Rendang
Sudah dibaca 637 kali
Tiap pagi hidung saya “makan” rendang. Berkah rumah padang di sebelah rumah. Aromanya sangat menusuk. Hidup mampatpun bisa ditembus. Rendang masakan nomor satu dunia dan flu tak mampu mengalahkannya.
Selain rendang, ada aroma lain yang mengundang. Tentu saja karena rumah padang tidak hanya menjual rendang. Tak elok menolak aroma gratisan. Nikmati saja. Walau tidak kenyang di perut tetapi kenyang di hidung.
Itu “surga” dunia. Yang ini “neraka” dunia.
Tiap hari telinga saya “makan” bising knalpot sepeda motor. Dampak bengkel motor di seberang rumah. Pagi-siang-malam tak ada habisnya. Entah kenapa banyak orang senang memiliki motor dengan knalpot bising.
Tiap hari pula suara-suara tak diinginkan menyapa telinga saya. Ondel-ondel, tukang tahu bulat, orkes, dll. Hingga tengah malam. Mereka bolak-balik sepanjang Jalan KH. Mas Mansyur, Kunciran Indah, Pinang, Tangerang, dari Pasar Bengkok sampai perempatan Paku Jaya, menyapa pembeli dan pedagang lapak dan kios yang berdiri di sepanjang jalan.
Kondisi ini tak bisa dihindari. Saya dan orang-orang yang tinggal di pinggir jalan harus menerimanya. Lapang dada atau dongkol tak ada bedanya. Saya tak bisa meminta pengendara motor mengganti knalpot bisingnya, memaksa ondel-ondel, tukang tahu bulat, dan orkes melintas di jalan. Sekali lagi, saya dan orang-orang di sepanjang jalan harus menerimanya. Dengan dada berisi kelapangan sekaligus kedongkolan.
Kalau tidak mau mendengar kebisingan ya harus pindah rumah. Hanya itu pilihannya. Pilihan sulit kalau tidak punya uang untuk beli rumah. Masihkah ada program transmigrasi?
Jadi, pilihannya hanya dua: pindah rumah atau berdamai dengan ketidaknyamanan. Kalau begini, saya jadi ingat dengan filsafat stoic: kalau tidak bisa melawan, cobalah untuk berdamai dengannya.
Untuk bisa mencapai kemampuan itu butuh banyak latihan. Latihan pertama adalah berdamai dengan akal sehat: banyak orang membiarkan dirinya membuat orang lain tidak nyaman.
Membiarkan dirinya? Ya. Sebab mereka tahu konsekuensi perbuatannya dan memutuskan untuk terus menjalaninya. Dengan penuh kesadaran dan sedikit kekhawatiran ditegur oleh Tuhan.
Ini memang soal toleransi: lapang dada menerima ketidaknyamanan yang dilakukan pihak lain. Sebab, bisa jadi, orang berbuat di luar kekuasaannya. Atau ketidaktahuannya. Kembali lagi, pilihan hanya dua: berdamai dengan ketidaknyamanan atau pergi. Masing-masing punya konsekuensi yang tidak mudah dijalani.
Kunciran, 20 Maret 2022, 19.57 WIB.
Leave a Reply