Spread the love

Sudah dibaca 1527 kali

Palestina kembali membara. Rudal-rudal tentara Israel menghujani Gaza. Ahmad Jabari, panglima tertinggi Brigade Al Qassam, meninggal syahid. Warga sipil termasuk perempuan dan anak-anak tak luput dari serangan membabi buta Israel.

Hamas, faksi terkuat Palestina yang menguasai Gaza, balas serang. Peristiwa demi peristiwa kemudian berlangsung seperti waktu-waktu sebelumnya: perang antara bangsa penjajah dan kaum terjajah, bangsa penindas dan kaum tertindas.

Peta dunia pun tak banyak berubah. Amerika Serikat dan negara-negara Eropa tetap teguh membela Israel. Ungkapan kecaman cuma basa-basi agar terlihat simpatik. Negara-negara Islam mengumbar kutukan.

Perserikatan Bangsa-bangsa, seperti biasa, hanya jadi kambing congek. Kalau saja ada resolusi mengutuk Israel, Amerika Serikat dengan mudah membatalkannya dengan menggunakan hak veto. Ya, lima negara Anggota Tetap Dewan Keamanan PBB punya hak veto; Amerika Serikat, Rusia, Prancis, Inggris, dan China. Tujuannya satu: membatalkan keputusan bersama yang merugikan salah satu negara itu. Di era demokratisasi sekarang ini, sistem tak demokratis dan oligarkis macam hak veto itu tetap dipertahankan negara-negara yang telah lama menerapkan demokrasi di negaranya masing-masing. Paradoks.

Konflik Israel-Palestina memang jadi panggung paradoks negara-negara dunia. Amerika Serikat, juga negara-negara Eropa, yang selalu mengusung isu Hak Asasi Manusia, tutup mata pada tiap pembantaian dan pelanggaran HAM Israel. Negara-negara Islam di Timur-Tengah, yang secara emosi dan agama dekat dengan Palestina, hanya bisa tebar kutukan.

Ini sama halnya saat Amerika Serikat menyerang Irak pada 2001. Bermodal fitnah bahwa Saddam Hussein punya senjata kimia, bahkan nuklir, negara adidaya itu menggempur Irak. Inggris ikut-ikutan tapi kelihatan bodohnya waktu Tony Blair, Sang Perdana Menteri, berkata Irak bisa menyiapkan senjata pemusnah massal dalam 15 menit. Hingga Saddam digantung mati, senjata kimia dan nuklir tak ditemukan.

Negara-negara lain cuma bisa berkoar. No Action Talk Only. Namun, yang mengharukan, jutaan warga dunia menentang agresi itu. Mereka berasal dari beragam agama dan ideologi. Sebab semua tahu, skenario sebenarnya serangan Amerika Serikat adalah demi penguasaan minyak Irak. Kerugian terbesar yang harus dibayar adalah literatur kuno di perpustakaan dan bangunan peradaban Islam banyak yang hancur.

Ini memang panggung yang paradoks.

Hamas, organisasi perlawanan terhadap Israel, dicap teroris oleh PBB—disponsori Amerika Serikat dan Israel. Apapun yang mereka lakukan untuk mempertahankan Palestina dianggap bentuk terorisme. Padahal Hamas sangat dekat dengan masyarakat Palestina. Mereka mendirikan sekolah, rumah sakit, dan memberi santunan pada warga yang meninggal.

Seandainya PBB telah berdiri pada abad XIX, barangkali Panglima Diponegoro dan kelompoknya dicap teroris. Pemerintah Kolonial Belanda bersekutu dengan Amerika Serikat dan Inggris, tentu mudah sekali melakukannya.

Lalu Panglima Soedirman dicap teroris. Bung Tomo dicap teroris. Soekarno dicap teroris. Mohamamd Hatta dicap teroris. Orang-orang yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial, yang oleh rakyat Indonesia dianggap pahlawan, dicap teroris.

 

Sebaliknya Daendels yang membunuh ribuan kaum pekerja pribumi untuk membangun jalan Anyer-Panarukan dianggap pahlawan. Westerling yang membantai ratusan ribu warga Sulawesi Selatan juga didaulat sebagai pahlawan.

Ini memang panggung yang paradoks. Hukum rimba berkuasa: yang kuat yang menang. Pemilik sejarah adalah orang-orang yang berkuasa.

Namun percayalah hanya orang-orang kreatif yang bisa melawan paradoksal itu. Mungkin kita perlu belajar dari para sineas Turki. Jika Israel tak bisa dihancurkan di dunia nyata, mereka bisa diobrak-abrik di dunia film. Polat Alemdar, tokoh pahlawan di film Valley of the Wolves: Palestine, bersama dua rekannya, mengejar jenderal Israel yang bertanggung jawab terhadap penyerangan dan pembunuhan terhadap para aktivis kemanusiaan di kapal Mavi Marmara.

Markas tentara Israel diluluh-lantakkan. Fasilitas persenjataan dihancurkan. Jenderal Mosche Ben Eliezer akhirnya tewas di tangannya.

Polat, agen Turki itu, gesit, ahli menggunakan senjata, dan bidikannya selalu tepat. Jika Rambo bergerilya di hutan-hutan Vietnam, Polat bergerilya di keramaian Palestina.

Ini hanya ada di film. Tentu saja jauh beda dengan dunia nyata.

Namun melalui film persepsi sejarah bisa dibelokkan. Amerika menciptakan Rambo bukan untuk mengalahkan Vietkong yang berhaluan komunis. Tugas utamanya menghapus kenyataan sejarah: Amerika Serikat kalah dalam perang dengan tentara Vietnam Utara.

Bagaimanapun film hanya berjaya di dunia imajinasi. Namun toh kekuatannya begitu nyata memengaruhi kesadaran banyak orang. Palestina tetaplah sebuah kenyataan sejarah yang mesti dibela. Sebab sejarah kebaradaannya hendak dihapus oleh Israel. Jika diam, sama saja setuju dengan penghapusan itu. Ini memang panggung yang paradoks.

 

Kunciran, Tangerang, Banten. 16 November 2012.