Spread the love

Sudah dibaca 1642 kali

Malam merambat perlahan di atas langit Senayan, Jakarta Pusat, pada Senin yang mendung 15 Maret 2010. Di salah satu pojok ‘warung kopi’ di dalam sebuah plaza, seorang pelayan meletakkan tiga cangkir berisi kopi di atas meja. Cangkir satu berukuran kecil. Seperti cangkir jamu. Isinya seteguk intisari kopi yang khasiatnya mampu membuat mata melek berjam-jam. Dua cangkir lainnya berukuran besar. Satu cangkir kopi susu Cappuchino. Satu lagu Cappuchino hitam.

Sesaat kami bertiga adu pandang. Tak lama kemudian tawa meledak. Setengah tak percaya, kami menertawakan ukuran jumbo cangkir kopi itu. “Minum tuh sop kopi!” sindir teman pemilik cangkir mini.

Ini kali kedua kami minum di ‘warung kopi’ elit itu. Dua pengalaman yang sama-sama membawa kami pada upaya menertawakan diri sendiri.

Pada kesempatan pertama, saya sempat jengkel pada sang pelayan. Saya lupa nama persis kopi yang saya pesan saat itu—semua namanya memakai bahasa Inggris. Namanya agak panjang, yang teringat Cappuchino Blended.

“Kopi ini seperti apa?” tanya saya.

“Oh ini Coffe Blended, Pak!” jawab pelayan.

“Iya, maksudnya apa? Kopinya diapakan?”

“Ini kopi di blended, Pak!”

Saya memahami ‘blended’ artinya dicampur, diblender. “Iya, saya tahu blended, tapi yang dimaksud Coffe Blended apa?” Saya hanya ingin mendengar dari mulutnya penjelasan tentang makhluk asing itu.

“Ya kopi di blended!”

Ampun, deh. Saya berpikir, yang bodoh saya atau dia? Ketika orang bertanya apakah jus alpukat, saya akan menjawab sejenis minuman dari buah alpukat yang diolah dengan blender. Biji dan kulitnya dibuang. Biasanya dicampur susu dan disajikan dalam gelas.

Tapi sudahlah, saya tak mau berdebat panjang. Matanya keburu mengantuk. Saya dan seorang teman memesan jenis kopi yang sama, sementara teman satu lagi kopi bercangkir mini.

Pelayan datang dengan secangkir kopi mini dan dua gelas kopi dingin! Berdua kami mengeluh, “Lho, kok kopinya dingin?” Sebelumnya kami memang tidak bilang pada pelayan apakah memesan kopi panas atau dingin. Sebab kami berpikir di mana-mana tukang kopi menyajikan kopi panas. Lagi pula kenapa pelayannya tidak inisiatif bertanya kalau di warungnya tersedia dua ‘musim’ kopi.  Dan malam itu kami menikmati kopi dingin sambil memancangkan tekad: besok-besok, kalau mau ngopi, pastikan kopi yang dipesan panas!

Dan kemarin malam, sebelum duduk menunggu antaran kopi, kami berkata mantap, “Kopinya panas ya, Mbak! Hot!” Lengkap kami menyebutkannya dengan dua versi bahasa. Walau memang kopi panas yang kami seruput, namun ukuran cangkir yang menutup pandangan ke depan saat minum membuat kami sulit menghentikan tawa.

 

DARI dulu mulai kuliah saya tidak terlalu sering minum kopi. Saya hanya minum kopi susu instan—saya tak suka kopi hitam—ketika sedang digelar diskusi. Itu pun minumnya ramai-ramai: segelas kopi disuguhkan ke tengah peserta diskusi, kemudian sejumlah peserta diskusi menyeruput kopi dari gelas yang sama. Saya sendiri suka menambahkan banyak air pada kopi dengan satu tujuan: biar lama habisnya.

Sebulan setelah diwisuda, saya bekerja di sebuah majalah sebagai reporter. Redaktur saya ternyata kopi maniak. Satu-dua jam setelah kopi instannya ludes, ia akan mengaduk lagi secangkir kopi dengan air panas dari dispenser. Terlebih jika deadline mencekik di suasana siang yang menggoda kelopak mata untuk mengatup. Semua personel redaksi akan sibuk mengaduk kopi di depan komputer.

Saya tergoda untuk larut dalam suasana itu. Terlebih ia dan personel lain tak sungkan memberi saya sebungkus kopi instan. Memang kantuk tak bisa pula diajak kompromi.

Kebiasaan itu terbawa sampai saya pindah kerja di lain majalah. Siang yang panas, kantuk yang mendekap, jeritan sebungkus kopi di atas meja, dan office boy yang setia melayani. Kopi jadi teman terbaik saat pekerjaan tak bisa lagi ditunda-tunda. Itu pun berlaku jika lembur di malam hari.

Keluar dari kerja—lantaran redaksi majalah bubar—tak membuat kopi jauh dari seruputan lidah saya. Bahkan pekerjaan selanjutnya membutuhkan mata melek yang lama; begadang hingga pagi. Kopi selalu dan selalu menjadi teman setia.

Terakhir, bekerja ditempat sekarang, di depan komputer dalam sebuah ruangan, kopi kembali menjadi sahabat. Saat melakukan tugas-tugas lapangan pun, jika kantuk menyergap, kopi jadi solusi praktis untuk mengusirnya.

 

KEBANYAKAN orang yang bekerja di bidang penulisan, seperti wartawan dan penulis skenario, merupakan penikmat kopi. Malah, terkadang, kopi menjadi menu wajib mengalahkan nasi.

Saya punya seorang teman yang gila kopi. Ia penulis skenario yang tak kenal siang dan malam. Pekerjaannya menuntut kesigapan mata setiap saat. Bahkan ia bisa tidak tidur demi menyelesaikan pekerjaannya.

Mau tahu berapa takaran minum kopinya? Sehari ia minum minimal tujuh gelas kopi hitam kental ukuran besar! Melihatnya minum saya bergidik.

Saya juga punya beberapa teman perempuan pehobi kopi. Meskipun takarannya tidak sampai tujuh gelas, namun kopi telah menjadi menu wajib kesehariannya. Kopi, bagi mereka, kenikmatan dunia tiada duanya.

Beberapa teman bertanya pada saya, “Kamu suka kopi tapi kok tidak merokok?” Biasanya orang yang mengopi juga suka merokok. Saya memang suka kopi tapi tidak suka rokok. Bahkan, bagi tubuh saya, asap rokok adalah ancaman. Asap rokok dapat merusak organ-organ tubuh saya dan memicu sakit asma yang membuat saya merana.

Maka ketika mucul Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2005 tentang larangan merokok di tempat umum, saya senang sekali menyambutnya. Setidaknya saya mendapat jaminan akan terbebas dari cekikan asap rokok saat berada di rumah sakit, bus kota, gedung-gedung pemerintahan, dan tempat umum lainnya.

Tapi Perda itu impoten. Perokok bebas berkeliaran menebar asap rokok di mana pun mereka berada, tak peduli pada penderitaan orang-orang yang berada di dekatnya; penderita asma, penyakit pernapasan, ibu hamil, dll.

Berbeda dengan kopi. Berapa gelas pun Anda minum kopi, tak akan membuat orang didekat Anda menjauh lantaran terganggu. Kopi tak akan mengeluarkan asap apalagi polusi udara. Kopi hanya akan membuat orang-orang seperti saya tahan melek untuk menyelesaikan pekerjaan. Lebih dari itu, tidak.

 

 

Duren Sawit, Jakarta Timur. Selasa, 16 Maret 2010.