Spread the love

Sudah dibaca 1542 kali

Rencana Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menghapus kebijakan sekolah gratis sangat mencengangkan. Sebab, rencana tersebut berlawanan dengan arus kebijakan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di hampir seluruh provinsi di Indonesia.

Ahok beralasan, telah terjadi kesenjangan penerimaan Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) antara sekolah negeri dan sekolah swasta. Sekolah swasta hanya menerima BOP 20 persen atau 30 persen dari BOP yang diterima sekolah negeri. Maka, dengan mencabut BOP, terjadi persaingan yang adil antara sekolah negeri dan swasta dalam hal rekrutmen siswa. Siswa miskin akan dibantu melalui Kartu Jakarta Pintar (KJP) sementara siswa kaya, baik yang di sekolah negeri maupun swasta, harus bayar.

Sejumlah kalangan menilai rencana tersebut merupakan langkah mundur. Sebab, program sekolah gratis 12 tahun baru saja dicanangkan mantan Gubernur Fauzi Bowo pada Hari Pendidikan Nasional tahun lalu. Apalagi, dalam pemilukada, pasangan Jokowi (Joko Widodo)-Ahok juga mengampanyekan sekolah gratis. Menghapus kebijakan sekolah gratis sama saja mengingkari janji.

Uniknya, Gubernur Jokowi buru-buru membantah rencana itu. Katanya, tidak akan ada penghapusan kebijakan sekolah gratis dan BOP. Ia hanya akan melakukan pembenahan sistem. Pertanyaannya, pembenahan seperti apa yang mesti dilakukan yang setidaknya dapat menghapus kegalauan Ahok itu? Tulisan ini mencoba beri solusi terhadap persoalan itu sekaligus meluruskan kesimpangsiuran relasi antara sekolah gratis dan BOP.

Awalnya, istilah sekolah gratis merupakan lontaran politis para calon kepala daerah saat mengikuti pemilukada. Tujuannya untuk menarik hati para pemilih. Padahal, sebenarnya, dana yang digunakan untuk menyukseskan program tersebut berasal dari Pemerintah melalui Program Wajib Belajar (Wajar) 9 Tahun—pendanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Sebagaimana namanya, program ini hanya menyentuh jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP). Kasarnya, para calon kepala daerah “mendompleng” melalui kebijakan pendanaan Pemerintah Pusat.

Realisasi Program Wajar 9 Tahun berupa penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk sekolah negeri dan swasta. Besar dana BOS yang diterima sekolah dihitung berdasarkan jumlah siswa dikali nilai satuan BOS. Tahun ini, nilai satuan BOS untuk SD/SDLB Rp 580.000/siswa/tahun. Sedangkan untuk SMP/SMPLB/SMPT/SATAP Rp 710.000/siswa/tahun.

Nyatanya, dana BOS hanya mencukupi kebutuhan minimal kegiatan belajar mengajar di sekolah. Sehingga kepala daerah diimbau untuk menambal kekurangan BOS. Maka lahirlah BOSDA (Bantuan Operasional Sekolah Daerah), yaitu BOS yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Nama BOSDA di tiap daerah beragam, misalnya Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) dan Bantuan untuk Pendidikan Gratis. Jakarta pakai nama BOP.

Selain BOS, pemerintah menggulirkan program Bantuan Siswa Miskin (BSM). Hanya siswa miskin dan terancam putus sekolah yang dapat BSM. Dari segi pemanfataan, bentuk beasiswa ini mirip sekali dengan KJP yang digulirkan Jokowi.

 

Belakangan, tahun ini Pemerintah mulai menjalankan program Pendidikan Menengah Universal (PMU) sebagai wujud program Wajar 12 Tahun. Sekolah jenjang menengah (SMA dan SMK) dapat dana BOS. Artinya, secara pendanaan, Pemerintah Pusat telah melaksanakan, menggunakan istilah kepala daerah, sekolah gratis di seluruh Indonesia.

Terkait kegalauan Ahok ihwal ketidakadilan penerimaan BOP antara sekolah negeri dan swasta, sebenarnya sama halnya dengan yang dialami sekolah penerima BOS di berbagai daerah. Salah satu kelemahan sistem BOS terletak pada penghitungan dana yang didasarkan pada jumlah siswa. Konsekuensi dari cara penghitungan tersebut yaitu sekolah yang memiliki banyak siswa akan menerima BOS lebih besar ketimbang sekolah yang jumlah siswanya sedikit.

Hasil studi Bank Dunia pada 2011 menunjukkan, sebagian besar alokasi BOSDA menggunakan penghitungan model BOS. Akhirnya, konsekuensi yang sama terjadi, yaitu sekolah dengan jumlah siswa banyak menerima dana BOS lebih besar daripada sekolah yang jumlah siswanya sedikit.

Dari titik ini, ada dua koreksi untuk Ahok. Pertama, tak ada korelasi antara program sekolah gratis dan penghapusan BOP. Meskipun BOP dihapus, sekolah-sekolah di Jakarta di berbagai jenjang pendidikan, baik negeri maupun swasta, tetap menerima dana BOS dari Pemerintah. Orangtua tetap tak perlu bayar iuran sekolah agar anaknya terus bersekolah.

Kedua, ketidakadilan yang dialami sekolah swasta, terutama yang jumlah muridnya sedikit, tak semestinya disikapi dengan penghapusan BOP. Seharusnya Pemda menghitung besaran biaya pendidikan per siswa dalam setahun. Besaran tersebut yang digunakan sebagai dasar penghitungan penyaluran BOP.

Jadi Jokowi perlu menugaskan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta untuk menghitung besaran biaya pendidikan per siswa dalam setahun. Setelah diketahui besarannya, penetapan alokasi BOP per siswa dapat dengan menambahkannya dengan  dana BOS dari Pemerintah.

Besaran biaya pendidikan per siswa ditentukan berdasarkan tiga jenis pendanaan pendidikan sebagaimana tertera pada pasal 3 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 2008 Tentang Pendanaan Pendidikan, yaitu biaya satuan pendidikan, biaya penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan, dan biaya pribadi peserta didik.

Pemda DKI Jakarta, juga daerah lain, tak bisa asal salin-tempel (copypaste) terkait besaran biaya pendidikan, sebab biaya kebutuhan tiap daerah bervariasi.

 

Langgar peraturan

Namun ada hal menggelitik ihwal keinginan Ahok yang lain, yaitu agar hanya siswa miskin yang gratis sekolah—melalui subsidi KJP. Sementara  siswa kaya, baik yang di sekolah negeri maupun swasta, bayar. Keinginan ini seolah menunjukkan keberpihakannya terhadap warga miskin, namun sebenarnya kontraproduktif terhadap semangat undang-undang. Setidaknya ada dua peraturan yang akan terlanggar ihwal pungutan di sekolah.

Pertama, Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 34 ayat (2) UU ini menyatakan: “Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.” Ungkapan “tanpa memungut biaya” inilah yang dikonotasikan dengan “sekolah gratis”.

Kedua, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 44 Tahun 2012 Tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan pada Satuan Pendidikan Dasar. Pasal 9  peraturan ini menyebutkan, “Satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh Pemerintah, dan/atau pemerintah daerah dilarang memungut biaya satuan pendidikan.” Peraturan ini dikeluarkan lantaran pungutan di sekolah masih marak di daerah-daerah, terutama saat penerimaan siswa baru.

Pertanyannya kemudian, jika BOP dihapus, bagaimana dengan sekolah-sekolah swasta dengan sedikit murid yang menggantungkan operasionalnya dari BOS dan BOP? Tentu akan lebih merana. Sebab, besaran dana KJP per siswa per bulan sangat tak mencukupi untuk memenuhi operasional sekolah—SD/SDLB/MI Rp 180.000, SMP/SMPLB/MTs Rp 210.000, SM/SMALB/MA Rp 240.000.

Jadi pikiran untuk memungut bayaran bagi siswa seharusnya dibuang jauh-jauh. Lagi pula, masyarakat telah cerdas untuk memilihkan sekolah bagi anak-anaknya. Ahok pun harus lebih rendah hati dalam memahami persoalan pendidikan.*

 

Tangerang, Banten, 22 Maret 2013