Spread the love

Sudah dibaca 1470 kali

Saya bertemu Norma saat menyambangi kamar penginapan Jamaludin Cahya pada Kamis sore, 4 Juni 2009, di Hotel Matahari, Yogyakarta. Rencananya saya mewawancarai Cahya, siswa SLB Negeri Jepara, Jawa Tengah, juara pertama Lomba Desain Grafis dengan Komputer. Bocah sederhana berusia 13 tahun itu kelas 3 Sekolah Dasar Luar Biasa Jepara. Tingginya 90 sentimeter, beratnya 15 kilogram. Ia tunadaksa dan tak bisa berjalan tanpa bantuan ibunya.

Norma datang tak sengaja. Rekan saya, Aswan, banyak mengajaknya bicara sementara saya berbincang dengan Cahya. Sebenarnya Aswan tidak benar-benar bicara dengan Norma. Sebab, Norma tunarungu.

Wajahnya bulat, putih, dan berjilbab. Matanya besar senyumnya lebar. Ia selalu tampak ceria dan mengulas senyum. Ia menggunakan mimik wajah dan tangan untuk mengomunikasikan maksud pikirannya.

Aswan bertanya pada Mustafidah (Ibu Cahya), Ngatinah (pendamping Cahya), dan Bu Guru Naomi (guru SLB Negeri Pembina, Papua) apakah gadis tunarungu macam Norma bisa mendapatkan jodoh lelaki normal. Semua menjawab bisa saja. Saya juga setuju. Apalagi Norma tergolong cantik.

Dalam kesempatan itu saya belajar berhitung pada Norma. Bagaimana bahasa isyarat dengan jari angka 1 sampai 10. Siswa SMP LB Jepara ini dengan sabar mengajari saya dan Aswan.

Norma, di mata saya, gadis yang cantik dan sabar. Saya perhatikan bagaimana ia berusaha menjelaskan pertanyaan Aswan dengan bahasa isyarat; sabar, teliti, selalu senyum. Ia minta bantuan Ngatinah dan Naomi yang mengerti bahas isyarat untuk mencerna pertanyaan Aswan. Begitu pula saat saya bertanya padanya. Ia menunjukkan perhatian yang cukup.

Ketika saya tahu bahwa ia peserta Lomba Melukis, saya kontan memintanya untuk melukis wajah saya. Ia menyanggupi. Ia mengambil spidol dan buku lalu mulai melukis wajah lelah saya. Saya mengagumi bagiamana ia melukis dan senyum yang selalu terulas di bibirnya.

Saya lihat lukisannya. Hm, sepertinya sebuah stereotip; rambut saya digambarnya kriting. Padahal saya tidak tampak terlalu kriting sore itu. Tapi biarlah itu menjadi kebanggaan saya. Entah dia mau menertawakan “kelebihan” saya atau memang begitulah caranya melukis seseorang. Yang penting di mata saya ia tulus melakukannya.

Malamnya, sekitar pukul 21, saat pengumuman pemenang, kembali saya melihatnya. Ia duduk di kursi barisan belakang. Saya melempar senyum padanya. Saya ingin melihat bagaimana ekspresinya saat dipanggil sebagai juara. Ya, sebelum pengumuman saya tahu dia juara harapan dua dan Cahya juara pertama berdasarkan informasi dari panitia. Saya memberinya isyarat dengan acungan jempol kanan sesaat sebelum juri memanggil namanya. Saya merasa dia agak heran kenapa saya tahu bahwa namanya akan dipanggil. Dan beberapa kali saya memotretnya saat ia memegang hadiah di depan hadirin.

Entah, jika Norma bisa bicara, kalimat apa yang hendak diucapkannya pada saya. Mayoritas hadirin di ruangan itu tunarungu. Mereka ramai namun sepi saat gaduh. Hanya mimik wajah dan tangan mereka yang bicara. Mereka, kata aktor kawakan Didi Petet yang menjadi juri lomba Pantomim, hidup dalam dunia yang sepi. Sepi dalam pandangan orang normal.

Namun Norma tetap Norma. Ia selalu ceria dalam sepinya. Dan tertawa dalam diamnya. Saya bersyukur telah berjumpa dengannya.

 

Senayan, Jakarta Pusat. 10 Juni 2009.