Spread the love

Sudah dibaca 1331 kali

Memet mondar-mandir sembari garuk-garuk kepala hingga rambutnya rontok hampir botak. Cepi yang berbaring di ranjang bingung. “Ngapain mondar-mandir, Met? Kayak…”

“Kalau kau bilang lagi aku mondar-mandir kayak kucing mau beranak, kubanting, kau!”

Cepi merengut. Pandangnya menunduk, tak berani menatap mata Memet yang hampir lompat dari kelopaknya. Ih serem, kayak Mak Lampir.

“Saya sudah kehabisan pikiran. Bagaimana bisa dengan status sama tapi perlakuannya beda. Apalagi, katanya, ini kejahatan luar biasa alias extra ordinary crime.”

Cepi berbalik badan supaya tak terlihat Memet. Ia bicara menghadap dinding. “Masih kasus si AU yang ke Bali lihat kucing mau beranak?”

“Ini bukan lagi soal kucing mau beranak, Cepi! Ini soal alasan tidak ditahannya tersangka korupsi. Katanya, mereka tidak ditahan karena tidak akan kabur atau menghilangkan alat bukti. Kurasa, itu alasan primitif. Mana mungkin koruptor macam kita tidak pengin kabur atau setidaknya menghilangkan barang bukti? Atau bersekongkol dengan orang lain agar kejahatan kita sulit terendus.”

“Sebenarnya semalam aku juga memikirkan itu, Met.” Kali ini Cepi tak lagi memunggungi Memet. Ia menatap Memet dengan dada membusung. Kata-katanya terdengar serius. “Aku jadi mikir, jangan-jangan kita cuma jadi korban semangat pemberantasan korupsi di negeri ini. Maksudku, kita cuma orang yang ketiban sial.”

“Hangat-hangat tahi ayam?”

“Ih, jorok, jangan ngomong soal kotoran ah…”

“Aku jadi ada ide, Cep! Nanti, pas wartawan mewawancarai aku atau kau, kita bikin wacana agar dilakukan penghapusan diskriminasi terhadap penegakan hukum. Kita juga usung isu hak asasi manusia bagi tersangka korupsi seperti kita. Kita minta supaya para tersangka korupsi yang telanjur ditahan boleh berwisata sekali seminggu.”

“Masak cuma sehari, Met. Kurang. Dua hari, dong!”

“Otak kau encer juga, Cep.”

“Mana ada otak korup macam kita tidak encer, Met. Apapun, asal bisa disogok, sudah masuk ranah keahlian kita. Kucing yang tidak mau beranak pun bisa kita sogok supaya segera beranak.”

Memet mendengus. Ia tak habis pikir di otak Cepi yang ada cuma wacana soal kucing mau beranak. Ia lalu duduk di kursi, sedikit membungkuk, kemudian menelekan dagunya pada kedua telapak tangannya. Pikirannya mengawang-awang.

“Kalau rencana kita berhasil,” Cepi seperti tahu apa yang sedang dipikirkan sohibnya itu, “kamu mau wisata ke mana, Met?”

Memet tak menjawab. Ia sibuk dengan pikirannya sendiri. Ini memancing Cepi untuk menebak-nebak.

“Kukira, kau sedang memikirkan istri mana yang akan kau gilir untuk ikut wisata bersamamu. Itulah repotnya kalau punya istri lebih dari satu. Satu diajak, yang lain cemburu.” Di ujung ucapan, Cepi menyadari perkataannya asal jeplak. Ia merasa bersalah dan takut Memet akan bereaksi keras. Ah, kukira ia sedang membayangkan bagaimana menafkahi istri. Dasar koruptor piktor!

Tiba-tiba Asan, pengacara Memet, datang. Kali ini wajahnya ceria.

“Aku punya kabar gembira buat kalian,” tukas Asan.

“Tunggu dulu, San!” sela Memet. “Dengar, ini tugas barumu. Saat aku diperiksa KPK, kau kumpulkan wartawan. Bilang pada mereka bahwa aku akan menggelar jumpa pers. Penting!”

“Soal apa?”

“Aku ingin menggulirkan isu persamaan hak di depan hukum. Aku ingin tersangka korupsi dapat jatah liburan wisata dua hari dalam seminggu!”

“Gila kau, Met!” Asan memekik. Ia tak menduga ide Memet secemerlang itu. Dasar koruptor, sudah mengisap darah rakyat, pengin diperlakukan seperti raja. Untung kau berani bayar aku mahal. Kalau tidak, sudah kutinggalkan kau jauh-jauh hari. Kampret!

“Bagaimana, bisa, kan? Kalau berhasil, tanah kavling milikku di Teluk Semangka dan Teluk Langsa buat kau.” Memet membayangkan bisa berwisata ke Pulau Komodo bergantian dengan istri-istrinya.

“Beres! Semua bisa diatur. Yang penting siapkan saja apel Washington dan apel Malang.”

Cepi yang sedari tadi seperti kambing congek angkat bicara. Ia kambing hitam, tak mau berganti peran menjadi kambing congek. “Kau tadi mau menyampaikan kabar gembira. Kabar apa?”

“Begini…” Asan tampak ragu. “Besok tunangan saya akan ulang tahun…”

“Wah, selamat ya!” Memet dan Cepi kompak bersuara.

“Siapa namanya? Ulang tahun keberapa?” kejar Memet.

“Namanya Inah. Usianya 26 tahun.” Tiba-tiba Asan merasakan ketakutan mematuk benaknya.

Memet diam sejenak. Berpikir keras. Kayaknya nama itu tak asing di telingaku.

“Aku harap kalian pengertian.”

Memet dan Cepi tahu maksud Asan: minta sumbangan. Memet menjanjikan memberi Asan seratus juta.

Tapi Memet masih gelisah dengan pikirannya. Soal nama itu yang tak asing di memori otaknya. Ketika Asan hendak pamit, ia bertanya, “Siapa tadi namanya? Inah? 26 tahun? Sepertinya aku kenal nama itu.”

Namun Asan sudah buru-buru menjauh. Meskipun ia mendengar teriakan Memet, ia memutuskan untuk pura-pura tak mendengar. Dugaan kau benar tentang siapa dia, Met. Inah salah satu istrimu yang selingkuh denganku.

Tangerang, Banten. 2 April 2013.