Mumpung
Sudah dibaca 1284 kali
“Kau pikir,” Memet menimang-nimang deretan kalimat yang antre di kepalanya, khawatir bikin Cepi marah, “apa yang membuat orang pengin jadi pejabat di negeri ini lalu dengan penuh keberanian mengorupsi duitnya?”
Cepi menoleh sebentar pada Memet. “Tauk! Emang gue pikirin!”
“Itu karena mereka tahu dengan melakukan demikian mereka masih tetap kaya walaupun masuk penjara. Mumpung hukum di negeri ini masih banyak celah. Mumpung penegakan hukum di negeri ini masih lemah. Mumpung aparat hukum di negeri ini masih mudah dibeli. Masuk penjara, dapat remisi, duit hasil korupsi masih menggunung.”
“Bukankah itu fasilitas mewah yang juga kita nikmati?”
“Yups! Aku hanya ingin menganalisis saja. Kadang aku tergoda untuk mencari pemecahan masalah buat negeri ini.”
“Kamu kasihan pada negeri ini, Met? Tumben.” Cepi membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Pandangnya menumbuk langit-langit. Rasa iri kepada teman-temannya yang nyaleg masih meluap-luap. Andai aku tak tertangkap KPK, namaku pasti sudah masuk Daftar Caleg Sementara di KPU seperti mereka. Tak peduli dari partai mana.
“Kalau mau dengar hati kecil sih, ya… kasihan juga. Negeri sekaya ini dikepung tikus-tikus macam kita, hehe…. Tapi kita bisa apa. Kita sudah telanjur masuk ke lingkungan yang memaksa kita untuk korup. Siapapun yang masuk ke sistem korup, pasti akan ikut korup.” Memet berusaha menghibur diri sendiri. Seolah sosok tak berdaya.
“Dan, kalau orang di dalamnya coba melawan, sistem itu akan melempar bahkan mencelakakan orang yang jujur dan idealis itu.” Cepi mendesah, merasakan sesak yang merembeti dadanya. “Kau bilang tadi tergoda untuk mencari solusi. Apa solusimu?”
“Sepertinya wacana memiskinkan koruptor tak mungkin direalisasi. Miskin adalah sesuatu yang sangat ditakuti oleh orang-orang macam kita. Jadi para pejabat, baik dieksekutif maupun legislatif, akan beramai-ramai menolaknya dengan cara apapun.”
“Inilah indahnya hukum di negeri ini. Memberi kenyamanan yang luar biasa!” Cepi memaksakan bibirnya mengulas senyum. Getir.
Memet menegakkan tubuhnya. Ia tahu Cepi hanya main-main dengan ucapannya.
“Lalu apa solusimu?”
“Ide ini out of the box.”
“Kau pengusaha, itu makananmu. Out of the box…”
“Jaksa tak hanya menuntut tersangka korupsi dengan pasal antikorupsi. Pasal pencemaran nama baik dan pasal perbuatan tak menyenangkan juga digunakan untuk menjerat tersangka.”
Cepi melirik Memet yang masih mendelikkan mata. Rasa penasarannya menggelegak.
“Misalnya,” Memet menatap Cepi, “seorang anggota DPR jadi tersangka korupsi. Jaksa menjeratnya dengan tiga tuntutan: antikorupsi, pencemaran nama baik, dan perbuatan tak menyenangkan. Pejabat yang korup itu tentu telah mencemarkan nama baik DPR sebagai tempat berkumpulnya orang-orang terhormat. Ia juga telah melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan konstituennya dan rakyat Indonesia. Sebagai orang terpelajar, tentu mereka sudah memahami itu.”
“Kadang, kupikir, kau itu layak jadi praktisi hukum, Met. Kau tahu bagaimana melucuti pakaian indah yang dikenakan hukum negeri ini.”
“Jangan memuji begitu,” Memet tersanjung, “aku cuma orang biasa. Namun aku sudah punya pilihan.”
“Pengusaha yang korup? Kurasa itu jauh lebih baik daripada aparat hukum yang korup.”
“Yah, juga lebih baik daripada politikus yang korup.” Ucapan Memet terdengar begitu ringan terlontar.
Cepi bangkit. Ia melangkah mendekati Memet. Tangannya mengepal, siap diayunkan ke tubuh Memet. Wajahnya merah semeriah udang rebus. “Apa kau bilang tadi?!”
“Kau mau protes?”
Dada Cepi naik-turun dengan cepat. Matanya tajam menyorot. Mulutnya komat-kamit seakan ingin memakan Memet hidup-mati. Namun, perlahan, keras wajahnya melunak, berganti sendu. Ia kemudian merintih.
“Kenapa? Wajahmu seperti kucing mau beranak.”
Cepi menunjuk-nunjuk kakinya sembari meringis. “Kau menginjak kakiku…”
Memet buru-buru menarik kakinya. “Oh, maaf, maaf. Aku tidak sengaja.”
Cepi segera menjauh, mendekati dinding, lalu memukul-mukulnya. Rasa iri pada teman-temannya masih meraja.
Jakarta, 24 April 2013.
Leave a Reply