Pesan Politik
Sudah dibaca 1450 kali
“Kau tahu,” Memet menatap Cepi dengan pandang berbinar-binar, “akhirnya si AU masuk bui!”
Ekspresi Cepi datar. Pandangnya sebentar menatap langit Sukamiskin yang mendung, lalu beralih ke lapangan luas yang terbentang di hadapannya.
“Kau kenapa, Cep? Tidak suka?”
“Biasa aja kaleee!”
“Lho, jangan pandang ini peristiwa biasa-biasa saja, Cep! Setelah sekian lama berstatus tersangka, akhirnya mantan Ketua Umum Partai D itu merasakan dinginnya lantai penjara.”
Cepi seperti tak menggubris. Kini tatapnya mondar-mandir ke taman-selokan-koridor-selokan-taman-toilet.
“Peristiwa ini sudah ditunggu banyak orang! Termasuk oleh orang-orang PD sendiri. Yah, katanya sih, supaya citra partai kembali mentereng.”
“Aku tahu apa yang kau syukuri, Met.” Tiba-tiba suara Cepi meletup dan bernada ketus. “Akhirnya kekesalanmu terbalas, kan?”
“Terbalas?” Memet heran.
“Iya, dulu kau pernah iri kepada si AU. Ketika ia ditetapkan sebagai tersangka kasus gratifikasi Hambalang oleh KPK, ia tak langsung ditahan. Kau iri dia masih bisa berkumpul dengan istri dan anak-anaknya. Iya, kan?”
Memet mendelik, mengingat-ingat masa lalu sewaktu di tahanan Jakarta. “Iya, hehehe.”
“Lalu, apa yang kau harapkan sekarang? Mau ditahan satu sel dengannya?”
“Aku tak sudi! Lebih baik aku di sini mencabuti rumput-rumput liar. Aku khawatir kalau dekat dengannya terseret persoalan politik. Bukankah penahanannya juga tak lepas dari pertarungan politik?”
“Tapi kukira si AU ini agak unik, Met.” Cepi sok serius. Nada bicaranya datar. “Di mana-mana, kalau orang ditahan itu diam atau ketawa-ketiwi. Lha ini si AU malah mengucapkan terima kasih. Ke Ketua KPK-lah, ke para penyidik KPK-lah disebutkan namanya satu per satu, dan ke Pak Presiden SBY. ‘Semoga ini jadi hadiah tahun baru,’ katanya.”
“Itu tak lebih dari manuver politik, Cep. Jangan sok lugu deh! Itu sebuah pesan politik. Pesan yang disampaikan kepada orang-orang yang girang melihatnya ditahan. Lagi pula, sejak awal, semua proses hukum yang dilakukan KPK akhirnya selalu dikait-kaitkan dengan politik. Yah, namanya politikus. Banyak masalah, ujung-ujungnya berwarna politis.”
Cepi mengangguk-angguk. “Kita yang rakyat kecil cuma bisa mangap dan tertawa melihat kelakuan mereka.” Cepi membuka mulutnya sembari mendelikkan mata seperti orang dungu.
Lalu keduanya tertawa. Tak peduli tahanan lain menatap aneh ke arah mereka.
“Kau tahu apa yang kupikirkan sekarang, Met?” sela Cepi.
Memet mengangkat bahu.
“Sejak beberapa bulan lalu kita menghuni tempat ini, aku punya firasat akan bertemu…” Cepi sungkan meneruskan ucapannya. Wajahnya seketika berubah sendu.
Memet segera mengusap-usap bahu Cepi, coba menenangkan perasaan sahabatnya. Kepindahan ke Bandung menyibak rencana-rencana Tuhan yang telah disiapkan buat mereka: harta ludes membayar denda, istri minta cerai, dan orang-orang terdekat menghapus ingatan tentang mereka. Tak satupun pernah membesuk. Tapi, sepertinya, Cepi tidak sedang memikirkan nasib buruknya. Lalu firasatnya mengatakan ia akan bertemu siapa di sini?
Cepi tahu Memet bingung dengan ucapannya. Ia segera mengeluarkan selembar foto ukuran 5R yang terlipat di saku celananya: foto seekor kucing yang wajahnya seperti sedang beranak.
Gigi Memet bergemerutuk menahan deru dadanya yang hendak meledak. Matanya melotot mengawal langkah-langkah panjang Cepi menjauhinya.
“Sompret!”
Tangerang, 12 Januari 2014
Leave a Reply