Spread the love

Sudah dibaca 1511 kali

Saya ingin sekali menonton film Superman. Tokoh superhero asal Amerika Serikat itu sudah merasuki alam imajinasi saya sejak saya kecil. Lewat komik, film kartun dan pernak-perniknya. Ia menjadi tokoh tak terjangkau karena saya tidak terlalu mendalam mengenal karakter dan asal-usulnya saat itu. Maka, penayangan kembali versi terbaru Superman lewat Superman Returns di bioskop memancing saya untuk menontonnya. Setidaknya saya bisa langsung melihat bagaimana aksi heroiknya, kryptonite, Lois Lane, Lex Luthor dan tokoh karakter lainnya.

Maka pada 24 Juli lalu, bertepatan dengan hari Senin dalam paket nonton hemat (nomat)—saya memang menyengajakan menonton pada hari ini karena tiketnya lebih murah—saya menyambangi gedung bioskop Buaran, pinggir Jalan I Gusti Ngurah Rai, Jakarta Timur.

Dari kantor di Kemayoran, Jakarta Pusat, saya meluncur pukul 17.30. Saya kurang yakin akan dapat menonton Superman Returns mengingat jarak tempuh perjalanan yang relatif jauh. Dan benar saja, setiba di sana, film tersebut akan kembali ditayangkan di teater 3 pukul 20.15. Penayangan sebelumnya pukul 17.15. Saya tiba pukul 19.00. “Biarlah. Demi memuaskan hati, jam berapapun saya jabani,” kata saya dalam hati.

Lalu saya pergi ke musala yang terletak di pojok kanan belakang bioskop. Salat maghrib dan beberapa menit kemudian salat isya. Kemudian menunggu selama sekitar satu jam dengan duduk-duduk di sofa lobi. Mengisinya dengan membaca buku kumpulan tulisan ideolog Iran Ali Syari’ati. “Kapan, nih, buku saya selesai baca ya,” gumam saya.

Pukul 19.35 loket penjualan karcis dibuka. Saya, yang duduk di seberang loket, segera menghambur dan berdiri di barisan belakang para pengantre. “Banyak juga peminatnya,” pikir saya. Sambil menunggu giliran,  saya mengamati sejumlah anak kecil yang dilepas oleh orang tuanya, berlari-larian dan berguling-guling di lantai seolah itu rumah mereka. Usai mendapat karcis saya kembali duduk di sofa dan menekuri buku.

Saya berpikir alangkah enaknya menonton film sambil makan makanan kecil. Biasanya saya makan kacang kulit yang murah. Namun di satu-satunya kantin yang terletak di bagian dalam belakang bioskop itu tidak menjual kacang kulit. Setelah memindai harga-harga makanan yang tertera besar-besar di papan tulis putih di dinding, saya memilih membeli berondong seharga Rp 1.500. Habis yang lainnya relatif lebih mahal ketimbang harga di luaran.

Pukul 19.54 pintu teater dibuka. Tidak terburu-buru saya memasukinya. Sebab, memang jam segitu film belum dimulai. Di dalam saya duduk di kursi nomor 13 D. Terletak di tengah-tengah dan agak ke belakang. Biasanya saya mengambil duduk di depannya, 13 A atau 12 A.

Seru
Kali pertama menyaksikan tampilan layar saat film dimulai, saya segera takjub. Penggambaran luar angkasa, sebuah tempat aneh yang tidak pernah langsung saya lihat, begitu bagus. Setting grafis detail. Kemudian saya menduga bahwa kelanjutannya akan bagus pula. Dan benar saja,

Superman, dalam cerita ini, baru pulang kembali ke bumi setelah lima tahun bertualang mencari kampung halaman sebenarnya, Planet Krypton–planet ini telah lama hancur. Walau ia sudah tahu kabar kehancuran planetnya, ia ingin membuktikan laporan sejumlah astronot yang mengaku telah menemukan planetnya. Namun kabar itu cuma isapan jempol.

Sekembali ke bumi, semuanya berubah. Lois Lane, rekan sejawatnya di harian Daily Planet, membuat sebuah tulisan yang membuatnya dianugerahi Pulitzer—penghargaan tertinggi dalam dunia pers di Amerika Serikat terhadap hasil suatu liputan mengagumkan, sama seperti Piala Oscar di dunia perfilman. Tajuknya “Why The World Doesn’t Need Superman–Mengapa Dunia Tidak Memerlukan Superman”.

Yang lebih membuat Clark Kent—nama samaran Kal-El alias Superman—kaget, ternyata Lois Lane telah bertunangan dengan Richard yang juga teman sekantornya. Richard adalah keponakan Perry, Chief di Daily Planet, yang telah memiliki anak lelaki bernama Jason. Masa lalu kembali terkenang, di mana antara ia dan Lois Lane pernah terjalin hubungan asmara. Sebenarnya kondisi inilah—pertentangan Lois Lane dan Clark Kent–yang mewarnai film ini. Bahwa Lane marah pada Kent karena Kent tidak memberi tahu kepergiannya selama lima tahun. Semua sudah berubah. Tapi Kent tetap berusaha mendekati Lane.

Kemunculan Superman ke hadapan publik Metropolis—kota di mana Superman berada—adalah pada saat ia menyelamatkan sebuah pesawat percobaan. Sebuah tayangan langsung televisi menyorot Lane dan sejumlah wartawan sedang bertanya kepada seorang pemandu. Di situlah Kent, di markas Daily Planet, pertama kali setelah lima tahun melihat Lane. Pesawat itu mengalami gangguan akibat pasokan listrik yang tiba-tiba hilang dan beberapa detik kemudian kembali normal. Tidak, melebihi normal. Semua gedung di Metropolis dan peralatan yang menggunakan listrik padam. Lalu tak lama kemudian kembali ke keadaan semula namun melebihi ambang normal. Termasuk memengaruhi sistem kerja pesawat tersebut.

Pesawat rusak dan terancam mengalami kehancuran. Di situlah Superman memberikan pertolongan—barangkali motivasi terbesarnya karena ada Lane di dalam pesawat itu. Setelah bekerja keras melepas bagian-bagian pesawat yang terbakar, ia berhasil menahan pesawat jumbo itu dengan memegang moncongnya di tengah lapangan baseball yang sedang menggelar pertandingan dan dipenuhi ribuan penonton.

Maka dimulailah popularitas Superman. Perry mengumpulkan semua personelnya. Menyuruh mereka memasukkan segala hal tentang Superman di rubrik-rubriknya. Termasuk dalam rubrik kesehatan. “Berapa berat badannya?” katanya. Ia sangat yakin korannya akan laku keras bila memberitakan Superman.

Lois yang telah lama tidak menulis tentang Superman merasa tidak berminat lagi. Ia lebih tertarik menulis tentang pemadaman listrik. Namun Perry sebagai chief menolaknya. Ia menugaskan Lane menulis lagi Superman sementara soal pemadaman diurus Kent.

Superman menjelajah dunia. Dengan pendengaran tajamnya ia bisa mendengar banyak orang membutuhkan pertolongan. Dalam rentang waktu sangat dekat, ia berada di tempat-tempat terjauh hingga Filipina. Dunia kembali mengagungkan keberadaannya. Kehadirannya menjadi pemberitaan semua media massa.

Otak pemadaman listrik kota, yang juga mengakibatkan kecelakaan pesawat, adalah Lex Luthor, ilmuwan jahat yang berambisi menguasai dunia. Dengan batu Kryptonite yang diambil dari ‘kediaman’ Superman di Kutub Utara, musuh bebuyutan Superman ini membuat percobaan pada miniatur kota di laboratoriumnya. Batu itu, setelah diceburkan ke dalam air, akan mengembang dan menyerap energi listrik sangat besar di sekitarnya dan tak lama kemudian mengembalikan energi listrik dalam kondisi tak stabil. Proses pengambilan dan pengembalian energi ini mengakibatkan kerusakan hebat di sekitarnya.

Hasil penelitian tersebut memunculkan tesis, bahwa bila batu Kryptonite berukuran besar ditanamkan pada lautan, maka ia akan mengembang lebih besar dan menyerap banyak energi di sekitarnya. Lebih dari itu, akan lahir sebuah daratan baru di mana milyaran penduduk bumi tewas akibat tergusur planet baru Kryptonite. Tanah Amerika Serikat, di mana batu tersebut ditanamkan di laut dekatnya, akan musnah lebih dulu. Lex Luthor menceritakan rencana ini kepada Lane saat wartawati itu datang ke kapal mewahnya bersama Jason. Di tempat ini Lane dan Jason disandera.

Sulitnya mengetahui keberadaan Lane membuat gusar Richard dan Kent. Untunglah Lane telah mengirim fax ke Daily Planet mengenai keberadaannya berupa titik koordinat. Richard dengan pesawat airnya menyusul.

Perkembangan cepat batu Kryptonite dari dasar laut membuat kapal yang dihuni Lane dan Jason terancam—Luthor dan beberapa anak buahnya telah pergi dengan helikopter. Sebuah batu yang menjulang ke permukaan menusuk jantung kapal dan membelahnya menjadi dua bagian. Richard yang—tiba-tiba—telah berada di situ terjebak bersama Lane dan Jason dalam lambung kapal. Mereka ikut karam bersama bagian kapal yang lain.

Di saat genting Superman datang. Menolong mereka. Lalu ia menuju tanah Kryptonite yang telah menjadi pulau. Di sana ia bertemu Luthor beserta anak buahnya. Karena kekuatan Superman hilang bila berada di dekat Kryptonite, Superman menjadi bulan-bulanan mereka. Luthor, yang telah mencuri bongkahan Kryptonite dari sebuah museum lewat ‘aksi pencurian yang cerdik’, menusukkan Kryptonite ke perut Superman. Superman terluka dan jatuh ke dasar laut.

Jason, lewat pesawat yang dikendarai ayahnya, melihat Superman muncul ke permukaan untuk kemudian tenggelam. Lane juga melihatnya.  Sebelum menyentuh dasar laut, Lane mengangkat tubuh Superman ke pesawat. Di pesawat Lane mencabut serpihan Kryptonite yang terhujam di perut Superman. Kekuatan Superman kembali pulih.

Superman kembali mencari Luthor. Ia mengangkat pulau Kryptonite dari dasar laut dan melemparnya ke ruang angkasa. Luthor yang berada di pulau tersebut berusaha menyelamatkan diri. Hanya ia dan Kitty, serta satu anjingnya, yang selamat. Beberapa anak buahnya mati tertimpa bongkahan batu. Ia berhasil menyelamatkan diri dengan helikopter walaupun beberapa batu Kryptonitenya jatuh ke laut setelah dilempar Kitty—Kitty tidak suka kalau milyaran manusi amati akibat kemunculan pulau tersebut.

Setelah membuang duplikasi planet Kryptonite jauh-jauh ke luar angkasa, Superman jatuh ke bumi. Di rumah sakit detak jantungnya terdeteksi sangat lemah. Koma. Sekeping Kryptonite tersisa yang bersarang di perutnya di keluarkan oleh tim dokter. Penduduk bumi mendukung kesembuhannya.

Lane dan Jason datang membesuk. Lane, yang percaya Superman mencintainya—dan ia sebenarnya juga mencintainya—mencium Superman dengan harapan setelah itu Superman bangkit dari tidurnya. Namun, sesudah itu, detak jantungnya tidak mengalami peningkatan di layar deteksi jantung. Sebelum pulang Jason mencium kening Superman.

Besoknya Superman sudah lenyap dari rumah sakit. Ia sembuh seperti sedia kala.

Sosok Kesepian
Barangkali penulis skenario Michael Dougherty dan Dan Harris serta sutradara Bryan Singer ingin menggambarkan Superman sebagai sosok kesepian. Sepi karena planetnya benar-benar telah lenyap dan sepi ditinggal orang yang dicintainya, Lois Lane. Film yang telah menghabiskan dana sekitar Rp 2,2 triliun ini juga tetap menggambarkan Superman sebagai lelaki yang agak kaku dalam menghadapi perempuan dan kurang romantis. Tiap menjelang akhir perpisahannya dengan Lane, Superman hanya berucap, “Good night, Lois—Selamat malam, Lois.”

Saya pikir penggambaran karakter Superman yang kesepian mirip dengan penggambaran Peter Parker alias Spiderman. Dalam rilis terakhir filmnya, Spiderman 2, Spiderman digambarkan sebagai orang yang mencari jati diri sebenarnya. Seorang manusia yang mengalami dilema antara menjadi superhero yang menghabiskan waktu dengan menolong banyak orang, dan manusia biasa yang mengharap bisa menjalin asmara dengan kekasihnya, Mary Jane. Malah Spiderman sempat menanggalkan kostumnya.

Kesamaan penggarapan karakter ini mungkin sedang mendominasi alam imajinasi para pekerja sineas di Holywood sana. Kondisi psikis superhero disorot dengan aspek yang lebih manusiawi—sedih, senang, dilematis, dll. Tokoh superhero tidak lagi digambarkan sesempurna mungkin; kuat, tegar, tak terkalahkan, tidak pernah mengeluh dan mendapatkan apa saja yang diinginkan.

Kelemahan
Saya—dengan berbagai kekurangan penilaian dan tanpa maksud mengurangi kesuksesan film ini–menangkap beberapa kelemahan di film ini, yaitu pada hal-hal kecil menyangkut aktivitas Superman sendiri. Ketika ia meninggalkan ibu angkatnya, Martha Clark Kent, untuk kembali bekerja di Daily Planet, ia mengatakan belum mendapat tinggal tetap kepada Lane. Tapi tidak diceritakan tepatnya di mana Kent tinggal. Juga aktivitasnya sebagai wartawan selama ia di Daily Planet. Tidak terlihat ia melakukan aktivitas jurnalistik kecuali saat ia memegang catatan kecil ketika Perry mengumpulkan para personelnya. Yang terlihat di Daily Planet adalah Kent yang mengagumi dirinya sendiri saat melihat gambar Superman di tayangan televisi.

Lalu Luthor yang terdampar di sebuah pulau terpencil gara-gara bensin helikopternya habis. Memang itu terserah penulis skenario dan sutradaranya, apakah hal-hal kecil itu boleh diabaikan atau tidak. Sejauh pengamatan saya, mereka telah berusaha melakukan ‘rasionalisasi’ di berbagai adegan.

Saya juga merasa ganjil dengan Jason. Saat Lane dianiaya oleh seorang anak buah Luthor di kapal, Jason yang hanya bisa melihat kejadian itu, dan dalam keadaan sesak napas karena asma, mendorong piano besar yang baru ia mainkan. Anak buah Luthor itu mati terkena serudukan piano. Pertanyaannya: bagaimana bisa Jason mendorong piano seberat itu? Lalu adegan super Jason juga terlihat ketika mereka dikurung dalam ruangan terkunci. Pada detik-detik terakhir, Jason membuka pintu—walau kelihatannya ayahnya yang membukanya.

Sutradara menjawabnya ketika Superman singgah ke kamar Jason setelah kabur dari rumah sakit. Superman, dalam rona haru, mengatakan beberapa hal kepada Jason yang tengah tidur pulas. Ia katakan, suatu saat kekuatan yang dimilikinya akan berpindah ke anak itu. “Ayah menjadi anak dan anak menjadi ayah,” kata Superman. Saya tidak mengerti maksudnya. Apa karena saya belum membaca komiknya? Barangkali.

Jurnalistik
Saya sangat menyukai hal-hal berbau jurnalistik. Baik buku maupun film. Dan Superman Returns, tentu saja, juga mengisahkan kerja-kerja jurnalistik. Sebab Clak Kent adalah seorang wartawan, meskipun aktivitas kewartawanannya kurang ditonjolkan ketimbang aksi heroiknya.

Seperti Lois Lane yang memperoleh Pulitzer. Sudah saya tulis di muka, Pulitzer adalah penghargaan tertinggi dalam dunia jurnalistik Amerika. Kesuksesan seorang wartawan kadang bisa dinilai dari kesanggupannya mendapatkan penghargaan bergengsi ini. Sebab tidak semua wartawan bisa mendapatkannya. Untuk mendapatkan sebuah liputan yang masuk dalam kriteria Pulitzer tidak mudah. Tidak sekadar mengandalkan tulisan yang mendalam. Namun saya sendiri tidak tahu apa yang diceritakan Lane dalam tulisannya “Why The World Doesn’t Need Superman”.

Lane sebagai sosok wartawati andal tergambar dari pemilihan berita. Saat semua media menyoroti kembalinya Superman ke bumi, Lane malah tertarik menyelidiki pemadaman listrik. Ciri sebuah berita dianggap investigatif adalah orisinalitas dan berbeda dengan ‘mainstream’ pemberitaan yang tengah berlangsung. Juga menguak skandal/kejahatan seorang atau sekelompok tokoh yang merugikan orang banyak—tentu berbeda sekali dengan media di Indonesia yang senang melabelkan ‘investigasi’ pada pengungkapan perpecahan rumah tangga seorang artis atau terungkapnya kasus maling ayam.

Film ini juga menggambarkan bagaimana ideologi sebuah media ketika menjalankan bisnisnya. Perry berkata kepada personelnya, masyarakat senang pada berita tragedi, seks dan Superman. Tapi dengan kedatangan Superman, tragedi dan seks tak lagi menarik dijual. Maka ia menginstruksikan para personelnya untuk mengangkat cerita Superman dalam semua rubrik korannya. Padahal tidak semua rubrik bisa menampung berbagai cerita seputar Superman. Hanya dengan mengait-kaitkannya saja cerita itu bisa terlihat relevansinya. Misalnya rubrik Kesehatan mengangkat Superman dengan membahas: setelah lama tidak terlihat, berapa berat tubuh Superman sekarang? Bertambahkah?

Memang film ini menggunakan aktivitas jurnalisme sebagai tempelan saja. Juga Peter Parker yang menjadi wartawan foto/fotografer. Jadi maklum saja bila film heroik tidak mengeksplorasi aktivitas jurnalistik secara mendalam.

Di Indonesia, film yang turut menyertakan kegiatan jurnalistik para tokohnya adalah ‘Ada Apa dengan Cinta?’ (diperankan oleh Dian Sastro Wardoyo sebagai Cinta dan Nicholas Saputra sebagai Rangga) lewat kegiatan majalah dinding sekolah dan Issue (dibintangi Tamara Bleszynski) dengan kegiatan peliputannya.

Film tentang jurnalistik dan penulis buku
Sebenarnya banyak film, baik barat dan Indonesia, yang menyertakan kegiatan jurnalistik dalam skenarionya. Namun sepertinya belum ada film Indonesia yang benar-benar menceritakan secara penuh kegiatan kewartawanan ini. Selalu ada bumbu lain semisal percintaan yang mewarnai kisah ceritanya.

Berbeda dengan barat (Amerika Serikat) yang telah memiliki tradisi kewartawanan cukup lama. Banyak kisah nyata maupun rekaan yang telah diangkat ke layar lebar. Yang paling legendaris berjudul ‘All The President’s Men’. Film ini diangkat dari novel karya Bob Woodward dan Karl Bernstein yang menceritakan bagaimana kedua wartawan Washington Post ini mengungkap kejahatan Presiden AS Richard Nixon dalam pemilihan umum. Kedua wartawan ini menceritakan proses yang mereka alami dari mewawancarai ribuan nara sumber selama kurang lebih tiga tahun hingga turunnya Nixon dari kursi kepresidenan pada 1974 gara-gara pengungkapan skandalnya ini. Skandal ini dinamakan ‘Watergate’ karena gedung tempat penyadapan terhadap kubu Partai Demokrat bernama Watergate.

Lalu ada ‘War Photographer’. Film dokumenter seorang fotografer perang nomor satu dunia, James Nachtwey, dalam menjelajahi kekejaman perang, konflik berdarah dan kemiskinan di sejumlah negara dunia termasuk Indonesia.

Seorang teman yang aktif di Pers Mahasiswa asal Yogyakarta, dalam sebuah mailing list merekomendasikan agar menonton film-film bagus yang pernah ia tonton. Semua film itu menyangkut biografi para penulis terkenal. ‘The Hours’, kisah novelis Virginia Wolf. ‘The Disappearence of Garcia Lorca’, kisah lenyapnya penyair necis dari Andalusia Federico Garcia Lorca. ‘Sylvia’, kisah tragis kematian penyair Inggris Sylvia Plath. ‘Agatha’, kisah novelis terkenal Agatha Christie. ‘Quillls’, kisah penulis porno pertama di Eropa Marquis de Sade. ‘Finding Forrester’, kisah novelis peraih Pulitzer. ‘Anne Frank’, kisah yang diambil dari catatan harian Anne Frank, seorang perempuan yang hidup pada masa pemerintahan Nazi Adolf Hitler. ‘Farewell to arms’, kisah cinta wartawan dan novelis Ernest Hemingway.

‘Basic Instinct’ juga mengangkat kisah novelis yang diperankan oleh aktor sensual Sharon Stone.

Penutup
Sebagaimana judul di atas, Superman dan Anak Nakal, saya akan bercerita mengenai suasana bioskop Buaran saat berlangsungnya film Superman Returns. Saya duduk di kursi 13 D. Seorang Bapak dan Ibu serta satu anak lelakinya duduk di belakang saya, kursi 11 E dan 12 E. Sementara keluarga teman mereka yang duduk di deretan kursi seberang saya membawa dua anak perempuan. Ketiga anak itu saya kira hampir sama usianya. Sekitar tiga-empat tahun.

Saya menyadari ternyata penonton malam itu, selain banyak dihadiri remaja yang berpasangan, juga dipenuhi orang tua—bapak-bapak dan ibu-ibu. Teringatlah saya pada kata-kata redaktur saya ketika masih di kantor. Katanya Superman film anak-anak. Dan dalam hati saya menambahkan: juga ditonton orang tua.

Dugaan saya tak meleset. Selama penayangan Superman Returns, terutama dipertengahan film hingga akhir, ketiga anak itu menciptakan kegaduhan. Mereka berlari-larian ke sana-kemari. Tidak semua kursi terisi membuat mereka makin leluasa bergerak. Mereka lompat-lompatan di undakan lantai seperti jalannya vampir. Atau berdiri di kursi sambil teriak-teriak, “Itu orang botak jahat!” Maksudnya Lex Luthor. Si bocah lelaki sempat berteriak dari belakang kepala saya. Saya bergerak membetulkan posisi duduk untuk merajuk dan berharap orang tuanya melihat bahwa saya terganggu oleh anaknya. Tapi ternyata tidak. Mereka terus berkonsentrasi menonton film dan tidak bisa mencegah anak-anak itu meluapkan kegembiraan bermain di ruangan gelap. Tapi, terus terang, saya menyukai keriangan mereka.

Memang, seperti biasa, saya nonton selalu sendiri. Tidak pernah mengajak teman. Biasanya nomat siang hari. Bareng siswa-siswi yang sekolahnya di dekat gedung bioskop. Film pertama setelah lebih sepuluh tahun tidak menyambangi bioskop adalah ‘Lord of The Ring III’, lalu ‘30 Hari Mencari Cinta’, ‘Ketika’, ‘Alexander The Great’, ‘Mission Imposible 3’ dan terakhir ‘Superman Returs’. Dan, saya akui, selain menulis dan membaca, saya suka nonton film.

25 Juli 2006