Nasihat Uje
Sudah dibaca 1457 kali
Berulangkali Cepi mengusap air matanya. Ia berusaha menutup-nutupi kesedihannya dari penglihatan Memet. Ia merapat ke dinding, membenamkan kepalanya dengan bantal di pembaringan, atau menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan tertangkup. Namun, semakin ia kelihatan misterius, kian penasaran si Memet.
“Kamu kenapa, Cep? Foto kucingmu hilang?” Memet membuka-buka berkas di atas meja, mencari foto kucing berparas misterius. Di otaknya, selama di sel, selain dirinya, hanya foto kucing itu yang mampu membuat hati Cepi mengharu-biru.
Cepi menoleh, memanyunkan mulut, geleng-geleng kepala, lalu kembali menyembunyikan wajahnya.
Lebay nih orang. Memet kehilangan kesabaran. Ia sebenarnya benci melihat lelaki menangis. Tapi ia berusaha menyelami arti menangis bagi laki-laki: kalau tak ada peristiwa yang benar-benar mengharukan, lelaki tak akan menangis. Termasuk saat menonton adegan sedih di sinetron.
“Aku sangat sedih, Met. Aku tak menyangka begitu cepat dia pergi. Kenapa Tuhan begitu cepat menjemput salah satu pemuda terbaik negeri ini? Kenapa tidak jemput saja pemuda lain yang malas, bodoh, dan pengangguran, atau korup sekalian? Di negeri ini, stoknya banyak. Dia tak perlu pusing-pusing memilih mereka.”
Memet terkesima. “Siapa pemuda yang kamu maksud, Cep?”
“Ustad Jefri Al-Buchori alias Uje.”
“Ustad gaul itu?”
Cepi mengangkat wajahnya. Mulutnya masih manyun. Ia lalu mengangguk-anggukkan kepala. Namun kini ia tak kemudian menyembunyikan batok kepalanya.
“Aku juga heran. Usianya masih sangat muda. 40 tahun. Tapi beberapa pemuda yang dikagumi banyak orang negeri ini juga mati muda. Chairil Anwar dan Soe Hok Gie, di antaranya. Mereka meninggal di usia 27 tahun.”
“Kenapa orang-orang yang sudah tua, yang korup dan menumpuk kekayaan dengan hasil korupsi, tidak mati-mati? Kalaupun mati, usianya sepuh. Sudah bau tanah.”
Memet mendesah, seolah berusaha menyelami pikiran temannya. “Entahlah. Mending kau sumpahi saja mereka biar cepat mati.”
“Kau pikir aku kurang kerjaan menyumpahi mereka?”
Memet terdiam. Ia ingin tahu sesuatu. “Kamu punya pengalaman bersamanya, Cep?”
Sekarang gantian Cepi yang mendesah. Ia mendorong tubuhnya ke belakang dan menumpukannya ke punggung kursi. Pikirannya mengawang. “Sebelum terjun ke dunia politik, aku seorang pencopet. Suatu hari, aku berhasil mencopet dompet seorang lelaki. Tebal sekali isinya. Aku pikir uangnya miliaran. Di tempat sepi, kubuka isinya. Ternyata…”
“Duit?”
“Bukan. Kuitansi tagihan bahan-bahan bangunan. Saat dompet itu akan kubuang, sebuah suara dari belakang mengagetkanku. Ternyata itu lelaki yang kucopet dan sedang memegang golok.”
“Lalu kamu dibacok?”
“Tidak.”
“Lho, kok tidak dibacok? Kan kamu sudah mencopetnya?”
“Kamu pengin saya mati, Met?!”
“Tidak, tidak!” Memet buru-buru meralat ucapannya. Perasaan Cepi sedang sensitif.
“Dia bilang kuitansi-kuitansi itu harus dilunasinya. Kalau dibuang, dia akan repot membayarnya.”
“Lalu kamu dibacok?”
“Kamu memang pengin saya mati, Met?!”
“Tidak, tidak! Suer! Kalau kamu mati saat itu, saya tidak bisa bertemu kamu sekarang dong.”
“Ternyata ia bendahara proyek pembangunan masjid. Ia bawa golok untuk menebang pohon. Kuserahkan dompet itu. Lalu ia mengajakku ke masjid. Singkat cerita, usai bantu-bantu bangun masjid, aku diajaknya pulang dan ia memberikanku pekerjaan.”
“Apa hubungannya dengan Uje?”
“Suatu kali aku bertanya padanya kenapa ia berbuat baik kepadaku, padahal aku telah berbuat jahat padanya. Ia bilang, saat memergokiku membuka dompet, ia sebenarnya ingin membacokku. Namun tiba-tiba ia teringat nasihat Uje dalam sebuah ceramah. Kata Uje, orang boleh membalas kejahatan yang diterimanya, tapi Allah lebih menyukai orang yang memaafkan. Ia memilih opsi kedua.”
“Kok kamu juga dikasih pekerjaan?”
“Katanya, soal ini ia juga teringat nasihat Uje: orang pengangguran jangan dikasih ikan, kasih kailnya. Suruh mancing.”
Memet heran. “Kamu dikasih kail olehnya lalu kamu mancing?”
Cepi berdecak-decak prihatin melihat nalar Memet yang dangkal.
“Ia sedang butuh sopir. Bekas sopirnya korban kecelakaan maut di kampungnya. Lalu ia mempekerjakanku.” Cepi menggigit bibirnya. “Andai Uje tak mengatakan hal yang sesuai dengan situasiku saat itu, kesejahteraanku barangkali tak kunjung membaik.”
“Lalu apa yang akan kamu lakukan sekarang?”
“Sebenarnya aku ingin mengunjungi makamnya. Atau tahlilan ke rumahnya. Kalau aku minta izin petugas KPK, pasti tidak dikasih.”
“Kok kamu yakin?” Memet coba mengetes Cepi.
“Sebab, kalau diberi izin, ribuan tahanan dan tersangka seperti kita akan minta izin melakukan hal yang sama. Kecuali, ya… tersangka korupsi yang tidak ditahan KPK.”
“Kamu belum menjawab pertanyaanku. Apa yang akan kamu lakukan sekarang?”
“Biarkan aku menghabiskan air mataku untuk melepas kepergiannya, Cep. Cuma ini yang bisa kulakukan.”
Cepi kembali tenggelam dalam isak tangis dan kesedihan yang mendalam. Memet terharu. Ia mendekati Cepi dan memijat-mijat punggungnya.
“Tinggalkan aku sendiri, Met. Aku sedang tidak ingin dihibur.”
“Aku, aku tidak bisa, Cep. Kita, kan, sedang di penjara. Pintunya dikunci. Jadi aku tidak bisa keluar dari sini untuk meninggalkanmu sendiri.”
“….”*
Tangerang, Banten. 27 April 2013.
Leave a Reply