Paradoks
Sudah dibaca 1500 kali
“Kasus LHI makin seru saja,” kata Memet. Ia rajin mengikuti kasus mantan presiden dari partai bulan sabit itu.
“Apanya yang seru? Soal mobil sitaan KPK atau rekannya AF yang bikin dia jadi tersangka?” Sebagai politikus, Cepi selalu tertarik dengan kasus-kasus yang menyeret pejabat parpol. Ia pun punya analisis sendiri tentang kasus dugaan suap impor daging sapi ini.
“Semuanya. Pertama, hari ini partai itu mengadukan KPK ke Polri terkait prosedur penyitaan mobil. Kupikir, buat apa sih mengadukan soal kecil begitu? Tidak substantif sekali.”
“Lho, Met, bukannya mestinya kamu senang kalau KPK digugat-gugat?” Cepi merasa heran, sebagai koruptor mestinya Memet senang jika KPK terus digoyang.
“Aku rasa kasus ini tidak akan berdampak luas. Kecuali, nanti, aduan itu membuat lima pimpinan KPK turun semua. Tapi, kan, yang diadukan sepuluh penyidik dan Jubir KPK. Tidak sampai seperti kasus Cicak Vs Buaya.”
Cepi manggut-manggut. “Aku juga setuju. Tapi biarlah pengadilan yang akan memutusnya. Toh ini tak ada sangkut-pautnya dengan kita. Tapi menurutku, yang lebih menarik si AF itu, Met!”
Memet menepak bahu Cepi. “Ah, aku tahu! Pasti soal cewek-cewek cantik di sekitarnya, kan? Kabarnya, VS, teman ceweknya yang foto model majalah panas, lagi laris jadi incaran cowok-cowok di Youtube.”
“Aku lebih tertarik tentang sosoknya yang paradoks. Kata S, sopir pribadinya, AF orang yang pintar agama dan fasih bahasa Arab. Tapi S ini tidak pernah lihat AF shalat, apalagi shalat Jumat.”
“Kan aku sudah pernah bilang, Cep, orang Indonesia itu banyak yang sifatnya paradoks. Kedalaman seseorang terhadap ilmu agama tak otomatis membuatnya berakhlak baik. Kau ingat kasus pembantaian jamaah A di Cikeusik beberapa waktu lalu. Dengan sadis sejumlah orang membantai orang lain sambil teriak takbir. Nama Tuhan dibawa-bawa padahal aku yakin malaikat-malaikat di atas sana menangis melihat nama Tuhan dibawa saat pesta sadistis itu digelar.”
“Aku pun ngeri melihatnya.” Cepi bergidik. Ia melihat video pembantaian manusia itu lewat laman Youtube. Ia tak habis pikir kenapa sesama makhluk ciptaan Tuhan saling membunuh dengan cara di luar perikebinatangan.
“Jadi kadang kita sering tertipu dengan penampilan seseorang. Kelihatannya alim, nyatanya brengsek.” Memet melirik Cepi. Cepi balas melirik Memet. Lalu keduanya tertawa terbahak-bahak. Itulah momen ketika keduanya saling menertawai diri sendiri.
“Tak jauh dengan kita ya, Met. Lulusan sarjana, diajar hal-hal baik di sekolah, tapi perilakunya justru bertentangan dengan yang diajarkan sekolah.” Cepi seperti ingin menyalahkan sekolah yang tidak efektif membentuk karakter peserta didik.
Namun Memet tahu apa yang berkecamuk di pikiran Cepi. “Masalahnya, kita lebih meneladani perilaku orang-orang di luar sekolah, Cep. Bisa masyarakat sekitar, atau pun orangtua kita. Kita tak bisa menyalahkan sekolah karena orangtua dan masyarakat menyerahkan pendidikan seutuhnya ke institusi sekolah. Jadilah sekolah babak belur.”
“Diskusi kita sudah melebar nih, Met. Balik lagi ke AF. Yang aku tak habis pikir, AF berciuman dengan istrinya SS di depan orang-orang. Tidak tahu malu ya dua orang itu!”
“Masih mending ciuman dengan istrinya, Cep. Kalau ia melakukannya dengan istri orang lain, bisa repot urusannya.” Suara Memet terdengar enteng. Soal cium-mencium, ia jagonya. Ketiga istrinya telah mengakui keterampilannya itu. Lalu Memet bersuara lirih, “Kabarnya sebentar lagi AF akan satu sel dengan kita.”
Mendengar ucapan Memet, Cepi sumringah. “Serius?!”
Memet menatapnya curiga. “Memang, kalau dia di sini, kamu mau apa?”
Cepi berdiri sambil cengar-cengir. “Ya… kemungkinan besar kita bisa melihat adegan itu lagi.”
Lalu keduanya tertawa-tawa lagi.*
Tangerang, Banten. 12 Mei 2013.
Leave a Reply