Mencari Cinta Sejati melalui Film Tausiyah Cinta
Sudah dibaca 2255 kali
Kamis malam lalu (7/1/2016) saya beruntung menonton tayangan perdana film Tausiyah Cinta di Blok M Square XXI. Sejak tayang premier pada 5 Desember 2015 di Gandaria City XXI, film ini digadang-gadang sebagai film bertema dakwah yang kental dengan nilai islami.
Setelah nonton, dugaan itu benar. Cita rasa islami begitu terasa dalam tiap adegan, dialog, dan gambar dalam film tersebut. Kendati tema yang diusung tergolong pasaran yaitu cinta, namun sudut pandang yang ditawarkan oleh film ini mampu meletakkan cinta pada porsi yang sebenarnya: cinta tak terbatas pada lawan jenis melainkan pengabdian pada Sang Pemilik Cinta yakni Allah SWT. Sehingga film ini berbeda dengan film lain yang bertema cinta.
Pengabdian cinta pada ilahi itu, dalam film ini, diwujudkan dalam tiga lingkaran cerita di mana masing-masing tokoh saling terpaut. Tiga cerita itu membawa tema tersendiri yang kemudian mengerucut pada upaya pencarian cinta para tokohnya. Pertama, pencarian cinta melalui perjodohan. Kedua, pencarian cinta melalui konflik. Ketiga, pencarian cinta melalui musibah.
Pada lingkaran pertama, pencarian cinta melalui perjodohan, tokoh yang terlibat yaitu Rein (Ressa Rere), Lefan (Rendy Herpy), dan Zaky Ahmad Rivai. Lefan menyukai Rein. Namun lamarannya ditolak Rein. Pergulatan batin dalam diri Lefan menuntunnya untuk mencari cinta sejati, yaitu pada Allah SWT.
Rein yang juga mengalami pergulatan batin kemudian menemukan jodohnya. Dialah Zaky, pemuda berbakti yang juga penulis buku.
Lingkaran cerita kedua melibatkan Lefan dan ayahnya (Igo Ilham). Kedua lelaki anak-ayah ini terlibat konflik yang sulit terselesaikan. Lefan membenci ayahnya yang dianggap sebagai orang yang selalu melukai hati ibunya semasa hidup. Ia tak mau mendengar penjelasan apapun dari sang ayah.
Lingkaran cerita ketiga melibatkan Lefan dan Azka (Hamas Syahid Izzuddin). Lefan adalah pemuda galau yang mempertanyakan kasih sayang Tuhan atas kehancuran keluarganya. Beruntung ia bertemu Azka, pemuda penghafal Al-Qur’an yang alim dan berkepribadian nyaris sempurna. Dari Azkalah Lefan banyak belajar tentang cinta dan hakikat bertuhan.
Situasi berbalik ketika Azka tertimpa musibah. Matanya buta. Hatinya terasa hancur, keimanannya goyah. Hidupnya dicekam pesimisme, buram segelap penglihatannya. Pada situasi ini datanglah Lefan yang menyentak kesadarannya akan optimisme dan ketegaran dalam beriman. Fatih, teman karibnya, juga terus memotivasinya agar bangkit dari keterpurukan.
Yang menarik dari film ini adalah perubahan karakter pada sejumlah tokohnya. Lefan, dari pemuda yang jauh dari agama, menjadi dekat kepada Tuhan. Dua peristiwa besar memengaruhi perubahan ini, yaitu penolakan cinta dari Rein dan kegoyahan iman Azka. Perenungan mendalam atas cobaan hidup membuatnya memikir ulang atas segala sikap yang diambilnya. Namun, uniknya, perubahan karakter ini tak membuat Lefan mengubah pandangan terhadap ayahnya.
Perubahan karakter berikutnya dialami Azka. Awalnya ia digambarkan berkepribadian sempurna, baik mental maupun jasmaninya. Ia sosok pemuda mapan berwajah ganteng dan penghafal Al-Qur’an. Tak satupun perempuan akan menolak jika dilamarnya.
![Tausiyah Cinta, satu adegan](http://billyantoro.com/wp-content/uploads/2016/01/Tausiyah-Cinta-satu-adegan-1024x768.jpg)
Namun karakter itu berbalik 180 derajat ketika ia ditimpa kebutaan. Sakit yang dideritanya membuatnya putus asa, hancur harapan, dan pesimistis. Ia seperti orang alim menjadi orang awam. Mentalnya kembali bangkit setelah orang-orang terdekatnya memotivasinya terus-menerus.
Tema sentral film ini adalah pengelolaan rasa cinta yang islami. Bagaimana rasa cinta yang dimiliki tiap orang seharusnya dirawat dan disalurkan dengan cara yang benar menuju jenjang pernikahan. Caranya dengan mendekatkan diri kepada Allah SWT, berbuat baik, dan bekerja keras. Bukan dengan berpacaran.
Proses menuju jenjang pernikahan digambarkan dengan baik. Lefan yang menyukai Rein menyampaikan maksudnya kepada teman (guru ngaji) Rein. Rein salat istikharah. Lefan melamar Rein disaksikan kedua orangtuanya. Rein menyampaikan penolakan dengan cara yang santun—walau tentu saja menyakitkan hati Lefan.
Memang akhirnya kita akan mengatakan bahwa film ini sarat nilai dakwah. Selain merawat cinta secara islami, anjuran nikah bagi yang sudah mampu, dan pola pergaulan yang menjaga jarak antara perempuan dan laki-laki, film ini juga sarat dengan lantunan ayat suci Al-Qur’an, baik yang dilafalkan secara langsung dalam adegan hafiz baca Al-Qur’an maupun saat mengiringi sejumlah tokoh melakukan perenungan batin.
Dengan pola semacam itu, film ini menjadi kelihatan berbeda dari film religius lainnya yang pernah tayang di bioskop. Tausiyah Cinta punya metode dakwah berbeda ketimbang film dakwah lainnya. Ia muncul dengan membawa simbol-simbol Islam secara terbuka. Berbeda dengan film religius lain yang mengemas nilai keislaman tidak secara langsung atau ‘buka-bukaan’. Simbol Islam itu di antaranya ucapan salam, jilbab rapat (syar’i), salat, dan kegiatan pengajian.
Keunikan lain film ini yaitu pilihan Humar Hadi, sang sutradara, yang menutup kisah cerita tokohnya dengan situasi menggantung. Lefan dibiarkan terus mencari pujaan hati disertai konflik tak berkesudahan antara dirinya dengan sang ayah. Azka mulai bangkit dari keterpurukan. Hanya Rein yang selesai dengan pencarian imamnya (suami).
Pilihan ini mendorong penonton untuk meletuskan dugaan bahwa ada kemungkinan Tausiyah Cinta akan digarap sekuel berikutnya. Dalam mainstream cerita tentang cinta, para tokohnya biasanya mendapatkan akhir kisah yang membahagiakan. Penonton ‘berhak’ mendapatkan cerita bahagia melalui kegembiraan—bukan kepiluan—para tokohnya yang mengejar cinta. Lagi pula banyak ruang terbuka yang bisa dipenuhi bagi penggarapan cerita selanjutnya.
Tak ada gading yang tak retak. Begitupula film Tausiyah Cinta. Sejumlah kekurangan mewarnai film ini. Pertama, editing gambar terasa tak halus. Ada beberapa gambar yang layak buang, khususnya gambar lokasi adegan yang tak menyiratkan makna.
Kedua, sudut pandang gambar dalam beberapa adegan terkesan tak dinamis. Gambar terlihat monoton. Agar sebuah adegan tak tampak monoton, terutama jika dialog tokoh agak panjang, sutradara biasanya memanfaatkan sejumlah kamera untuk mendapatkan beberapa sudut pandang menarik.
Ketiga, dialog dalam sejumlah adegan masih terasa mengurui atau terkesan ceramah. Mungkin karena muatan dakwah yang hendak disampaikan terlalu banyak dan sayang dilewatkan. Hal ini bisa ditutupi dengan membuat dialog yang padat namun berisi. Atau membuat adegan lebih bermakna dengan bahasa tubuh para pemain.
Keempat, ada beberapa plot cerita yang terasa melompat terlalu jauh. Misalnya pada proses pernikahan antara Rein dan Zaky. Pertemuan dua tokoh ini dalam satu adegan hanya dua kali, yaitu saat Zaky berkunjung ke rumah Rein atas undangan ayah Rein dan adegan mereka melangsungkan akad nikah. Begitu cepat. Padahal gambaran mereka menjalani proses pernikahan patut dieksplorasi.
![Bersama Pak Ibas](http://billyantoro.com/wp-content/uploads/2016/01/Bersama-Pak-Ibas-1024x768.jpg)
Barangkali kekurangan itu dapat dimaklumi setelah mendengarkan cerita salah satu produser. Menurut Suwandi Basyir atau akrab disapa Ibas, penggarapan film memakan waktu dua tahun. Selain waktu syutingnya yang hanya dilakukan pada hari Sabtu dan Ahad, proses lain seperti mencari investor juga menjadi kendala tersendiri. Pengakuan ini saya dengarkan langsung darinya usai menonton Tausiyah Cinta di Blok M Square Jakarta, Kamis malam (7/1/2016).
Menurut Ibas, perlu kerja ekstra keras agar Tausiyah Cinta bisa tayang di bioskop jaringan 21. Film ini, katanya, dibuat dengan tujuan dakwah dan agak berbeda penggarapannya dengan film religius lain. Pemutaran premier Tausiyah Cinta dilakukan pada 5 Desember 2015 di Gandaria City XXI Jakarta. Sebelumnya digelar nonton bareng di 18 kota. Akhirnya, pada 7 Januari 2016 itu, Tausiyah Cinta bisa tayang secara serempak di Jakarta, Depok, Bogor, Tangerang, Bekasi, Bandung Yogyakarta, Makassar, Medan, dan Surabaya. Ia berharap antusiasme penonton tinggi agar Tausiyah Cinta lama bertahan diputar di bioskop.
Film Tausiyah Cinta diangkat dari buku berjudul sama karya Tausiyahku. Buku setebal 180 halaman itu diterbitkan oleh Qultum Media pada Oktober 2013.
Bagaimanapun, Tausiyah Cinta menjadi salah satu film dakwah yang patut dipertimbangkan di belantara tema film Indonesia yang beragam, dari mulai religi, komedi, hingga horor. Ia dapat menjadi referensi bagi para aktivis dakwah yang rindu nilai-nilai islami diterapkan di lingkungan keluarga, pergaulan, dan masyarakat.*
Judul film: Tausiyah Cinta
Produksi: BedaSinema Pictures
Sutradara: Humar Hadi
Produser: Suwandi Basyir, Azwar Armando, Izharul Haq, Yulyani
Pemain: Rendy Herpy, Ressa Rere, Hamas Syahid Izzuddin, Peggy Melati Sukma, Hilman Rosyad, Igo Ilham, Zaky Ahmad Rivai, Irwansyah, Meyda Safira
Penulis Skenario: Umank Ady, Yuli Retno Winarsih, Maryah El Qibtiyah, Nadia Silvarani
Rilis: 7 Januari 2016
Leave a Reply