Spread the love

Sudah dibaca 1573 kali

Awalnya saya tertawa sendiri menyimak penggunaan sejumlah kata yang dilontarkan Vicky Prasetyo—mantan tunangan pedangdut Zaskia ‘Gotik’ Shinta yang sulit dimengerti banyak orang: banyak pejabat, artis, bahkan wartawan yang bicara bahasa Indonesia tidak sesuai aturan, tapi yang ini lebih parah! Lalu saya merasa miris dan berkata dalam hati, “Kok ada ya orang yang bisa bicara sebegitu ngaco tapi percaya diri?”

Belakangan, ketika saya berupaya menarik diri dari sikap mencaci hal-hal demikian, intuisi saya tiba-tiba tertarik pada kata-kata yang dilontarkan Vicky, di antaranya “kontroversi hati”, “konspirasi kemakmuran”, dan “labil ekonomi”. Atau kata “kudeta’ yang tiba-tiba mencelat ke dalam barisan kalimat yang tak banyak orang akan mengatakannya jika bicara satu topik tertentu selain terkait politik dan militer.

Ini seperti saya berusaha memahami ungkapan para penyair dalam bait-bait puisinya yang sering membuat kening berkerut: apa maksud kalimatnya? Dalam titik ini, antara penyair dan Vicky ada kesamaan: kata-katanya, oleh orang awam, sulit dimengerti. Di balik ketidakmengertian orang-orang awam, penyair mengerti apa maksud ungkapan dan kalimat yang dipilihnya. Begitupula Vicky.

Bukankah penyair sering keluar dari kaidah penggunaan bahasa?

Saya tidak menganggap Vicky sedang membaca puisi. Bukankah niatnya berkata-kata adalah cara komunikasi dia dengan khalayak? Tapi, ketika seorang penyair menggunakan kata “kontroversi hati”, “konspirasi kemakmuran”, dan “labil ekonomi” dalam puisinya, adakah orang-orang yang menggugatnya?  Saya rasa tidak. Sebab di balik frasa itu, mereka menyimpan makna yang, barangkali, hanya dia dan Tuhan yang tahu. Orang-orang, tanpa terpaksa, memakluminya.

Terus terang, saya tertarik dengan ungkapan-ungkapan Vicky itu, sama ketika saya tertarik untuk menguliti makna frasa-frasa yang disampaikan para penyair. Saya tertarik dengan segala eksperimen bahasa—walau saya yakin Vicky tidak sedang melakukan eksperimen bahasa.

Apa yang membuat saya tertarik dengan tiga frasa itu? Ya, saya tak pernah mendengar dan membaca dua kata itu menyatu. Sesuatu yang baru. Sesuatu yang tiba-tiba menggugah pikiran saya untuk mengungkap makna frasa-frasa itu. Perasaan yang juga muncul ketika saya membaca kata “api merendam”, “api menjilati”, atau “angin menulis” dari deretan larik puisi.

Apa yang Anda pikirkan ketika menemukan salah satu larik puisi mengandung frasa “kontroversi hati”, “konspirasi kemakmuran”, dan “labil ekonomi”? Atau apakah Anda memikirkan sesuatu yang lain ketika melewati etalase toko buku dan melihat judul buku dengan kata-kata itu?

Daripada terus mengurut dada mengeluhkan dia menggunakan bahasa, ada baiknya menyimak kata yang diucapkannya. Jangan-jangan, ada maksud Tuhan dibalik perkenan-Nya membiarkan Vicky mengutarakan kata-kata itu. Bukankah “kontroversi hati”, “konspirasi kemakmuran”, dan “labil ekonomi” cukup memikat untuk dimaknai?

Jakarta, 13 September 2013.