Spread the love

Sudah dibaca 1457 kali

MESKI saya bukan orang penting bagi Prof. Dr. Deliar Noer, namun dia orang penting bagi saya. Pertama kali saya mengenal baca al-Qur’an secara sistematis yaitu saat saya belajar baca al-Qur’an dengan metode Iqra (jilid 1-6). Saat itu saya kelas 1 SMP.
Saya mengaji di mushala yang terletak di belakang rumah Pak Deliar, masih dalam kompleks rumahnya.

Mengaji dengannya, waktu itu, rasanya seperti berhadapan dengan orang tua yang tegas dan disiplin. Kalau salah baca dimarahi. Harus berani mengulang. Namun di balik “ketakutan” itu saya mencoba untuk menguji “keberanian” saya, bahwa kalau mau pintar harus tegas dan disiplin seperti yang dia contohkan.

Selama enam tahun saya mengaji di mushalanya. Ketika duduk di bangku Sekolah Teknologi Menengah, saya menjadi salah satu pengajar di sana. Selulus sekolah pada 1998, karena tidak lulus UMPTN, saya bekerja di rumahnya selama tiga bulan.

Pada intinya saya membantu Syarif, sekretarisnya. Pekerjaan saya cukup sederhana: mengkliping koran, memfotokopi berkas (di rumahnya ada mesin fotokopi), mengantar surat ke kantor pos, dan membayar tagihan listri dan telepon ke bank. Karena waktu itu Bu Zahara, istrinya, kena stroke, saya turut mengantarkannya beberapa kali dalam seminggu terapi di Rumah Sakit MMC Kuningan.

Sejumlah ruangan di rumahnya dipenuhi buku yang tertata rapi dalam rak-rak buku yang tinggi. Tempat saya bekerja di salah satu ruangan itu. Meski sering sendirian saat mengkliping koran, saya sangat menikmatinya. Selain bisa sekalian membaca berita-berita penting yang telah ditandai Pak Deliar untuk digunting, saya bisa membaca sejumlah buku yang tertata di dalam rak buku—yang tak terkunci.

Pernah saya mengutarakan keinginan untuk meminjam buku pada Pak Deliar. Ternyata dia tidak keberatan untuk mengambilkannya untuk saya. Dia mengambil kunci rak buku dan mengambilkan sebuah buku Hadits Bukhari—jilid 2 bersampul hijau hardcover.

Menyambut Pemilu 1999, Pak Deliar mendirikan Partai Umat Islam. Kadang saya membantu Syarif mengangkat telepon dari masyarakat yang menanyakan perihal partai ini. Saya memfotokopikan artikel tentang PUI dan memposkannnya, dikirim ke masyarakat penanya.

 

TADI pagi, 19 Juni, saya baru menyempatkan diri takziyah ke rumahnya. Setiba di depan jenazahnya saya membacakan surat al-Fatihah dan Ayat Kursi. Saya juga menyalami Bu Zahara dan Om Dian (saya memanggil ‘Om’ pada anak tunggal Pak Deliar yang bernama lengkap Dian Muhammad Noer). Tak lama kemudian Dr. Arif Rachman, pakar pendidikan UNJ, mengajak sejumlah pelayat berkumpul di depan jenazah untuk menyalatkan (sekali lagi) Pak Deliar. Ahmad Sumargono, bekas anggota DPR, menjadi imam shalat. Saya berdiri di shaf ke-lima.

Pukul 8.41 rombongan iringan jenazah meninggalkan kediaman, Jalan swadaya Raya No. 7-9 Duren sawit Jakarta Timur. Saya duduk di ambulans yang membawa jenazah almarhum, berempat dengan Om Dian, Fahmi (tetangga depan rumah), dan Iman (orang yang biasa membantu Pak Deliar). Tiba di pemakaman Karet Bivak pukul 9.13.

Pemakaman dihadiri sejumlah tokoh, seperti Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, Wakil Ketua MPR AM Fatwa, dan pengamat politik Arbi sanit. Di sana saya juga bertemu Syarif yang kini bekerja di fatwacenter.

Usai pemakaman saya kembali ke rumah almarhum Pak Deliar. Saya menyempatkan diri ke mushala yang sekitar 10 tahun tak lagi saya datangi. Di sana memori saya berputar-putar, mengingat masa-masa mengaji dulu, saat menjadi anak beranjak remaja. Memandangi tempat di mana saya biasa berinteraksi dengan almarhum Pak Deliar saat menaruh buku Iqra di atas lehar menghadap almarhum Pak Deliar.

Selamat jalan Pak Deliar Noer. Jasamu sangat besar bagi perkembangan sejarah modern bangsa Indonesia ini. Pemikiran dan teladanmu akan terus dikenang dan dilestarikan oleh orang-orang yang pernah membaca dan merasakan langsung berinteraksi denganmu, baik di ruang kuliah maupun di luar kampus. Engkau pun akan terus hidup di hati saya dan anak-anak pengajian lain yang pernah menjadi muridmu. Semoga kepergianmu membawa hikmah bagi bangsa ini.

 

Duren Sawit, Jakarta Timur. 19 Juni 2008.