Mengkhayalkan Manusia Super
Sudah dibaca 1491 kali
Menghadapi musibah bertubi-tubi tanpa tahu bagaimana menyelesaikannya sangatlah menjengkelkan. Kejengkelan yang terus terjadi mengakibatkan frustasi. Frustasi yang berkelanjutan menyebabkan putus asa. Dan, putus asa yang tak berkesudahan membuat orang berkhayal. Apakah sekarang waktunya kita untuk berkhayal?
Kemarin, 5 Januari, khatib salat Jumat bicara soal banyak musibah yang menimpa negeri ini. Mulai dari gempa tektonik dan tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam pada 26 Desember 2004, Gunung Merapi meletus dua tahun kemudian, gempa di Yogyakarta dan sekitarnya, gempa di Pangandaraan, lumpur panas di Sidoarjo, tenggelamnya kapal Surapati Nusantara, dan terakhir raibnya pesawat Adam Air yang memuat 96 penumpang dan 6 awak pada 1 Januari 2007 yang hingga hari ini belum ditemukan. Dua peristiwa lainnya yang sempat menggegerkan publik yaitu peredaran video mesum antara anggota DPR dari Fraksi Golongan Karya Yahya Zaini dengan pedangdut Maria Eva, dan pernikahan kedua dai kondang Abdullah Gymnastiar dengan mantan model Alfarini Eridani.
Khatib bertanya-tanya, ini pertanda apa? Musibah tiada henti menimpa Indonesia. Ia tak bisa menjawabnya kecuali menyitir lirik penyanyi Ebiet G. Ade: “Mungkin Tuhan mulai bosan/melihat tingkah kita/yang senang dan bangga akan dosa-dosa.” Ya, ia mengembalikan penyebab segala musibah kepada kesalahan manusia Indonesia. Perilaku korupsi, judi, dan zina seolah telah menjadi budaya bangsa ini. Di al-Quran pun Allah Swt. berfirman bahwa segala bencana yang terjadi di muka bumi semata-mata karena ulah manusia sendiri.
Saya hendak menambahkan, “Atau alam mulai enggan/bersahabat dengan kita/mari kita bertanya pada rumput yang bergoyang.” Musim panas berganti kemarau karena keseimbangan alam tak lagi terjaga. Pemanasan global akibat asap-asap industri membuat kekacauan ekologi. Musim hujan berubah menjadi musim banjir karena jutaan hektar hutan dibabat tiap tahun. Gajah mengamuk. Orang utan mati kelaparan. Harimau keluar dari habitatnya lalu punah diburu penduduk.
Alam tak kuat lagi menanggung derita. Mereka menggeliat lewat gempa, merintih lewat kawah gunung, menangis lewat hujan, dan mendesah sedih lewat hembusan puting beliung. Mereka hendak menunjukkan protes kepada Sang Pencipta: “Mengapa Engkau membiarkan kami terus ditindas manusia? Dulu Engkau merestui mereka mengambil tanggung jawab terhadap isi alam semesta karena kami tak sanggup menanggungnya. Namun, apa yang telah mereka perbuat?”
Manusia pun tak mengerti dan memahami mengapa ini terus terjadi. Ilmu hasil peradaban beribu-ribu tahun tak mampu mencari jawab dan menyelesaikan permasalahan ini. Kalangan agama mengatakan ini akibat manusia jauh dari Tuhannya. Wilayah yang diterpa bencana karena penduduknya banyak berbuat dosa. Tapi kenapa Jakarta dan Bali yang induknya maksiat tidak digulung tsunami? Kalangan moralis berkata karena banyak pejabat yang tidak bermoral. Namun toh mereka juga beribadah kepada tuhannya. Kalangan pengusaha berucap ini terjadi karena kurang profesional mengelola alam. Tapi mereka kaya dari hasil mengeksplotasi alam. Adakah yang mengatakan ini karena takdir Tuhan?
Emha Ainun Najib, budayawan, pernah ditanya Bayu Setiyono dalam sebuah acara televisi bagaimana sikap dia melihat fenomena musibah yang terus menimpa Indonesia. Lirih Emha berkata, putus asa. Tak ada ilmu yang bisa menjawab bagaimana agar manusia terlepas dari problema ini. Namun Emha tak ingin menunjukkan keputusasaan, karena ia tak ingin manusia berputus asa. Ia hanya bisa berkata bahwa manusia Indonesia harus introspeksi diri lalu mengembalikan semuanya pada Tuhan pencipta; hanya hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhannya, yang bersifat personal, yang bisa mencari jawabnya.
Saya juga pernah putus asa ketika memikirkan ini. Saya sedih, pengin menangis sejadi-jadinya. Kemudian saya berpikir, buat apa menangis? Apa yang hendak ditangisi? Apakah dengan menangis semua masalah selesai? Pertanyaan kemudian, apakah kita mengerti mengapa kita harus menangis? Apakah ini ekspresi sebenarnya?
Menangis adalah esensi sebuah ketidakberdayaan dari ketakutan tak tergambarkan. Ketika seorang bayi pertama kali melihat dunia, ia menangis. Barangkali ia sekelebat melihat bagaimana rupa dunia sesungguhnya. Waktu membuatnya melupakan rupa dunia. Dan ia lupa apa yang menyebabkannya menangis saat pertama kali melihat dunia, sementara orang-orang di sekitarnya menyambutnya dengan suka cita. Kemudian, ia menangis dan sedih lantaran dunia tak memperlakukannya dengan baik. Namun yakinlah bahwa sebab tangisnya kali ini berbeda dengan tangis pertamanya.
Dalam kondisi putus asa begini tak sedikit orang berkhayal. Saya teringat sejumlah filsuf yang membayangkan keberadaan seorang adi-manusia, manusia super, yang dengan kemampuannya mampu menyelesaikan segala permasalahan manusia. Barangkali sosok manusia seperti ini cocok disebut Nabi. Namun toh sejarah agama menggambarkan bagaimana nabi-nabi itu tak mampu menyelamatkan kaumnya dari berbagai bencana serta membawanya pada kondisi yang lebih baik kecuali Muhammad Saw.
Sejumlah seniman mengungkapkan konsep manusia super ini berupa pahlawan-pahlawan semacam Superman, Batman, dan Spiderman. Sebagian kalangan agama yang lain berharap segera lahir nabi baru, imam mahdi, juru selamat, atau ratu adil. Sebab Dajjal sudah dibangkitkan dan kini merajalela di mana-mana. Beberapa di antaranya telah mendeklarasikan diri sebagai nabi dan memiliki banyak pengikut.
Kemudian saya berpikir, adakah konsep pemikiran yang mampu memetakan dan menjelaskan secara gamblang permasalahan manusia ini? Setelah itu ditemukan pemecahan masalahnya. Kalaupun ada orang yang menjawabnya, pastilah kata-katanya tak jauh berbeda dengan lontaran para pemikir sebelumnya. Saya kira mesti ada konsep pemikiran yang baru dan original, yang hanya manusia super itu yang mampu melahirkannya.
Tiba-tiba saya tergelitik dengan kebaradaan wali. Mereka adalah orang-orang yang sangat dekat kepada Tuhan. Mereka menyeru kepada umat manusia untuk bergerak dan memberantas segala kezaliman serta memperbaiki kehidupan. Hah, ini wali khayalan saya. Sepertinya tidak sama dengan sosok wali umumnya yang sufistik, senang menyendiri, hidup bersahaja, dan bergerak dalam ranah pendidikan semata. Sudahlah, saya belum tahu jawabnya…Biarkan saya terus berkhayal.
Sabtu, 6 Januari 2007.
Leave a Reply