Membajak
Sudah dibaca 1451 kali
Seorang teman memuat sebuah resensi film berjudul Dead Poets Society dalam situs jejaring sosial Facebook dan mailing list. Film yang hebat dan inspiratif sepanjang masa, katanya. Film tentang kiprah seorang guru sastra di sebuah sekolah, diperankan oleh Robin Williams sebagai Mr. Keating, yang mampu mengubah cara berpikir siswanya dan mendobrak dogma tentang pendidikan di sekolah.
Seperti biasa, tulisan itu mengundang ketertarikan sejumlah orang. Banyak yang ingin menonton film itu. Beberapa yang sudah menonton menuliskan ketakjubannnya. Makin menambah penasaran saja bagi yang belum menonton.
Saya juga lupa tahun berapa film itu dirilis. Yang pasti sudah lama. Dicari di tempat penyewaan VCD pun rasanya seperti mencari jarum di tumpukan jerami.
Tapi saya pernah menikmati Dead Poets Society beberapa tahun lalu. Mengeluarkan air mata pada beberapa adegan mengharukan. Dulu, waktu masih bergelut dengan buku-buku kuliah. Novelnya pun saya punya.
Lantaran film bagus, saya menyalinnya ke dalam bentuk VCD. Sayang, cuma sisi (side) B. Sisi A, waktu itu, tak bisa diputar ulang setelah dibakar lewat pembakar VCD di komputer.
Sisi B Dead Poets Society itulah yang saya tawarkan kepada teman-teman, lewat Facebook, untuk dipinjamkan dan disalin. Pada sebuah pertemuan akan saya bawa Dead Poets Society.
Tak hanya menawarkan film, saya juga menawarkan ide: buat acara menonton bareng film-film bermutu. Karena tawaran ini saya lontarkan pada para penulis dan aktivis organisasi kepenulisan, pun saya menawarkan tema film seputar biografi para penulis terkenal dan film yang dibuat berdasarkan karya penulis. Diharapkan, setelah menonton bareng dan mendiskusikannya, khasanah pengetahuan tentang kepenulisan bertambah.
Tanggapan bergulir. Namun sejumlah penanggap mengkritisi soal aksi “pembajakan” yang saya lakukan. Bahwa VCD film yang saya tawarkan adalah hasil “membajak” yang tak pantas diapresiasi. Lebih baik membeli VCD asli alias original atau menyewanya di rental VCD.
Masalahnya, apakah film itu masih beredar di pasaran? Toko atau rental mana yang masih menjual dan menyewakan film itu?
Pertanyaan ini saya kembangkan: jika kita tak bisa mendapatkan film itu dalam bentuk asli, apakah itu berarti sebaiknya kita memilih untuk tidak menikmatinya selamanya sementara ada “film bajakannya”? Sedangkan kita tahu muatan film itu sangat bagus. Film yang bagus, bagi saya, harus bisa ditonton pula oleh orang lain yang menurut kita dapat mengambil manfaat darinya. Inilah asas berbagi pengetahuan.
Bukannya saya membanggakan aksi pembajakan. Tidak. Namun apa jadinya jika dulu saya tidak menyalin film itu? Bahkan saya sendiri tidak bisa lagi menikmatinya.
Lalu kenapa dulu tidak membeli VCD aslinya? Sederhana saja saya menjawab: karena saya tidak punya uang untuk membeli VCD asli. VCD asli, kan, mahal. Bahkan untuk bisa makan di kampus, pernah ini terjadi dalam beberapa semester, saya dan sejumlah teman patungan Rp 500-Rp 1.000 untuk membeli lauk pauk. Bawa beras dari rumah, masak di kampus yang kebetulan tersedia alat penanak nasi (rice cooker), lalu makan bersama di atas sebuah nampan dengan lauk pauk hasil patungan.
Di bawah kekurangan finansial itulah, di antara saya dan teman-teman, muncul sebuah pemikiran: untuk bisa menjadi pintar, kenapa kita harus mengikuti aturan yang tidak mendukung keinginan itu? Kita butuh ilmu, tak ada yang bisa menghalanginya! Itulah idealisme mahasiswa saya waktu itu.
Namun tentu saja kami membuat komitmen tak tertulis. Film yang disalin yang berbobot saja. Karena kuliah di kampus pendidikan dan bergelut di dunia pergerakan mahasiswa, kami menyalin film-film bertema pendidikan dan pergerakan. Film-film Hollywood hanya kami tonton bersama, baik film bajakan hasil berburu (hunting) di lapak-lapak kaki lima hingga mal besar maupun menyewa di rental VCD.
Satu lagi, tentu saja, kami tidak mendagangkan VCD bajakan itu! Kami hanya menyalin satu film ke dalam satu-dua VCD kosong. VCD “bajakan” itu kelak kami putar kembali selulus kuliah demi kepentingan pembelajaran.
Setujukah Anda dengan “aksi pembajakan” kami itu?
Anda pun tahu negeri ini dibanjiri produk-produk bajakan. Mulai dari celana dalam hingga tinta mesin pencetak (printer) kebanyakan beredar dalam dua versi: asli dan palsu. Bagi yang punya uang, pasti membeli produk asli. Sebab kualitasnya terjamin dan tidak mudah rusak. Sebaliknya, produk palsu alias bajakan tak bisa dijamin kualitasnya dan rawan rusak. Semua tahu konsekuensi itu.
Bahkan aksi pembajakan sudah memasuki ranah akademis. Dunia kampus. Peranti lunak (software) sistem operasi (operating system) yang kebanyakan dipakai oleh komputer kampus tidak berlisensi. Artinya, tidak memiliki izin resmi dari pemilik atau pencipta peranti itu. Bahkan, kemungkinan besar, sistem operasi komputer milik kita tidak berlisensi alias bajakan. Peranti lunak sistem operasi tak berlisensi alias bajakan bisa kita dapatkan dengan mudah di mal-mal besar hingga lapak pinggir jalan.
Kenapa tidak beli yang asli? Apakah sulit didapat dan tidak lagi beredar di pasaran? Tidak. Peranti aslinya sangat mudah didapat tapi, semua tahu, mahal! Harganya jutaan.
Dengan kondisi demikian, jika masih berpegang pada idealisme mutlak “pakailah produk asli tak terkecuali”, ilmu dan kepintaran hanya beredar di antara orang-orang berduit. Yang miskin, yang untuk makan saja sulitnya minta ampun, di era globalisasi ini, tak bisa mengakses komputer karena rental komputer masih banyak pakai peranti lunak tak berlisensi alias bajakan.
Di dunia komputer pun, secara makro, penentang perusahaan raksasa Microsoft—pemegang lisensi Windows—yang memonopoli produk peranti lunak sangat banyak. Maka diciptakanlah peranti lunak Linux. Produknya bisa didapat dengan mudah dan tak perlu membayar lisensi kepada pencipta Linux. Bahkan dengan program ini orang bisa menciptakan program baru.
Maka kita sebaiknya fleksibel saja. Kita hidup di bawah tekanan. Konsumen yang tak punya daya menggugat produsen: tolong, kalau jual barang, harganya yang bisa dijangkau rakyat miskin seperti saya. Cerdas dan realistis dalam bertindak. Kalau tidak bisa beli yang asli, ya salin saja dari yang asli atau sudah ada bajakannya. Yang penting hasil salinan itu tidak diperbanyak untuk diperdagangkan. Kalau mau didagangkan, lebih untung beli langsung ke pengedar bajakannya.
Duren Sawit, Jakarta Timur. Sabtu, 2 Januari 2009
Leave a Reply