Spread the love

Sudah dibaca 1426 kali

Memet termangu-mangu sembari memegang koran. Keningnya berkerut tiga lapis. “Ini kenapa artis rame-rame nyaleg di DPR?”

“Tak cuma artis. Mantan atlet juga banyak yang ikut nyaleg.” Suara Cepi terdengar ketus.

“Apa arena hiburan dan panggung sandiwara sudah pindah ke gedung DPR?”

Cepi manyun. Pintar sekali kau bicara, Met. Kau pun pasti akan nyaleg kalau tidak masuk sini.

Memet berdiri, menimang-nimang koran. Pandangnya mengawang. “Inilah repotnya iklim politik negeri ini. Asal punya banyak duit, bisa masuk parpol. Parpol sudah pasti senang-senang saja. Selain bakal dapat pasokan duit, mereka kekurangan kader.”

“Saling menguntungkan, Met.” Akhirnya Cepi tarik suara.

Memet merajuk. “Di mataku, kondisi ini makin memperburuk citra parpol. Mereka tak punya kader yang bisa diusung ke Senayan. Lalu lima tahun kemarin ngapain saja? Bikin arisan panci? Ke mana anggota-anggotanya?”

Ucapan bernada tinggi dari bacot Memet membuat Cepi tersinggung. Ia merasa jadi sasaran keresahan teman satu selnya itu. Ia tak mau terima. “Itulah realita perpolitikan kita. Kamu ngapain sewot?”

“Lho, bagaimana tidak sewot?! Dari tahun ke tahun, prestasi yang dicetak parpol kok cuma menelurkan orang-orang yang bakal terseret kasus hukum. Mestinya, anggota parpol dikader dengan ideologi yang dianut partai itu dong! Partai yang berasas Pancasila, tanamkan jiwa Pancasila! Partai yang berideologi Islam, benamkan nilai-nilai keislaman!”

“Kau itu seperti pura-pura tidak tahu sih, Met! Atau kau memang bodoh?! Tanya pada para anggota parpol, selama lima tahun ini, apakah ada penanaman ideologis partai oleh para pemimpin partai? Ngimpi!” Kini Cepi yang tampak sewot.

“Berani kau bodoh-bodohi aku?” Tangan Memet meremas kerah baju Cepi. “Dengar aku, Cep: ideologi sudah mati! Yang ada hanya kepentingan! Kalau kau berpolitik, lupakan ideologi, lupakan agama, lupakan hal-hal yang membuatmu lemah! Kau tahu apa yang buat kamu masuk sini? Kau sok suci!”

Cepi mengentaskan remasan Memet. Ketersinggungannya mulai memuncak. “Sebaiknya kau jangan masuk ke dunia politik, Met! Bisa-bisa semua orang berubah jadi setan seperti kau!”

“Apa kau bilang? Aku setan?!”

“Iya! Kau mau apa?! Menghalalkan segala cara macam pikiran kau tadi, memang apa kalau bukan pikiran setan?! Berpolitik juga ada etikanya, tahu!”

“Aku muak dengar kata ‘etika’ dari politikus busuk macam kau, Cep! Kau lihat tuh anak Pak Presiden yang dulu pernah keluar dari DPR. Katanya keluar mau ngurusi partai. Sekarang dia nyaleg lagi padahal dia masih pegang posisi strategis di partainya. Apalagi dia ketahuan bolos rapat tapi tanda tangan absensi. Apa ini yang dibilang berpolitik dengan etika yang santun?”

“Eh, Met, kau jangan menggeneralisasi semua politikus itu busuk macam…”

“Kau!”

“Di antara politikus di Senayan juga ada yang baik. Yang kerja tanpa gembar-gembor dan pamer citra.”

“Halah, apa kau sebenarnya pengin bilang bahwa kau itu bagian dari politikus golongan itu?”

Cepi mikir-mikir. Ia ragu-ragu mengatakan ‘ya’.

“Jadi sebaiknya kau diam saja, tak perlu bela-bela para politikus yang punya niat suci menilap duit rakyat setiba menghuni gedung batok kelapa itu!”

“Kau juga harus diam, Met! Mulutmu itu beracun, bikin tensi orang yang mendengarnya naik tak kira-kira.

“Kau yang diam!”

“Kau!”

“Kau!”

“Kau!”

“Kau!”

Memet dan Cepi saling menuding dan berucap ‘kau’ sampai tubuh keduanya lemas. Tak tega melihat mulut temannya menyon akibat terlalu sering berucap ‘kau’, Cepi mengulurkan jari kelingkingnya. “Kita damai, oke?”

Memet masih menahan sengalnya. Napasnya hampir habis. Itulah yang memaksanya menjulurkan jari ke arah kelingking Cepi. “Telunjuk! Aku menang! Kau kalah!”

“Kau yang kalah!”

“Kau!”

“Kau!”

“Kau!”

“Kau!”

 

Tangerang, Banten. Tengah malam.

Selasa, 23 April 2013.