Memilih Angkutan: Perspektif Penumpang
Sudah dibaca 1285 kali
Kisruh angkutan reguler versus angkutan online sepertinya dapat ditengahi dengan menaikkan tarif angkutan online yang hampir menyamai tarif angkutan reguler. Namun, diskusi publik yang digelar media massa jarang sekali mengangkat perspektif penumpang (konsumen). Seolah konsumen sebagai pihak yang nrimo apapun kesepakatan yang diambil.
Tulisan ini hendak mengangkat wacana yang sepertinya tidak diangkat ke ruang publik. Wacana yang sebenarnya menjadi penentu keberlangsungan dua jenis angkutan umum itu.
Sebenarnya, apa yang membuat masyarakat antusias menggunakan angkutan online, baik ojek maupun taksi, ketimbang angkutan reguler? Kalau jawabnya sekadar harganya lebih murah, salah besar! Ojek dan taksi online tidak sekadar menawarkan harga yang murah. Lebih dari itu, mereka memberi layanan prima.
Dengan mudah kita dapat menemukan sopir ojek maupun taksi online berperilaku sangat ramah, enak diajak ngobrol, dan cenderung mematuhi peraturan lalu lintas. Kita merasa nyaman menggunakan jasa mereka.
Kondisi sebaliknya kita rasakan jika menggunakan jasa angkutan umum reguler, meskipun situasi ini tidak bisa digeneralisasi. Pengalaman saya menggunakan angkutan umum reguler, sejak dulu sekolah hingga kini berkeluarga, dalam rentang sekitar 20 tahun, perilaku sopir ojek dan angkutan umum tidak banyak berubah.
Dulu penumpang metromini dan mikrolet, misalnya, sering resah ketika sang sopir ugal-ugalan, kebut-kebutan dengan dalih kejar setoran, dan mangkal lama di satu tempat. Bukannya minta maaf mendengar keluhan penumpang, kondektur dan sopir malah menunjukkan sikap abai dan berkata, “Mending naik taksi saja sana!”
Saat mangkal di satu tempat, kadang dekat rambu dilarang berhenti, bus jadi sumber kemacetan. Sopir tahu dan tidak peduli. Mereka tidak peduli perasaan pengendara lain dan penumpang.
Sering pula penumpang merasa tidak nyaman ketika sopir dan kondektur merokok. Asapnya ke mana-mana. Tidak peduli penumpang terganggu pada asap yang mengandung 4.000 jenis racun itu.
Tidak jarang, saat jumlah penumpang sedikit, sopir menyuruh penumpang berpindah ke bus lain. Penumpang naik dan berdesak-desakkan dengan penumpang yang lebih dulu berdiri di dalam angkutan. Penumpang diperlakukan seperti barang dan tidak berkutik.
Pernah suatu malam, dalam perjalan dari Lebak Bulus ke Ciledug, sopir metromini berhenti di tengah jalan. Semua penumpang dipaksa turun. Kami kira ada metromini yang menunggu di luar sehingga kami buru-buru keluar. Ternyata, tidak ada sama sekali. Si sopir sialan itu pergi dan meninggalkan kami di pinggir jalan. Dalam kondisi begitu, kepada siapa penumpang melontarkan protes?
Saya juga sering dikecewakan oleh sopir ojek yang mangkal sekitar 100 meter dari rumah saya. Selain sulit ditawar, perlengkapan helm selalu jadi persoalan. “Cuma ke sana, dekat, Pak! Nggak usah pakai helm.” Padahal perjalanan ke lokasi tujuan sekitar 5 kilometer. Saya memaksa memakai helm dan si tukang ojek dengan malas meminjam ke temannya. Bukannya dapat helm yang nyaman dipakai, saya harus memakai helm bau dan tidak ada pengaitnya. Mereka tidak peduli pada keselamatan penumpang.
Maka, ketika muncul ojek dan taksi online, saya, juga banyak penumpang lain, gembira bukan main. Kami akhirnya punya pilihan yang lebih baik. Lebih baik naik angkutan dengan layanan terbaik, nyaman, dan murah, daripada naik angkutan yang tidak peduli keselamatan penumpang dan mahal. Kami merasa dimanusiawikan, diperlakukan sebagai raja, bukan barang mainan.
Ketika muncul rencana penaikan tarif atas angkutan umum online, apakah nanti serta-merta penumpang berpindah ke angkutan umum reguler? Belum tentu! Selagi perilaku sopir ojek dan angkutan umum tidak berubah (ugal-ugalan, kebut-kebutan, mangkal lama di satu tempat, merokok, tidak peduli keselamatan penumpang), maka jangan harap penumpang setia ojek dan taksi online berpindah haluan. Tidak apa ongkos naik, yang penting nyaman dan keselamatan terjaga.
Agar angkutan umum meraih hati konsumen, sebaiknya perilaku slebor sopir dihentikan. Perlakukan konsumen secara manusiawi. Hentikan sikap arogan di jalan raya. Hanya dengan begitu konsumen mau kembali menggunakan jasa mereka.
Pemerintah juga jangan tutup mata terhadap perilaku para sopir. Pihak manajemen perusahaan bus harus didorong untuk melatih para sopirnya agar berlaku baik kepada penumpang. Sopir dilatih, diberi insentif dan penghargaan atas perubahan yang dilakukan. Pelanggaran yang dilakukan sopir semestinya juga menjadi tanggung jawab manajemen perusahaan bus.
Perubahan di tataran perusahaan angkutan umum harus dilakukan. Mental preman harus direvolusi menjadi mental melayani. Hanya dengan begitu konsumen akan menyetarakan pilihan antara memilih angkutan umum online dan angkutan umum reguler.*
Leave a Reply