‘Nyantri’ di Al-Ihsan Boarding School
Sudah dibaca 1664 kali

Usai menyambangi SMA Negeri 4 Pekanbaru, Riau (12/10/2016), saya ‘nyantri’ ke Pesantren Al-Ihsan Boarding School di Kabupaten Kampar, masih di Provinsi Riau. Saya dijemput oleh Wamdi, guru Bahasa Arab di Pesantren tersebut, yang juga mantan Ketua FLP Riau.
Di pesantren yang berada di Desa Kubang Jaya, Kecamatan Siak Hulu, itu saya menjalankan dua agenda. Pertama, menyampaikan materi motivasi membaca dan menulis di hadapan santri. Kedua, berdiskusi dengan pengurus sekolah terkait program literasi.
Penyampaian materi diselenggarakan di masjid. Pesertanya semua santri SMPIT dan MA. Kira-kira jumlahnya 200 orang.
Suasana acara begitu gaduh. Ada yang ramai mengikuti materi, ramai bersama teman kelompok, dan ada juga yang sepi dengan mata terpejam.
Tak banyak materi yang saya sampaikan karena waktunya memang singkat—45 menit usai acara dimulai, azan Zuhur berkumandang. Materi saya selingi dengan permainan dan kuis berhadiah. Maklum, suasana begitu riuh.
Hanya hal-hal pokok mengenai membaca-menulis yang saya sampaikan. Misalnya, dua kegiatan tersebut merupakan bagian dari perintah Allah dalam Al-Qur’an. Itu terbukti dari turunnya surat pertama dan ke-2 dalam Al-Qur’an terkait kegiatan membaca dan menulis: Al-‘Alaq dan Al-Qalam.

“Maka, jika ingin menjadi muslim yang kaaffah, seorang muslim harus melakukan kegiatan membaca dan menulis,” kata saya.
Bacalah buku yang kita senangi. Lalu, sempatkan waktu untuk menulis. Topik tulisan tentang sesuatu yang kita ketahui, dekat dengan kita, dan kita sukai.
Usai shalat zuhur dan makan siang, acara dilanjutkan dengan diskusi. Acara dihadiri oleh Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, dan Kepala Perspustakaan santri dan santriwati. Intinya, bagaimana program Gerakan Literasi Sekolah dapat diterapkan di pesantren.
Dalam diskusi ini saya sempat menyampaikan kegalauan saya yang telah lama mendekam di benak: banyak sekali remaja muslim yang tidak mengenal sosok Nabi Muhammad SAW dan mahalnya buku tentang sejarah Nabi SAW sehingga sulit dijangkau kebanyakan muslim—oleh penerbit, buku tentang Nabi dibundel dengan harga jutaan rupiah. “Mestinya,” kata saya, “kalau kita ingin sosok Nabi Muhammad SAW dikenal luas, informasi mengenai sejarah dan sifatnya mudah diakses siapa saja.” Maksud saya, banyak sekali akhlak baik Rasulullah yang bisa diketahui siapa saja dengan cara mudah: buku dengan harga murah, tulisan di internet, dll.

Melalui kegiatan literasi, diupayakan sejarah Nabi SAW dan sahabat menjadi bahan utama bacaan santri disamping tafsir dan terjemahan yang sudah tentu dipelajari. Hal ini bertujuan agar remaja muslim mendapatkan sosok idola masa kini yang berakhlak mulia ketimbang mengidolakan artis dan selebritas yang tak jelas perilakunya.
Saya juga menekankan agar tidak ada pemisahan atau dikotomi antara program literasi dan kegiatan pembelajaran. Membaca, menulis, dan berdiskusi merupakan satu paket program yang harus selalu ada dalam setiap pembelajaran.
Ujar berdiskusi, saya kembali menuju Pekanbaru, menyambangi Perpustakaan Wilayah yang konon terbesar di Asia Tenggara.*
Jadi inget 1 setengah tahun yang lalu saya baru lulus dari pesantren di Jakarta di Daarut Tauhiid..