Semiloka Literasi Sekolah: Bagaimana Seharusnya Sekolah Berliterasi
Sudah dibaca 1858 kali
Pada 24-26 November 2015, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud menyelenggarakan Semiloka Literasi Sekolah di Swiss-Belinn Manyar Surabaya, Jawa Timur. Pesertanya adalah tim literasi di lingkungan Ditjen Dikdasmen, yaitu Sekretariat Ditjen Dikdasmen, Direktorat Pembinaan SD, Direktorat PembinaanSMP, Direktorat PembinaanSMA, Direktorat Pembinaan SMK, dan Direktorat Pembinaan PKLK. Acara dibuka oleh Hamid Muhammad, Dirjen Dikdasmen, pada Selasa sore (24/11/2015).
Hadir sebagai pembicara beberapa perwakilan institusi dan pakar di bidang literasi yang tampil dalam diskusi panel. Diskusi panel sesi I digelar Selasa malam. Panelisnya adalah Nurcahyo dari Perpustakaan Nasional yang bicara tentang “Peran Perpustakaan dalam Rangka Menggairahkan Literasi Sekolah”; Arini Pakistyaningsih, Kepala Badan Arsip dan Perpustakaan Kota Surabaya, yang berbagi pengalaman tentang “Peran Perpustakaan Kota Surabaya dalam Pengembangan Literasi di Sekolah”; dan Emi Emilia dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud memaparkan tentang “Kebahasaan dalam Pengembangan Literasi Sekolah”. Moderatornya Wien Muldian dari Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat yang juga seorang aktivis perbukuan.
Diskusi ini sangat berbobot, membahas peran perpustakaan dalam membangun budaya literasi. Antusiasme peserta pada diskusi membuat acara baru selesai pukul 22.30 WIB.
Diskusi panel sesi II digelar Rabu pagi (25/11/2015). Panelisnya yaitu Ahmad Rizali, Staf Khusus Mendikbud, yang berbicara tentang Praktik-praktik Baik Literasi Indonesia ke Depan; Pangesti Wiedarti, dosen Universitas Negeri Yogyakarta, membahas “Praktik Literasi di Beberapa Negara”; Ikhwan, Kepala Dinas Pendidikan Kota Surabaya, memaparkan tentang “Praktik Literasi di Kota Surabaya”; dan Elih Sudiapermana, Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung, berbagi pengalaman tentang “Praktik Literasi di Kota Bandung”. Moderatornya Satria Dharma, Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia.
Diskusi ini juga sangat berbobot. Para panelis bicara tentang pengalamannya di bidang literasi. Banyak pelajaran yang diambil peserta Semiloka dari paparan pengalaman para panelis.
Usai diskusi panel, acara berikutnya yaitu penyempurnaan Panduan Umum dan Petunjuk Teknis Literasi Sekolah. Sebenarnya ini acara intinya. Sebab, sebelum Semiloka, tim literasi Ditjen Dikdasmen telah membuat draft Panduan Umum dan Petunjuk Teknis Literasi Sekolah. Semiloka didesain bagi peserta untuk mengetahui praktik literasi di Surabaya dan menggali ilmu dari para praktisi di bidang literasi. Hasil pengalaman tersebut dimanfaatkan untuk menyempurnakan draft Panduan Umum dan Petunjuk Teknis Literasi Sekolah. Diskusi yang berlangsung mulai siang hingga malam hampir pukul 23.00 dipandu oleh Pangesti Wiedarti.
Selain diskusi panel yang sangat menarik dan berbobot, ada beberapa catatan dalam Semiloka Literasi Sekolah yang menurut saya juga sangat penting ditulis. Pertama, secara umum, acara ini menjadi bagian penting dalam upaya pemerintah c.q. Kemendikbud memperbaiki kualitas literasi siswa Indonesia yang dalam survey tiga tahunan Programme for International Student Assessment (PISA) selalu menempatkan negeri ini di urutan buncit. Survey terakhir (2012) oleh lembaga yang berada di bawah naungan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD—Organization for Economic Cooperation and Development) ini, literasi siswa Indonesia berada diurutan 64 dari 65 negara. Survey PISA pada 2015 belum diumumkan. Namun, sepertinya, peringkat Indonesia tak jauh beranjak dari posisi sepuluh besar dari belakang. Sangat memprihatinkan.
Peraturan Mendikbud Nomor 23 tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti dipandang sebagai pintu masuk pengembangan literasi di negeri ini. Salah satu butir lampiran Permendikbud ini berisi tentang pewajiban siswa membaca buku nonpelajaran selama 15 menit sebelum waktu belajar dimulai. Persoalannya, dalam 15 menit itu, kegiatan apa saja yang bisa dilakukan siswa dan guru serta buku apa saja yang cocok dibaca siswa. Dalam konteks dunia pendidikan formal, panduan mengisi waktu 15 menit tersebut sangatlah penting. Salah satu tugas tim literasi Ditjen Dikdasmen adalah membuat panduan tersebut.
Kedua, Semiloka Literasi Sekolah dimulai dengan kunjungan tim literasi masing-masing direktorat ke satuan pendidikan di Surabaya pada Selasa pagi (24/11/2015). Sekolah yang disambangi SD Negeri Bubutan IV, SMP Negeri 1 Surabaya, SMA Negeri 5 Surabaya, SMK Negeri 1 Surabaya, dan Sekolah Inklusi Galuh Handayani Surabaya.
Saya bergabung dengan tim literasi Direktorat Pembinaan SD. Tim diterima Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, dan pustakawan SD Negeri Bubutan IV di ruang kepala sekolah. Kami juga diterima oleh Duta Literasi SD Negeri Bubutan IV. Sekolah ini tiap tahun memilih Duta Literasi. Dari hasil diskusi, diketahui bahwa Surabaya telah menerapkan aturan 15 menit baca buku nonpelajaran sebelum waktu belajar sejak tiga tahun lalu.
Usai diskusi, kami diajak berkeliling. Lokasi pertama adalah ruang perpustakaan. Perpustakaan di sekolah ini sangat luas. Koleksi bukunya banyak. Selasa pagi itu, ruang tengah perpustakaan dipenuhi siswa-siswi yang tengah melakukan kunjungan perpustakaan. Kunjungan perpustakaan merupakan program wajib bagi tiap siswa untuk mengunjungi perpustakaan. Mereka didampingi guru kelas dan pustakawan.
Koleksi perpustakaan tak hanya dipenuhi buku yang dibeli dari dana BOS Buku. Buku juga dipasok dari para donatur meliputi orangtua siswa, lembaga, dan perusahaan melalui kegiatan CSR. Jadi koleksinya begitu bervariasi; buku pelajaran, pengayaan, umum, dan majalah.
Kami kemudian menyambangi beberapa kelas. Di tiap pojok kelas ada bagian khusus yang disebut Book Corner alias Pojok Buku. Di situ ada rak berisi buku yang kapanpun bisa dibaca siswa. Sekolah pun menggelar lomba Pojok Buku. Ada piala bagi sang juara.
Di beberapa kelas lain, tak hanya Book Corner yang tampak. Ada pula pajangan hasil karya tulis dan gambar siswa, buku catatan hasil baca buku siswa, dan papan penilaian prestasi siswa. Kelas tak lagi tampak sebagai ruang belajar yang kosong melompong. Kelas di isi dengan produk siswa yang merupakan bagian dari proses mereka menjalani kegiatan belajar di sekolah.
Ketiga, perhatian pejabat Kemendikbud terhadap Semiloka Literasi Sekolah begitu besar. Di tengah riuh peringatan Hari Guru Nasional di kantor Kemendikbud (salah satu puncaknya memang pada 24 November 2015), Hamid terbang ke Surabaya untuk membuka Semiloka. Tak hanya membuka, ia juga bicara panjang lebar mengenai literasi.
Ada satu kalimat penting yang ia ucapkan di hadapan peserta Semiloka. Katanya, pergantian kurikulum ternyata tak memengaruhi kemampuan berliterasi peserta didik negeri ini. Survey PISA dilakukan pada tahun 2000, 2003, 2006, 2009, dan 2012. Dalam rentang 12 tahun itu, kurikulum sudah berganti-ganti, mulai dari Kurikulum 1994, 2004, 2006 (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), hingga 2013. Namun ternyata kemampuan literasi siswa Indonesia cenderung turun.
Survey PISA tahun 2000 menunjukkan Indonesia berada pada posisi ke-39 dari 41 negara peserta. Survey berikutnya, tahun 2003, urutan Indonesia ke-40 dari 41 negara peserta. Tiga tahun berikutnya, tahun 2006, posisi Indonesia di urutan ke-48 dari 56 negara peserta. Pada tahun 2009, Indonesia peringkat ke-57 dari 63 negara peserta. Indonesia berada di urutan ke 64 dari 65 negara peserta pada survey PISA tahun 2012.
Makanya, ucap Hamid, harus dilakukan upaya terobosan agar kemampuan literasi siswa Indonesia meningkat. Semua pemangku kepentingan harus bahu membahu mengubah situasi ini.
Ahmad Rizali juga menunjukkan perhatian serius pada Semiloka Literasi Sekolah. Usai diskusi panel, ia masih mengawal pembahasan Panduan Umum dan Juknis Literasi Sekolah hingga sore menjelang kepulangan ke Jakarta.
Menurut Rizali, literasi Dikdasmen ke depan akan bersinergi dengan kegiatan literasi di unit utama lain seperti PAUD Dikmas, Kebudayaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, dan Pusat Kurikulum dan Perbukuan. Sehingga nanti akan dicapai Literasi Kemendikbud.
Panduan Umum dan Juknis Literasi Sekolah masih harus disempurnakan. Perlu kerja keras tim untuk mencapainya.
Surabaya Kota Literasi
Pemilihan lokasi Semiloka di Surabaya bukan tanpa alasan. Surabaya setahun lalu telah mendeklarasikan diri sebagai Kota Literasi. Saya mendapat gambaran luas tentang perjalanan literasi di Subaya usai berbincang dengan Ratih dari Badan Arsip dan Perpustakaan Kota Surabaya di sela acara Semiloka. Menurutnya, Surabaya menjadi Kota Literasi karena dukungan dari pejabat eksekutif dan legislatif.
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, kata Ratih, sangat suka membaca. Ia mendukung penuh berbagai aktivitas yang membesarkan kegiatan literasi. Tiap tahun anggaran pengadaan buku ditingkatkan. Gedung perpustakaan dibangun megah dan diisi banyak koleksi buku.
Anggota DPRD juga mendukung melalui penganggaran APBD. Ratih berkata hanya pengadaan buku yang anggarannya tak pernah turun. Anggota DPRD malah mempertanyakan jika anggaran pengadaan buku berkurang. Hal itu terjadi, kata Ratih, karena mereka dan keluarganya telah merasakan dampak positif program literasi yang diusung Rismaharini.
Ratih juga bercerita tentang upaya Arini membesarkan perpustakaan Surabaya. Arini, katanya, senang berkeliling mengampanyekan pentingnya buku dan perpustakaan ke berbagai acara.
Salah satu program penting yang menyokong literasi Surabaya adalah rekrutmen pustakawan. Pustakawan disebar ke sekolah-sekolah di Kota Surabaya. Satu pustakawan satu sekolah. Dari 500-an pustakawan yang ada, Ratih membawahi 400-an pustakawan.
Pustakawan itu bertugas menjalankan program literasi yang digalang Arini. Selain membantu sekolah dalam kegiatan perpustakaan, pustakawan juga ditugaskan mengurus taman bacaan masyarakat yang ada di Rukun Warga. Kombinasi kegiatan literasi di sekolah dan masyarakat membuat masyarakat Surabaya begitu peduli pada keberadaan buku.
Terus terang saja saya “cemburu” dengan Surabaya. Hal ini saya ungkapkan kepada Ratih. Cemburu karena Jakarta, kampung halaman saya, ibu kota negara, tak terasa semangat literasinya. Perpustakaan, sama seperti museum, adalah tempat yang jarang dikunjungi masyarakat karena terkesan tak menarik. Para pemangku kebijakan sibuk bongkar-pasang pejabat dan menggenjot daya serap sementara kebutuhan masyarakat akan literasi tak terpenuhi.
Lihat saja kelas-kelas di gedung-gedung sekolah yang megah itu. Tak tampak Pojok Buku. Ruang perpustakaannya pun tak besar-besar amat dan sepi peminat.
Semoga situasi ini segera berubah. Literasi tak hanya kegiatan baca dan tulis. Lebih dari itu, literasi merupakan bagian penting yang menghubungkan antara materi bacaan dengan realitas kehidupan. Dengan literasi, orang mampu menyelesaikan permasalahan hidupnya dari ilmu yang dicerapnya.*
Leave a Reply