Ratu Lembah Hitam
Sudah dibaca 1462 kali
Di negerinya ia diagung-agungkan sekaligus dihujat. Terkenal sekalian tidak diakui keberadaannya. Dari lembah hitam ia disulap menjadi ratu. Ratu Lembah Hitam (RLM).
Pada dasarnya ia sama dengan Noordin M. Top (NMT), gembong teroris asal negeri jiran. Sama-sama menyebar virus yang bersifat laten. Dampak virus NMT pada korban-korbannya adalah kematian jasad yang menyeramkan (tubuh hancur, luka). Sementara dampak virus ini—kita sebut saja virus RLM—yaitu kematian hati yang menakutkan (hati kotor, keras).
Virus NMT menjangkiti orang-orang yang hatinya membenci. Targetnya bisa siapa saja. Karena keberadaannya di muka bumi seperti Virus H5N1, maka sebagian besar orang mengharapkan kehancurannya. Hanya sebagian kecil yang tetap menginginkan keberadaannya.
Virus RLM lebih dahsyat lagi. Tak hanya orang-orang yang hatinya membenci yang ia jangkiti. Hati orang alim pun bisa pula diserangnya. Ia tidak seeksklusif Virus NMT. Ia inklusif, hadir di ruang-ruang publik dalam bentuk yang belum bermetamorfosis. Ya, RLM adalah virus hasil metamorfosis dari perilaku masyarakat yang gemar bermain-main dengan syahwat.
Sebagian penduduk negeri ini sebenarnya sudah terjangkit virus RLM. Bagi penderita yang telah mencapai stadium akhir, mereka berubah menjadi monster terutama bagi para perempuan; balita, anak-anak, remaja, dewasa, ibu, nenek-nenek. Motif perbuatan mereka pemerkosaan disertai pembunuhan. Sungguh mengerikan.
Anehnya, ada saja sebagian orang yang gemar bermain dengan virus ini. Bahkan mendagangkannya. Taufik Ismail, sastrawan, mensinyalir gerakan mereka sistematis dan terencana. Ia menyebutnya “Gerakan Syahwat Merdeka”. Pada 20 Desember 2006, di depan Akademi Jakarta, dalam pidato kebudayaannya bertajuk “Budaya Malu Dikikis Habis Gerakan Syahwat Merdeka”, ia menyebutkan 13 komponen Gerakan Syahwat Merdeka.
Pertama, perilaku seks bebas yang dilakukan terang-terangan dan sembunyi-sembunyi. Kedua, penerbit majalah dan tabloid mesum. Ketiga, produser, penulis skrip, dan pengiklan acara televisi syahwat. Keempat, situs porno di internet. Kelima, penulis, penerbit, dan propagandis buku syahwat-sastra dan sastra. Keenam, penerbit dan pengedar komik cabul. Ketujuh, produsen, pengganda, pembajak, pengecer, dan penonton VCD/DVD biru. Kedelapan, fabrikan dan konsumen alkohol. Kesembilan, produsen, pengedar, dan pengguna narkoba. Kesepuluh, fabrikan, pengiklan, dan pengisap nikotin. Kesebelas, pengiklan perempuan dan laki-laki panggilan. Keduabelas, germo dan pelanggan prostitusi. Ketigabelas, dokter dan dukun praktisi aborsi.
Layaknya kartel, mereka bekerja sama, bahu-membahu membuat jejaring yang lebih luas. Mereka memanfaatkan undang-undang, kebodohan, dan kemiskinan untuk mengembangkan diri. Membentuk kerajaan besar yang penduduknya berperilaku seperti komponen pertama. Kerajaan ini dipimpin oleh Ratu Lembah Hitam.
Ratu Lembah Hitam diciptakan oleh komponen ketiga dan keempat. Ia menjadi tenar lantaran kerja keras komponen ketujuh.
Untuk memperluas jangkauan, Ratu Lembah Hitam hendak disulap menjadi Ratu Lembah Putih. “Kandangnya” diubah warna dari biru ke putih. Sebagian orang menyambutnya gembira seraya berkata, “Dia main di kandang putih, bukan kandang biru.”
Tak ada yang bisa menjamin Ratu Lembah Hitam hanya main di kandang putih saat mampir di negeri ini. Semua tergantung selera pemilik kandang. Kalau sang pemilik menginginkannya bermain di sebuah apartemen, rumah mewah, atau areal kebun, diikuti aksi komponen ketujuh, tak ada kamera CCTV yang dapat membuktikannya.
Andai Ratu Lembah Hitam dapat main di kandang putih, para penonton berusaha mendekatinya, mengenali kehidupannya, menjadikannya idola, lalu meniru perilakunya. Sebagian dari mereka berkata, “Wow, enaknya jadi Ratu Lembah Hitam! Bergelimang harta. Dipelototi banyak orang. Diinginkan banyak lelaki. Diantre banyak pengiklan dan produser. Bebas main di kandang hitam dan putih.”
Dengan kecanggihan teknologi, mesin pencari menuntun mereka pada kandang biru Ratu Lembah Hitam yang penuh hipnotis. Sebab, hanya dengan menatapnya, bayangan Ratu Lembah Hitam langsung bertengger di otaknya. Pada saat-saat strategis, Ratu Lembah Hitam berkoak-koak, mengepak-ngepakkan sayap. Pemilik kepala di mana bersemayam Ratu Lembah Hitam gelisah, mencari tempat penyaluran. Ketika kegelisahannya memuncak, matanya memerah. Dari kepalanya keluar tanduk. Kulit tubuhnya mengelupas, berubah menjadi sisik-sisik. Taringnya menyeruak dari mulut, menjuntai hingga dagu. Ekornya keluar lalu mengibas-ngibas cepat. Tapi aroma tubuhnya sangat wangi. Wangi sekali hingga lebah pun iri padanya.
Kalau sudah begini Wiro Sableng tak bisa berbuat apa-apa. Para pendekar kehabisan suara. Ratu Lembah Hitam berdiaspora seperti Jurus Seribu Bayangan milik Naruto. Panah Arjuna hanya bisa melesat beberapa meter. Kuku Bima sulit tumbuh. Gundala terkena osteoporosis.
Lalu di suatu hari seorang anak menghampiri ibunya. Pandangnya berbinar karena berhasil merebut koran dari tangan ayahnya seraya berucap, “Ma, lihat, Ratu Lembah Hitam kok tidak pakai baju dan celana?” Sang Ibu dengan murka merampas koran lalu bertanya, “Kamu dapat dari mana koran ini?!” “Tadi pas ayah lengah, saya berhasil mengambilnya,” jawab sang anak, polos. “Teman-teman di sekolah juga sering melihatnya. Kan dijual bebas di pinggir jalan, Ma! Masak Mama tidak tahu?” Sang Ibu mendengus. “Sepertinya saya kenal orang ini, Ma,” lanjut sang anak.
Sebenarnya Ibu itu sudah tahu. Ia pun pura-pura kaget. Tangannya terkepal, giginya bergemerutuk, wajahnya sangar, membuat sang anak gemetar lalu lari menjauh. Kemudian tubuhnya lunglai, jatuh ke lantai.
Kening ibu itu menyentuh lantai. Bibirnya bergetar, komat-kamit. Air matanya deras bercucuran. Ia sangat hafal wajah Ratu Lembah Hitam di koran itu. Wajah yang belasan tahun lalu keluar dari rahimnya.
Ayah datang. Bergumam sebentar. Kemudian merampas koran itu dari tangan istrinya. Ia berlalu. Tatapnya lekat menatap Ratu Lembah Hitam. Bibirnya menyungging senyum.
Duren Sawit, Jakarta Timur. 14 Oktober 2009.
Leave a Reply