Menimbang KJP
Sudah dibaca 1736 kali
Jokowi memang keren. Belum setengah tahun menjabat Gubernur DKI Jakarta, berbagai program yang telah ia janjikan saat kampanye pemilihan gubernur mulai direalisasikan. Salah satunya Kartu Jakarta Pintar (KJP).
KJP rencananya dibagikan kepada siswa-siswi miskin di berbagai jenjang pendidikan; SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA. Hingga peluncurannya pada 1 Desember 2012 lalu di SMA Yappenda, Tanjung Priok, Jakarta Utara dan SMA Paskalis, kemayoran, Jakarta Pusat, sudah tiga ribuan KJP tersalurkan. Itu pun masih terbatas pada siswa SMA. Tahun depan, pembagian KJP lebih digencarkan lagi.
KJP berbentuk kartu Anjungan Tunai Mandiri Bank DKI. Tiap bulan pemilik KJP mendapat Rp 240 ribu yang langsung tertransfer ke ATM-nya. Penggunaanya untuk pemenuhan kebutuhan personal siswa seperti beli sepatu, pakaian seragam, dan transportasi.
Dari segi pendataan penerima bantuan, dapat dikatakan tergolong cepat. Siswa calon penerima harus menyerahkan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) kepada sekolah. SKTM didapat melalui surat keterangan dari RT, RW, dan Kantor Lurah. Kemudian sekolah mengusulkan nama siswa ke kantor Dinas Pendidikan untuk diseleksi. Birokrasi tergolong cepat melakukan penjaringan data karena dilakukan beberapa bulan saja. Sesuatu yang sebelumnya sulit diharapkan.
Baik dari segi administratif penjaringan calon penerima maupun penggunaan dana oleh penerima KJP, tentu saja, tak lepas dari penyimpangan. Di Jakarta ini, berapa persen jumlah orang jujurnya? Penyimpangannya apa saja, mungkin beberapa minggu mendatang baru ketahuan. Namun Joko Widodo telah menyiapkan tim independen yang bertugas melakukan pengawasan.
Sudah pasti sejumlah kalangan menyimpan pesimisme terhadap kesuksesan program ini. Dan itu berpangkal dari kurang percaya mereka pada kejujuran dalam diri orang-orang yang terlibat dalam program ini.
Pesimisme itu suatu hal yang wajar, namun harus dijawab dengan keberanian. Joko Widodo ingin mengajak warga Jakarta untuk berlaku jujur. Itu semangat yang harus dihargai.
Tulisan ini akan membahas beberapa modus penyimpangan yang bisa saja terjadi dalam program KJP. Tentu saja ini tidak beranjak dari hal yang mengada-ada. Sebab, program KJP pada dasarnya merupakan sebuah program bantuan beasiswa kepada peserta didik sebagaimana program beasiswa yang sudah ada. Modus penyimpangannya khas dan dapat ditelusuri.
Pertama, penjaringan calon penerima KJP. Di tangan orang tak jujur, data palsu bisa diubahnya menjadi data asli. Bisa saja data administratif dipalsukan mulai dari permohonan surat keterangan di tingkat RT, RW, dan Kantor Lurah. Sebagian orang mampu zaman sekarang tak malu membuat SKTM demi dapat dana bantuan.
Maka perlu dilakukan penguatan di tataran sekolah. Sekolah harus melakukan verifikasi siswa-siswi yang mengusulkan SKTM. Jangan sampai siswa yang tergolong mampu secara ekonomi mendapatkan bantuan sementara siswa yang memang miskin tidak mendapatkannya.
Dinas Pendidikan pun perlu melakukan verifikasi terhadap siswa calon penerima KJP. Verifikasi dilakukan secara acak. Ini bukan sebuah bentuk ketidakpercayaan pada sekolah. Sekadar penyeimbangan koreksi saja.
Kedua, seleksi di tingkat Dinas Pendidikan. Idealnya, semua usulan dari sekolah disetujui oleh Dinas Pendidikan. Namun karena keterbatasan dana, ditetapkan kuota bagi penerima KJP. Penetapan ini harus dilakukan secara transparan dan diketahui publik. Nama calon penerima harus diumumkan di laman Dinas Pendidikan agar siapapun dan kapanpun bisa mengaksesnya. Dengan begitu, masyarakat bisa melakukan verifikasi mandiri, menilai apakah siswa penerima KJP memang berhak mendapatkannya.
Sekolah pun diberikan keleluasaan untuk mempertanyakan penetapan itu. Jangan sampai timbul kecurigaan ada upaya memasukkan data baru tanpa melewati seleksi di tingkat sekolah.
Dinas Pendidikan juga harus membuka layanan pengaduan publik terkait program KJP dengan membuka telepon bebas pulsa. Melalui layanan ini masyarakat dapat memberikan informasi terkait pelaksanaan program berupa saran, kritik, atau informasi jika ada penyimpangan. Di sisi lain, pengaduan masyarakat bisa pula dimanfaatkan Dinas Pendidikan untuk memperbaiki sistem dan memantau perkembangan program tersebut. Dengan begitu, pengawasan publik dapat berjalan efektif dan direspon positif oleh dinas terkait.
Ketiga, pengawasan sekolah terhadap siswa penerima KJP; apakah dana itu benar-benar dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan sekolah siswa. Pengawasan bisa dilakukan oleh guru atau kepala sekolah.
Berdasarkan pengalaman, pada sebuah monitoring di kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia, implementasi pemberian bantuan pemerintah terhadap anak-anak Tenaga Kerja Indonesia di Sabah, Malaysia, bervariatif. Secara prosedural, bantuan disalurkan melalui Dinas Pendidikan Kabupaten lalu diteruskan ke siswa penerima. Namun, ternyata, prosedur itu tak berjalan efektif.
Hal demikian terjadi lantaran kondisi yang tidak diharapkan. Pertama, ketika bantuan diterima siswa, dananya digunakan oleh orangtua siswa; untuk beli kebutuhan lain di luar perlengkapan sekolah siswa seperti beras, sayuran, atau cicilan sewa rumah. Siswa tak bisa menolak kesewenangan orangtua mereka karena mereka pun sadar ekonomi keluarga serba kekurangan. Penyimpangan ini baru diketahui guru setelah melihat siswa penerima bantuan tak memakai perlengkapan sekolah yang memadai.
Kedua, dana milik siswa dimanfaatkan orangtua untuk memenuhi perlengkapan sekolah anaknya, namun karena toko yang menjual perlengkapan jauh dari tempat tinggal, atau tidak tahu toko yang menjual perlengkapan sekolah, akhirnya dana tetap utuh dan siswa tak punya perlengkapan baru. Lama kelamaan dana itu menguap.
Untuk mengatasi kedua hal tersebut, sekolah membuat kebijakan yang menjamin siswa mendapatkan haknya. Pertama, dana dari Dinas Pendidikan dipegang dan dikelola oleh sekolah. Pihak sekolah membelikan berbagai kebutuhan siswa seperti seragam, alat tulis, dan sepatu. Dana sisa pembelian dikembalikan kepada siswa. Masalahnya, sekolah tidak memiliki dana operasional untuk melakukan tugas-tugas ini. Sekolah tidak mengenakan pungutan kepada siswa, sehingga bendahara sekolah harus memutar otak untuk memenuhi dana operasional.
Kedua, dana diserahkan kepada orangtua siswa di bawah pengawasan langsung pihak sekolah. Guru kelas memantau siswa, memeriksa apakah siswa telah mendapatkan haknya. Orangtua diwajibkan menunjukkan kuitansi pembelian kepada sekolah. Jika tidak berjalan sebagaimana mestinya, pihak sekolah memanggil orangtua siswa.
Kebijakan tersebut muncul setelah rapat Komite Sekolah digelar.
Apakah dua kebijakan itu bebas penyimpangan? Tentu saja tidak. Tetap saja ada titik-titik kerawanan. Namun, bagaimanapun juga, pada akhirnya, kejujuran pelaksana yang membuat sistem bekerja baik.
Untuk siswa-siswi Jakarta, kesulitan mencari perlengkapan sekolah sepertinya mustahil. Kesulitan memilih barang dari sekian banyak pilihan bisa jadi. Dari paling murah sampai paling mahal sekalipun tersedia. Harga Pasar Pagi sampai Tanah Abang tinggal pilih.
Namun, godaan terbesar mereka adalah pemanfaatan dana untuk kebutuhan di luar perlengkapan sekolah; beli pulsa, makan, minum, jalan-jalan, hiburan, hobi. Siswa yang tidak terbiasa memegang banyak uang pun akan merasa bingung dan akhirnya sifat konsumtif menggiringnya untuk segera menghabiskan uang. Mereka pun mulai berpikir memanfaatkan dana itu untuk memenuhi keperluan yang sebelumnya agak sulit dipenuhi, misalnya rokok pada siswa dan beli alat kecantikan pada siswi.
Siswa perokok banyak juga dari kalangan ekonomi lemah. Dalam sehari mereka mengalokasikan uang jajan untuk membeli beberapa batang rokok dan sisanya minta dari teman yang kelebihan duit. Dengan adanya KJP, mereka pasti tergoda untuk menambah “kuota” beli rokok.
Iklan alat-alat kecantikan yang gencar di televisi, radio, poster, dan billboard sedikit-banyak memengaruhi siswi untuk meningkatkan kapasitas kecantikannya. Dari yang terbiasa memakai bedak KW III, misalnya, meningkat ke produk KW II. Dari memakai gincu asal merah menjadi gincu merah norak.
Para produsen kebutuhan sekunder dan tersier pasti berlomba-lomba memanfaatkan “durian runtuh” ini: daya beli masyarakat berpotensi naik. Mereka akan semakin gencar menggoda baik melalui iklan, promosi, dan bonus-bonus pembelian.
Tentu saja tak semua siswa tergoda. Namun butuh “keimanan” super kuat agar dana KJP benar-benar digunakan untuk memenuhi kebutuhan sekolah.
Di sinilah pengawasan orangtua sangat dibutuhkan. Mereka harus memeriksa pengeluaran dana KJP atau setidaknya menanyakan pemanfaatannya.
Program KJP pada akhirnya menguji kejujuran siswa-siswi Jakarta. Pemda telah menyiapkan instrumen untuk memantau berbagai penyimpangan pemanfaatan KJP. Jika terjadi banyak penyimpangan, tak menutup kemungkinan program KJP ditarik kembali.
Jadi, mari kita awasi program ini!
Jakarta, 6 Desember 2012. 17.03 WIB
Leave a Reply