Kesadaran yang Datang Belakangan
Sudah dibaca 692 kali
Saya pekerja dengan gaji yang tidak mencukupi untuk biaya rutin bulanan selama 10 tahun lebih, sampai sekarang. Saya harus bekerja lebih keras untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Pertanyaan ini selalu mengganggu pikiran: sampai kapan ini berakhir?
Pertanyaan itu bahkan belum berhasil dijawab sampai sekarang. Terus menggantung dan suatu saat akan mencekik leher saya. Butuh jawaban segera dalam proses yang sayangnya belum bisa diprediksi kapan selesai. Mungkin tidak akan pernah selesai.
Saya tidak mau bekerja sekeras sekarang saat masuk usia pensiun. Faktor umur mengurangi kemampuan fisik yang bisa digunakan sekarang: begadang, berjam-jam di depan laptop/komputer, naik motor puluhan kilometer, dan tidak tidur seharian.
Saat istri mengandung anak ke-2, juga saat anak itu lahir, saya berkata pada diri sendiri dan istri: saya akan bekerja lebih keras. Itu saja yang ada dalam pikiran saya. Bekerja lebih keras akan mendatangkan lebih banyak uang.
Kenyataannya, saya masih harus bekerja lebih keras tiap hari, dengan gaji yang tak pernah mencukupi kebutuhan bulanan, dan penghasilan tambahan yang naik-turun. Nasib atau takdirkah ini?
Saya dan istri sempat berpikir untuk membuat perencanaan keuangan bersama. Ya, saya orang yang payah soal ini. Kasarnya: saya tidak pernah membuat perencanaan keuangan. Bahkan saya tidak pernah merekapitulasi pendapatan dan pengeluaran selama sebulan. Pernah melakukannya tetapi hanya berjalan setengah bulan karena setengah bulannya lagi saya lupa melakukannya. Kebiasaan berjaya dalam hal ini.
Setelah dihitung antara pengeluaran dan pendapatan, ternyata pendapatan masih jauh di bawah pengeluaran. Kami sepakat bahwa perencanaan keuangan tidak bisa dibuat dalam kondisi pendapatan yang kekurangan. Sepertinya ini asumsi keliru.
Kali kedua kami membuat perencanaan keuangan, kembali gagal karena kondisi di atas masih kami alami. Terutama saat saya mengajak istri menonton bioskop dan ia menolak dengan berkata: uang tidak cukup! Akhirnya, dengan pikiran egois, saya menolak perencanaan keuangan apapun yang melarang kegiatan menonton bioskop.
Baca juga: Bagaimana Agar Nasib Kita Tidak Menimpa Anak Kita?
Sampai di sini kami sepakat untuk tidak membuat perencanaan keuangan selama pendapatan saya tidak lebih besar dari pengeluaran. Saya terus bekerja keras; pulang malam selesaikan pekerjaan kantor, apapun bentuk kegiatan diambil dengan harapan ada honornya. Hingga suatu ketika kantor menghadirkan pakar perencana keuangan Safir Senduk dalam sebuah diskusi daring.
Senduk bicara banyak hal. Sangat motivatif. Investasi. Saham. Reksa dana. Pendapatan. Pengeluaran. Penghematan. Banyak lagi. Saya tercengang. Saya dapat kesempatan bertanya. Pertanyaan ini mewakili kondisi Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri (PPNPN) yang mayoritas mengikuti diskusi daring itu.
Pertanyaan saya: apa yang harus dilakukan pegawai yang gajinya tidak mencukupi pengeluaran rutin bulanan dan mengandalkan pendapatan tambahan dari kegiatan kantor? Saran untuk melakukan investasi seperti beli saham, beli rumah, atau simpan emas tentu jauh dari opsinya. Ia menjawab: cari pekerjaan tambahan di luar jam kantor yang tidak conflict of interest. Rasanya jawaban itu seperti terdengar: Anda harus bekerja lebih keras lagi.
Setelah acara itu saya masih menggunakan formula lama: kerja lebih keras lagi. Pertanyaan “Sampai kapan ini berakhir” masih mengekor di belakang.
Sampai di sini, mungkin kamu hendak berkata, “Sabar, syukuri saja pemberian Tuhan, jangan banyak mengeluh, perbanyak sedekah, berhematlah, lihatlah masih banyak orang yang lebih susah darimu, perbanyak silaturahmi, perluas jaringan pertemanan.” Kalau ya, saya ingin bilang, “Jangan nasihati saya dengan formula itu. Saya sudah lama menjalaninya. Bisa bertahan hidup seperti sekarang saya yakini karena saya menjalani nasihat-nasihat itu.”
Saya merasa kesadaran itu datang saat mengalami sakit COVID-19 pada akhir Juni hingga pertengahan Juli 2021 lalu. Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Jangankan berbuat sesuatu, berkata dan berpikir saja rasanya sulit. Timbul kekhawatiran kalau saya meninggal apa jadinya anak dan istri saya. Tak ada warisan yang bisa dinikmati mereka (alhamdulillah, tidak ada utang yang saya wariskan).
Saat itu saya merenung, haruskah saya berputus asa? Haruskah saya menyerah pada kondisi ini? Saya membayangkan jutaan orang di PHK, sebagian besar pekerja sektor informal berjuang di jalan-jalan sembari berhati-hati dari intaian virus Corona. Sementara saya tidak perlu keluar rumah, cukup fokus pada penyembuhan, dan tetap menerima gaji di akhir bulan. Saya masih beruntung daripada mereka. Saya masih harus bersyukur kepada Tuhan.
Banyak berbaring di tempat tidur tidak membuat otak saya berhenti berpikir. Bahkan disela membaca buku, perenungan itu masih berlanjut. Tentang “Saya harus bekerja lebih keras” dan “Sampai kapan ini berakhir”. Saya tiba-tiba menyadari sesuatu: saya perlu cari tahu solusi dari persoalan saya. Cari informasi!
Saya kemudian mencari buku yang sekiranya bisa menjawab dua pertanyaan menyebalkan itu melalui internet. Dapatlah buku Rich Dad Poor Dad karya Robert T. Kiyosaki. Ini buku bagus yang memberi tahu kita dasar-dasar atau fondasi mengenai keuangan. Ia mendorong kita untuk cerdas mengelola keuangan. Saya menerima apapun sentilannya kepada orang miskin dan kelas menengah seperti saya. Sampai saya pada kalimat Kiyosaki, “Pengetahuan adalah kekuatan.”
Baca juga: Apa yang Kita Dapatkan dari Sekolah?
Saya tersadar, sejak dulu pengetahuan menjadi kekuatan saya untuk bergerak dan membuat perubahan (dalam pikiran dan diri saya). Saya perlu cari tahu sesuatu. Dalam konteks persoalan keuangan yang saya alami, saya harus cari tahu bagaimana keluar dari kondisi yang saya alami selama ini, minimal mencari jawaban atas dua pertanyaan menyebalkan itu. Tidak boleh menyerah!
Sampai di sini mungkin kamu berpikir kalau kondisi itu, yang saya sebut kesadaran, adalah hal sepele. Mungkin kamu benar. Tapi bagi saya, itu hal besar. Kesadaran ini mendorong saya untuk mencari banyak pengetahuan baru dari pakar dan ahli keuangan. Kesadaran ini mendorong saya agar terus belajar dan melatih kemampuan baru. Kesadaran ini memberikan saya semangat dan keberanian untuk melakukan hal-hal baru yang bahkan belum terpikirkan saat ini.
Namun saya masih harus menjawab dua pertanyaan itu. Kita semua tahu, kesadaran tidak cukup untuk membuat perubahan. Perlu aksi dan kerja keras untuk mencapainya.
Kunciran, Tangerang, 22 Juli 2021
Leave a Reply