Spread the love

Sudah dibaca 1330 kali

Sejak pagi aktivitas Memet cuma satu: mondar-mandir. Kalau dihitung, langkah kakinya telah mencapai sekitar 11,5 kilometer. Cepi meyakinkan diri bahwa itulah perhitungannya yang akurat. Bahkan ia tahu berapa kali, dalam rentang empat jam itu, Memet mengupil, garuk-garuk kepala, bersin, dan kentut.

Namun baru siang ini kemumetan wajah Memet berubah pucat. Cepi yang sedari tadi hanya diam sembari serius menghitung berbagai variabel perilaku teman satu selnya itu kini angkat bicara. Ia tak tega melihat Memet yang kini seperti makhluk pucat kehabisan darah lantaran diisap vampir kurang kerjaan.

“Aku bersedia mendengar keluhanmu.” Ucapan Cepi terdengar tegas.

Memet masih mondar-mandir. Tangannya memilin-milin janggutnya yang sedikit ditumbuhi bulu. Ia melirik Cepi sebentar, lalu sibuk lagi menyetrika lantai penjara.

“Apapun yang terjadi padamu, kau akan tetap jadi teman terbaikku.”

Memet berhenti. Lehernya bergerak perlahan, membawa pandangnya menatap Cepi. Lalu kembali menyetrika lantai.

“Kadang teman lebih mau mendengar keluh kesah kita ketimbang istri sendiri.”

Kata-kata Cepi kali ini berhasil membuat Memet bergeming. Ia melangkah mendekati Cepi dan duduk di sampingnya.

“Kau benar, Cep. Aku mengkhawatirkan mereka, namun aku tak yakin mereka mengkhawatirkanku.” Memet mengusap air mata yang telah mengering di pipinya. Sejenak ia mendongak. Kelopak matanya bergerak-gerak berusaha menelan kembali air mata yang telah dimuntahkan.

Cepi memegang bahu Memet, ingin berempati pada kegalauan yang melanda temannya.

“Sejak kasus LHI yang akhirnya menyeret nama DM, perempuan berstatus pelajar SMK yang digosipkan sebagai istri keempatnya, aku menyadari sesuatu.”

“Gosip kok dipercaya. Gosip, kan, makin digosok semakin sip.”

“Ini bukan soal gosipnya, tapi substansi persoalan itu. Kelihatan sekali kini KPK leluasa menyeret siapapun yang diduga terlibat dalam kasus suap atau korupsi yang melibatkan tersangka. Mereka pakai Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang. Orang-orang yang menerima aliran uang haram tersebut, baik kecil maupun besar, bisa diseret ke meja hijau.”

Cepi berusaha mencerna perkataan Memet dan menghubungkannya dengan situasi yang melilitnya. Memet punya tiga istri, sejumlah rumah, dan berbagai properti yang berserakan dibanyak tempat.

“Kau khawatir KPK juga akan mengenakan Undang-undang itu pada kasusmu?”

Memet mengangguk pelan. “Beberapa kasus telah terang benderang di depan mata. Kasus korupsi proyek pengadaan simulator SIM tak hanya menyidik Irjenpol DS. Istri-istrinya juga diseret. Harta dan rumah yang diatasnamakan istri-istrinya turut disita. Kasus AF juga begitu. Perempuan-perempuan yang dekat dengan dirinya, termasuk istrinya SS, ikut dipanggil KPK. Tak terkecuali LHI.”

“Lelaki korupsi, aliran dananya tak pernah jauh menyentuh perempuan-perempuan cantik di sekitarnya. Dunia, dunia….” Cepi berdecak, tertawa pada dirinya sendiri. “Akhirnya kita disuguhi panggung sandiwara penegakan hukum. Selain tokoh utama, produser, sutradara, dan penulis naskah, KPK juga menyibak para pemeran figurannya. Masyarakat akhirnya bingung dan bertanya mau dibawa ke mana kasus ini oleh KPK. Namun inilah konsekuensi penegakan hukum.”

“Dan kita dipaksa menerimanya.”

“Tak ada pilihan lain. Siapa yang berani mengintervensi KPK untuk mencegah penggunaan Undang-undang itu? Hanya kita cuma bisa cemburu karena undang-undang itu tak digunakan saat KPK menjerat mantan bendahara dan Wasekjen partai berlogo bintang mercy. Atau kasus-kasus besar lain yang melibatkan pejabat publik dan aparat penegak hukum.”

Pandang Memet kian dalam menusuk lantai. Ucapan Cepi semakin meneguhkan kegalauannya.

“Jalani saja, Met. Lelaki itu harus berani bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya.”

Memet menarik pandangnya dan menghujamkannya ke mata bulat Cepi. “Bagaimana kalau aku tak bisa menanggungnya? Ini terlalu berat, Cep!”

Sejenak senyap. Cepi menghela napas perlahan, bangkit dari duduknya, kemudian berkata sembari menjauh dari Memet. “Itu deritamu.”

Cepi mendesah. Ingin sekali ia pergi jauh demi tak mendengar raungan tangis Memet.*

 

Jakarta, 23 Mei 2013.