. Berhenti di area zebra cross sehingga pejalan kaki susah lewat. Belok di persimpangan jalan tanpa melihat pengendara yang melintas di jalur lurus. Menggunakan trotoar.

Perilaku lain yang menyebalkan adalah ngebut dengan motor yang suara knalpotnya melengking keras dan berasap tebal. Pastilah kepedulian orang itu pada kenyamanan orang lain sangat tipis.

Perilaku keseharian ini pada satu titik tergolong primitif. Pernah di satu perempatan jalan, saat puasa Ramadhan, kemacetan membuat banyak pengendara motor berbalik arah. Persoalannya bukan karena lampu lalu lintas mati. Justru perilaku bodoh para pengendaralah penyebabnya.

Saat lampu merah menyala, sebagian pengendara tak menghiraukannya. Jalan terus. Sementara di bagian lain di mana lampu hijau menyala, para pengendara melajukan kendaraannya. Akhirnya macet di tengah perempatan jalan. Tak ada yang mau mengalah. Tak ada lagi yang peduli pada lampu lalu lintas. Setelah lampu hijau berganti sepuluh kali, saya kemudian malas menghitungnya. Buka puasapun terpaksa di tengah jalan.

Maka cara aman berkendara, selain memastikan perlengkapan berkendara (helm, sarung tangan, masker) digunakan dengan baik, juga peka terhadap kesalahan pengendara lain. Kadang kita bisa beranggapan bahwa orang sengaja berbuat salah namun tidak menyadari perbuatannya dapat mencelakakan orang lain.

Begitulah. Di jalan pun kita bisa mengetahui sifat dan karakter orang-orang. Tinggal kita  memilih mana yang baik dan mana yang buruk.

 

 

Duren Sawit. 1 Oktober 2010.